Thursday, 22 February 2018

Ansor dan Gemerlap Politik








Hasil gambar untuk Ansor politik
Suatu hari seorang Kyai Muda yang baru merintis pesantren di Ponorogo bilang ke saya: kalau bisa Ansor jangan sampai terseret ke politik. Yang dimaksud adalah Pilkada serentak di tahun 2018 dan Pilpres di 2019. Spontan saya jawab: tidak bisa, karena dalam sejarahnya Ansor mempunyai keintiman dengan politik yang begitu lekat.
Penjelasan tersebut konteksnya begini. Pertama, dalam perjalanan sejarah, Ansor pernah menjadi underbow partai politik, yaitu ketika NU bermetamorfosis menjadi partai politik pada awal tahun 1950-an, maka secara otomatis Ansor pun menjadi afiliasi dari partai politik di zaman itu. Akibatnya, Ketuanya baik yang berada di pusat maupun di daerah, hampir bisa dipastikan akan menjadi anggota DPR tidak lama setelah menjabat. Ini berarti Ansor menjadi pintu masuk ke dunia politik.
Anggota Ansor menjadi kader politik demikian, masih berlanjut walaupun NU sudah mengambil sikap kembali ke Khittah 1926 pada Muktamar ke-27 di tahun 1984, yang artinya NU sudah bukan lagi organisasi politik. Bukti bahwa Anggota Ansor masih menjadi Kader politik dalam suasan NU kembali ke Khittah adalah, Slamet Efendi Yusuf sebagai ketua PP GP. Ansor pada 1985-1994, langsung terjun ke dunia politik.
Terhitung sejak 1984, yaitu ketika ditetapkannya kittah NU, hingga akhir 1980-an dengan demikian menjadi masa-masa transisi. Saya pernah mewawancarai junior Slamet yang sama-sama pernah aktif di PMII Yogyakarta, dia pernah aktif di Ansor tapi tidak lama, karena setelah Khittah lebih memilih PPP, konsekuensinya harus meninggalkan Ansor. Sedangkan Slamet sang senior, lebih memilih Ansor, sehingga karirnya terus naik sampai menjadi ketua PP GP. Ansor. Kelak dua orang senior-junior ini sama-sama menjadi anggota DPR RI dari partai yang berbeda.
Periode setelah Slamet, duduk Iqbal Assegaf sebagai ketua PP Ansor pada 1995-2000. Kita tahu Iqbal Assegaf walaupun usianya tidak lama, juga berkiprah di dunia politik. Ansor periode berikutnya, Syaifulloh Yusuf, Nusron Wahid, sampai Yaqut Cholil Qoumas, semuanya menjadi anggota DPR RI aktif ketika menjabat sebagai ketua Ansor. Bahkan Syaifulloh Yusuf  menjabat Wakil Gubernur Jatim sejak 2009 atau setahun sebelum masa jabatan ketua PP GP. Ansor berakhir, pada 2010.
Itu adalah gambaran di tingkat pusat. Bagaimana dengan di daerah? Kurang lebih sama, baik yang menjadi politikus; anggota DPR atau kepala daerah, atau temannya politikus, alias tim sukses.  Hubungan kader Ansor dengan politik yang demikian kental memang memungkinkan, karena Ansor sendiri mempunyai basis masa yang jelas, apabila dibanding dengan organisasi kepemudaan lainnya. Struktur kepengurusannya ada mulai dari tingkat pusat hingga ke tingkat desa.
Dalam realitas sosialnya, adakalanya memang Ansor menghadapi resistensi politik dari kalangan masyarakat, atau langsung sebut saja Nahdliyin, sebagaimana yang saya contohkan di atas. Barangkali hal ini dipengaruhi oleh alam berpikir  kembali ke khittah yang dipahami, yaitu tidak usah ikut-ikutan nyemplung ke politik praktis. Ansor biar lah menjadi Ansor yang semestinya, yaitu mengurusi masalah-masalah sosial keagamaan, dan terutama menjadi benteng terdepan NU, Pesantren dan Kyai.
Keresahan masyarakat yang demikian sebenarnya juga dipahami Ansor. Sehingga muncullah gagasan pembentukan Majelis Dzikir dan Sholawat Rijalul Ansor (MDSRA) –biasa disebut MDS atau RA saja- di semua tingkat struktur Ansor, mulai dari pusat hingga tingkat ranting yang terdapat di desa-desa. Dikandung maksud, agar bisa menetralisir asumsi bahwa Ansor terlalu dekat dengan politik.
