Monday, 10 July 2017

Siapakah Orang Tua Mbah Ngaliman/ Sulaiman?



Pertanyaan di atas menggelitik untuk di kemukakan, karena generasi ke-3 Mbah Sulaiman, atau cucu saja banyak yang tidak tahu, apalagi generasi di bawahnya. Meski beberapa sudah ada yang berusaha menelusiri. Alhamdulillah juga pada kesempatan Ildul Fitri 1438 H, atau tepatnya pada 3-6/7/2017, cucu dan cicit Mbah Sulaiman dari jalur Bani Ngari (Asy’ari) dan Bani Said berkesempatan menelusuri silsilah Mbah Sulaiman dengan bersilaturahmi ke Magelang.
Pada kesempatan silaturahmi tersebut, juga didapat keterangan bahwa pada masa sebelumnya pernah juga dilakukan penelusuran silsilah keluarga yang cukup serius oleh Pak Dakik dan Pak  Kholid, yang merupakan mantan Kaur Keuangan Desa Jagan. “Dulu saya yang bagian nyatet, tapi catetannya di bawa Lek Dakik.” Tutur Pak  Kholid. Pak  Kholid ini walau sebagaimana diakuinya sudah mempunya cucu 10, tapi pernah-nya lebih mudah dari cicit Mbah Sulaiman, karena beliau adalah cicit Mbah Miyo (Armiyah), yang merupakan adik Mbah Sulaiman, setelah Mbah Manab, dan Mbah Mukmin. Atau dengan kata lain anak ke-4, sedangkan Mbah Sulaiman adalah anak pertama.

Siapakah Mbah Aliman?
Kalau Mbah Sulaiman dibahas sendirian barangkali tidak ada orang yang kenal, tapi ketika dibahas bersama dengan menyebut adiknya, Mbah Manab, pendiri pondok Lirboyo akan lebih menarik. Mereka berdua ini, ditambah lagi dengan adiknya Mbah Mukmin, berasal dari Banar, Mertoyudan, Magelang. Setelah bapaknya meninggal dan ibunya menikah lagi, mereka memutuskan untuk hijrah mencari ilmu ke Jawa Timur.
Menurut penuturan Mbah Qowaid () Mbah Sulaiman ini menyediakan dirinya berkorban untuk membiayai adik-adiknya menuntut ilmu. Biarlah adik-adiknya konsentrasi mondok, sementara beliau yang membanting tulang untuk mencari bekal. Ketika itu dengan ngenger menjadi buruh tani pada orang. Lama-kelamaan karena tekun, akhirnya Mbah Sulaiman ini bisa punya sapi sendiri.
Suatu hari sapi milik Mbah Sulaiman ini dikembalakan oleh adik-adiknya. Tiba-tiba sapi tersebut berontak (mberot/ nyundang-nyundang), oleh Mbah Mukmin ditendang mulutnya. Setelah kejadian itu, ternyata sapi tersebut tidak mau makan. Melihat sapinya tidak mau makan, Mbah Sulaiman akhirnya tanya pada adik-adiknya, kenapa sapi tersebut tidak mau makan. Mbah Mukmin mau tidak mau mengakui kalau dia habis menendang mulut sapi.
Mungkin karena merasa tidak enak, akhirnya Mbah Mukmin pulang ke Magelang. Sesampainya di rumah, Mbah Salamah, sang Ibu tanya, kenapa kok pulang. Setelah dijelaskan tentang apa yang terjadi, Mbah Mukmin lagi-lagi kena marah oleh Ibunya. Mbah Mukmin akhirnya galau, resah dan gelisah, di Jombang kena marah, di Magelang juga kena marah. Psikisnya terganggu, dan apakah ada hubungannya atau tidak, yang jelas setelah kejadian tersebut, tidak lama kemudian Mbah Mukmin meninggal dunia. Walhasil, yang masih merantau ke Jawa Timur tinggal dua, yaitu Mbah Sulaiman dan Mbah Manab.

