Thursday, 13 July 2017

Kyai Said Jatipelem dan Kisah Pemberontakannya Dengan Cina





Kyai Said adalah keponakan dari Kyai Manab pendiri Ponpes Lirboyo. Beliau adalah anak dari Mbah Sulaiman, kakak Kyai Manab, yang meninggal di Desa Jatipelem, Diwek, Jombang. Mbah Sulaiman dan Kyai Manab ini sejak remaja memutuskan untuk merantau dari Banar, Mertoyudan, Magelang ke Jawa Timur. Mereka berbagi tugas, si kakak kebagian mencari bekal (sangu), sedangkan si adik dimintanya untuk konsetrasi belajar di pondok. Sebenarnya ada satu lagi adik mereka yang ikut merantau ke Jawa Timur, namanya Mukmin, tapi Mukmin akhirnya memutuskan kembali ke Magelang, dan meninggal sebelum sempat menikah.
Hubungan Kyai Said dengan Kyai Manab terbilang dekat, selain sebagai keponakan, juga pernah sempat diijabkan dengan salah seorang anak Kyai Manab yang bernama Qomariyah. Menurut keterangan Mbah Qowaid, ketika itu Kyai Manab silaturrahmi ke keluarga Magelang bersama dengan anaknya Qomariyah. Kyai Said yang sedang mondok di Watucongol pun juga menyambut kedatangan pamannya. Singkat cerita ketika mereka bertemu itulah kemudian Kyai Said diijabkan dengan anaknya yang bernama Qomariyah. Namun ketika pulang ke Lirboyo, ternyata istri Kyai Manab tidak setuju, sehingga pernikahan tersebut akhirnya tidak diteruskan. Ketika anak laki-laki satu-satunya Kyai Manab yang bernama Nawawi meninggal, kitab-kitab Nawawi banyak yang diberikan ke Kyai Said. Sampai saat ini kitab-kitab tersebut masih ada, berikut dengan keterangan bahwa kitab tersebut adalah dari Nawawi bin Abdul Karim (nama Kyai Manab setelah haji).
Kisah pemberontakan Kyai Said ini terjadi ketika beliau mondok di Ponpes Darussalam Watucongol, Magelang, asuhan Kyai Dalhar. Sebelum mondok di Watucongol, menurut penuturan Mbah Qowaid, yang merupakan saudara sepupu Mbah Said, Mbah Said sempat mondok di Tremas. Namun kemudian pindah ke Watucongol, karena ketika itu santer beredar kabar bahwa ada wali yang baru datang dari Makkah. Wali yang dimaksud tidak lain adalah Kyai Dalhar yang sempat belajar di Makkah hingga 21 tahun.
Sewaktu penulis sowan ke Gus Ali, cucu Kyai Dalhar, yang saat ini menjadi pengasuh pondok Watucongol, ketika masa Kyai Dalhar, mayoritas yang modok adalah para kyai. Kyai Dalhar menurut Gus Ali datang dari Mekkah pada 1916 dan meninggal pada 1959. Menurut Buku Sejarah Pondok Lirboyo, almarhum Kyai Marzuki Lirboyo adalah salah seorang yang berkeinginan mondok di Watucongol. Namun dilarang ibunya dan disuruh untuk mondok di Lirboyo saja. “Pokoknya selama Pamanmu Kyai Manab masih sanggup mengajarmu, maka kamu mondok di Lirboyo saja.” Demikian Mbah Qowaid juga mengisahkan tentang Kyai Marzuki Lirboyo. Walhasil Kyai Marzuki akhirnya mondok di Lirboyo, sampai dijadikan menantu oleh Kyai Manab.
Kyai Said termasuk yang beruntung karena menjadi salah seorang yang berkesempatan  berguru kepada sang wali di Watucongol. Durasi mondok di tempat ini lama, sekitar 25 tahun. Gus Ali sendiri berkomentar “Iki mondok e rodo nutuk iki.” Ketika penulis sodorkan catatan doa-doa, termasuk ijazah membaca dalailul khoirot, yang kuat dugaan adalah dari  Kyai Dalhar kepada Kyai Said.
Suatu ketika Kyai Said muda pergi ke toko Cina yang ada di Muntilan. Cina pemilik toko mempunyai kebiasaan kalau ada santri masuk tokonya maka harus beli, kalau nggak tokonya ditutup. Padahal ketika itu Kyai Said hanya ingin lihat-lihat. Kyai Said tidak mau kalau dipaksa-paksa, tapi si Cina terus memaksa, walhasil bersitegang tak terhindarkan. Berawal dari perang mulut, lama-lama menjadi adu fisik, murid sang wali ini pun terpaksa menunjukkan kebolehannya, dia ambil batu besar yang ada di sekitar tempat tersebut, karuan saja si Cina ketakutan, karena batu besar yang diangkat Kyai Said tersebut tidak lumrah kalau hanya diangkat oleh seorang saja, jangankan diangkat oleh satu orang, diangkat oleh beberapa orang pun masih keberatan.
Pada saat demikian, Kyai Said pun sesumbar, “Hayoo, lek jek wani kumpulno kabeh Cino sak cindil-cindil abang e, bibar magrib ketemu nang lapangan.” Kyai Said pun kembali ke pondok dan melaporkan kejadian ini pada seniornya.  Ketika itu santri senior adalah Kyai Mahrus, yang kelak diambil menantu oleh Kyai Manab Lirboyo, dan ketika zaman PKI tahun 1965, menjadi salah satu dari 2 kyai yang paling ditakuti PKI, satunya lagi adalah Kyai Badrus Purwoasri Kediri.
Kyai Mahrus mengumpulkan santri-santri yang lain. Akhirnya disepakati untuk melakukan pembagian tugas. Menurut mbah Qowaid, Kyai Mahrus karena statusnya sebagai pimpinan para santri, kebagian menghadapi 100 orang Cina, Kyai Said kebagian 25 orang Cina, santri yang lain kebagian 10 orang, 10 orang. Para santri ini sudah bersepakat untuk menuju lapangan yang dimaksud ba’da Maghrib.
Pada saat maghrib sebagaimana biasanya, para santri jama’ah terlebih dahulu dengan diimami gurunya yaitu Kyai Dalhar. Sesaat setelah salam, tidak seperti biasanya, tiba-tiba Kyai Dalhar menghadap para santri, lalu berkata “Bibar maghrib santri mbonten pareng kesah ten pundi-pundi.” Kata-kata sederhana dari sang Kyai ini pun menggagalkan perlawanan yang sudah disusun sedemikian rupa. Tidak ada satu pun santri yang beranjak dari pondok, meski mereka sudah menyiapkan aneka hisib yang mereka punyai.
Namun demikian cerita ini menyebar dan masih menjadi kenangan hingga saat ini. Ketika bersilaturahmi ke Jagan, Mertoyudan, Magelang. Haji Muhyidin yang merupakan keponakan Kyai Said, juga menceritakan hal serupa, malah sempat akan minta ijazah (do’a) kepada Kyai Said agar juga bisa mengangkat batu besar. Pak Mas’ud yang merupakan abdi ndalem Pondok Watucongol pun berkata “Kalau ke Pondok Watucongol, pokoknya ngomong saja anak cucu Said yang pernah bentrok dengan Cina.”

13/7/2017
Dirangkai oleh M. Fatoni Mahsun






0 comments:

Post a Comment