Dengan demikian RA tidak hanya berisi dzikir atau sholawatan saja, tapi lebih dari itu mendudukkan Ansor juga sebagai tempat kaderisasi ulama’. Keluarannya bisa dilihat misalnya melalui hasil bahtsul masail tentang dibolehkannya orang Islam memilih pimpinan non muslim, yang sempat heboh beberapa saat lalu. Jangan dilihat kontroversinya, tapi pandanglah bahwa hasil bahtsul masail itu adalah proses ijtihad, bagaimana merumuskan hubungan agama dan negara. Ijtihad memang boleh salah, boleh benar kan?
Selain itu, selama ini Ansor dalam berkelindan dengan dunia politik, tidak hanya bermain di politik praktis saja, tetapi juga politik kebangsaan. Kita lihat bagaimana Ansor selalu pasang badan pada upaya-upaya segelintir anak negeri yang ingin memecah-belah bangsa. Sebagaimana yang terekam kuat pada memori kolektif bangsa ini, tentang peran Banser Ansor berkonfrontasi dengan PKI. Ketika orang sebut Banser, pasti dalam pikirannya yang muncul adalah “Oh..., yang dulu jadi lawan PKI”.
Peran pasang badan demikian konsisten dilakukan hingga kini, dengan resiko Ansor Banser dapat julukan baru; tukang bubarin pengajian. Hehehe...., julukan yang tidak mengenakkan ya, tapi kalau Ansor Banser tidak mau ambil resiko itu, maka akan semakin banyak ustadz-ustadz yang merongrong NKRI, dengan mengajak mendirikan sistem negara baru bernama Khilafah.
Kembali ke politik. Lalu bolehkah Ansor terjun ke politik praktis? Dalam PD/PRT Ansor di bab rangkap jabatan, ternyata tidak diatur dengan tegas. Tentang rangkap jabatan, Ansor mengikuti yang digariskan NU. Ketika saya telisik di AD/ART NU tentang rangkap jabatan, diterangkan bahwa Ketua Umum Badan Otonom tidak dapat dirangkap dengan jabatan pengurus harian partai politik dan jabatan pengurus harian organisasi yang berafiliasi dengan partai politik. Dalam hal ini Ansor termasuk badan otonom NU. Yang dinamakan Ketua Umum adalah ketua ditingkat pusat, di tingkat propinsi namanya Ketua Pengurus Wilayah, sedang di tingkat kabupaten/ kota namanya Ketua Pengurus Cabang.
Artinya, hanya Ketua Umum Badan Otonom saja yang diatur dalam AD/ART NU, bukan pengurus-pengurus yang lain, termasuk Ketua Pengurus Wilayah, apalagi Ketua Pengurus Cabang. Larangan tersebut pun sebatas tidak boleh untuk jadi pengurus harian partai saja. Sedangkan kalau jadi anggota DPR atau pimpinan daerah? Saya belum menemukan aturan yang melarang. Kenyataannya Ketua Umum GP. Ansor saat ini, Gus Yaqut adalah anggota DPR RI dari PKB. Kita juga banyak jumpai di daerah-daerah banyak pengurus Ansor yang jadi anggota DPRD, bahkan penulis pernah menemukan, di suatu Pengurus Cabang Ansor, terdapat lebih dari satu yang menjadi anggota DPRD.
Sebagai epilog, menjadi kader Ansor berarti sedang membaca arah, apakah suatu hari kelak menjadi kader ulama’, yang mau mendidik umat dan melakukan civil society, ataukah menjadi kader politik yang mempenetrasikan pesan-pesan kebangsaan yang berhaluan Aswaja an-Nahdliyah, di kalangan elit politik pemangku kepentingan negeri ini. Dua-duanya sama-sama penting.
Namun kalau ada yang bertanya, apa motivasi penulis membuat artikel ini, apakah mempunyai tendensi untuk menjadi politikus suatu saat kelak, maka pada dunia politik saya akan meminjam kata-kata Dilan: saat ini aku tidak mencintaimu, entah nanti sore. Hehehe...

M. Fathoni Mahsun
Kader Ansor Jombang

1 comments:

Unknown said...

Bingung cara bermain Togel Hongkong, anda bisa mengetahui cara bermain Togel Hongkong di sini Togel Hongkong

Di bawah ini juga adalah sedikit penjelasan Togel Singapura untuk membantu anda mendapatkan kemenangan bermain Togel
Togel Singapura

Anda bisa baca itu semua di Erek Erek
Erek Erek
Erek Erek 2D
Erek Erek 3D
Erek Erek 4D

Erek Erek 4D

Post a Comment