Kenapa Hijrah?
Ada dua versi keterangan kenapa tiga bersaudara tersebut kahirnya memutuskan hijrah. Versi pertama sebagaimana yang disampaikan oleh Mbah Qowaid, bahwa hijrahnya mereka karena dipengaruhi oleh kondisi sosio kultur masyarakt setempat. Dimana ketika itu keluarga dan tetangga ternyata tidak semuanya Islam. Beberapa ada yang memeluk kristen, sementara yang lain ada yang memeluk “agama Jawa”. Maka agar tetap bisa menjaga keimanan di dada, harus keluar dari lingkungan tersebut.
Ada pun pilihan hijrah tersebut tujuannya adalah mondok, menurut penuturan Pak Dawam, yang tinggal di Brangkali, termasuk kawasan Muntilan, Magelang, adalah karena dorongan dari kakek Pak  Dawam yang bernama Kromojoyo, Mbah Kromojoyo ini  merupakan saudara sepupu Mbah Sulaiman dari jalur Ibu, atau kakak perempuan Mbah Salamah,  Ibu dari Mbah Sulaiman.
Sedangkan versi kedua, karena ketidaknyamanannya tinggal di rumah dengan bapak baru. Keterangan ini disampaikan oleh Pak Masud, yang merupakan cucu dari kakak bapaknya mbah Sulaiman. Keterangan serupa juga disampaikan oleh Pak Kholid, Jagan. Karena bapak baru tersebut, tadinya adalah yang membantu merawat kuda, dan yang membantu membuat minyak kelapa di rumah Mbah Abdurrohim.



Siapakah Orang Tua Mbah Sulaiman?
Sumber pertama yang kami datangi adalah Mbah Qowaid, karena selama ini memang beliau lah yang rajin melakukan silaturahmi ke sanak saudara yang ada di Jawa Timur, mulai dari Jombang, Kediri, hingga Banyuwangi. Oleh karena itu peran Mbah Qowaid ini sangat penting, karena melalui beliau lah keluarga Magelang tidak putus hubungan (kepaten obor) dengan yang berada di Jawa Timur.
Secara kebetulan, mbah Qowaid ini dianugerahi usia panjang, sehingga ketika mobilitasnya sudah terbatas karena gangguan kesehatan, jalinan hubungan Magelang Jawa Timur tersebut sudah terjalin baik. Ketika kami datang, Mbah Qowaid berjalan dengan menggunakan penyangga, karena habis terkelir sewaktu turun dari bis. Sebelum terkilir beliau masih bisa berjalan normal.
Untuk ukuran manusia seusia beliau, kesehatannya sangat luar biasa, telinganya masih normal, dan luar biasanya lagi ingatannya pun masih tajam, alias tidak pikun. Bagaimana tidak, keterangan yang disampaikan ketika kami wawancara itu, sama persis dengan hasil wawancara dengan beliau yang tertulis dalam buku sejarah Lirboyo yang diterbitkan tahun 2010, atau 7 tahun sebelumnya. Padahal menurut beliau, ketika zaman ratu Helmina, beliau telah berusia 16 tahun. “Usia saya saat ini ya kira-kira 100 kurang dikit lah.” Tuturnya.
Dari keterangan Mbah Qowaid ini, nama orang tua Mbah Sulaiman tidak begitu jelas, karena kebiasaan orang dulu, nama orang tua biasanya dipanggil menggunakan nama anak pertamanya. Jadi bapaknya Mbah Sulaiman/ Aliman, dipanggil Pak e Aliman, atau bahkan Aliman saja, demikian juga dengan Ibunya, ibu e Aliman, atau Aliman saja. Sehingga tidak muncul siapakah nama bapak Mbah Sulaiman.
Ketika bersilaturahmi ke Pak Masud, titik terang mulai terjawab. Perlu diketahui, nama Pak Masud ini di kenalkan oleh Gus Ali, pengasuh Ponpes Darussalam Watucongol. Kami sengaja juga mengagendakan sowan ke pondok Watucongol, tempat dimana Mbah Said dulu pernah mondok. Pak Masud ini  juga masih terbilang saudara, yaitu keturunan dari kakak dari Bapak Mbah Sulaiman. Dengan jelas Pak Masud menyebut bahwa bapak Mbah Sulaiman adalah Mbah Abdurrohim. Ketika ditanya yang benar Mbah Abdurrohim atau Mbah Nurrohim, jawabnya itu dua orang yang berbeda, Mbah Nurrohim adalah Bapak dari Mbah Abdurrohim. Itu artinya Pak Masud ini adalah keturunan dari kakak Mbah Abdurrohim. Pak Masud ini juga masih paham dengan anak-anak Mbah Sulaiman, dan anak-anak Mbah Manab.
Keterangan Pak Masud ini dibenarkan oleh Pak Kholid, bahwa Mbah Abdurrohim adalah anak dari Mbah Nurrohim. Malah Pak Kholid mengatakan bahwa beliau pernah menelisik silsilah keturunan dari Mbah Nurrohim ini bersama dengan Pak Mad Dakik. Ketika itu Pak Kholid yang bagian mencatat, tetapi catatan tersebut diminta oleh Pak Mad Dakik. Sekarang catatan tersebut entah dimana sepeninggal Pak Mad Dakik.
Kami akhirnya lebih mantap lagi ketika berkesempatan ziarah ke makam Mbah Nurrohim. Kami pergi kesana dengan dituntun oleh Pak Masud yang memang  mengurus makam Mbah Nurrohim tersebut. Makam yang dimaksud terletak di Desa Banar. Ada dua makam di desa ini, di utara dan di selatan. Di makam utara ini lah terdapat makam Mbah Nurrohim, makamnya dibangun, sehingga makam tersebut terletak dalam sebuah gedung, di tengah-tengah pemakaman umum. Setiap jumat kliwon banyak dikunjungi oleh peziarah. Di depan bangunan tersebut terdapat makam Mbah Abdurrohim. Jadi terbukti memang, bahwa Mbah Abdurrohim dan Mbah Nurrohim memang dua orang yang berbeda.
Pada kesempatan tersebut tak lupa kami juga berziarah pada makam istri Mbah Abdurrahim, yaitu Mbah Salamah yang terletak di makam selatan Desa Banar. Makam selatan ini terletak persis di belakang rumah Mbah Abdurrohim yang saat ini ditempati oleh Mbah Qowaid.
Sehingga silsilah yang bisa ditemukan adalah: Mbah Nurrohim mempunyai anak bernama Mbah Abdurrohim, Mbah Abdurrohim mempunyai anak Aliman/ Sulaiman, Manab/ Abd. Karim, Mukmin, dan Armiyah/ Miyo. Sepeninggal Mbah Abdurrohim, istrinya menikah lagi dan mempunyai anak bernama: Muji, Letek/ Jumilah/ Isnaini, dan Siem. Mbah Qowaid yang di sebut-sebut di atas adalah anak dari Mbah dari Mbah Muji. Mbah Sulaiman akhirnya menetap di Jatipelem Jombang, dan mempunyai anak: Ngari/ Asy’ari, Said, dan Asiyah. Sedangkan Mbah Manab adalah pendiri pondok pesantren Lirboyo.
Sedangkan Mbah Miyo menetap di Jagan, Mertoyudan, Magelang. Mempunyai dua anak yaitu: Abdul Somad dan Marzuki. Abdul Somad mempunyai 8 anak yaitu: Masriyah (alm), Dimyati (alm), Siti Aminah (alm), salah satu anaknya bernama Kholid yang menjadi nara sumber sebagaimana disebut di atas, Abdulloh Sayuti (yang saat ini menempati rumah Mbah Miyo), Abdul Fattah (alm), Siti Khofsoh (alm), M. Jamil, dan Abu Toyib. Sedangkan Mbah Marzuki mempunyai anak yaitu: Hasanah, H Muhyidin (masih hidup, dan juga bercerita tentang Mbah Said ketika bentrok dengan Cina, sewaktu mondok di Watucongol. Dalam ceritanya, Mbah Said ketika itu nyunggi batu-batu besar. Sempat H Muhyidin ini akan minta ijazah agar bisa mengangkat batu-batu besar seperti Mbah Said tersebut.), Zahroh, Maisaroh (alm), Munawaroh, dan H. Muhtarodin.


Dirangkai oleh: M. Fathoni Mahsun.

0 comments:

Post a Comment