Kyai Said adalah keponakan dari Kyai Manab pendiri
Ponpes Lirboyo. Beliau adalah anak dari Mbah Sulaiman, kakak Kyai Manab, yang
meninggal di Desa Jatipelem, Diwek, Jombang. Mbah Sulaiman dan Kyai Manab ini
sejak remaja memutuskan untuk merantau dari Banar, Mertoyudan, Magelang ke Jawa
Timur. Mereka berbagi tugas, si kakak kebagian mencari bekal (sangu), sedangkan
si adik dimintanya untuk konsetrasi belajar di pondok. Sebenarnya ada satu lagi
adik mereka yang ikut merantau ke Jawa Timur, namanya Mukmin, tapi Mukmin
akhirnya memutuskan kembali ke Magelang, dan meninggal sebelum sempat menikah.
Hubungan Kyai Said dengan Kyai Manab terbilang
dekat, selain sebagai keponakan, juga pernah sempat diijabkan dengan salah
seorang anak Kyai Manab yang bernama Qomariyah. Menurut keterangan Mbah Qowaid,
ketika itu Kyai Manab silaturrahmi ke keluarga Magelang bersama dengan anaknya
Qomariyah. Kyai Said yang sedang mondok di Watucongol pun juga menyambut
kedatangan pamannya. Singkat cerita ketika mereka bertemu itulah kemudian Kyai
Said diijabkan dengan anaknya yang bernama Qomariyah. Namun ketika pulang ke
Lirboyo, ternyata istri Kyai Manab tidak setuju, sehingga pernikahan tersebut
akhirnya tidak diteruskan. Ketika anak laki-laki satu-satunya Kyai Manab yang
bernama Nawawi meninggal, kitab-kitab Nawawi banyak yang diberikan ke Kyai
Said. Sampai saat ini kitab-kitab tersebut masih ada, berikut dengan keterangan
bahwa kitab tersebut adalah dari Nawawi bin Abdul Karim (nama Kyai Manab
setelah haji).
Kisah pemberontakan Kyai Said ini terjadi ketika
beliau mondok di Ponpes Darussalam Watucongol, Magelang, asuhan Kyai Dalhar.
Sebelum mondok di Watucongol, menurut penuturan Mbah Qowaid, yang merupakan saudara
sepupu Mbah Said, Mbah Said sempat mondok di Tremas. Namun kemudian pindah ke
Watucongol, karena ketika itu santer beredar kabar bahwa ada wali yang baru
datang dari Makkah. Wali yang dimaksud tidak lain adalah Kyai Dalhar yang sempat
belajar di Makkah hingga 21 tahun.
Sewaktu penulis sowan ke Gus Ali, cucu Kyai Dalhar,
yang saat ini menjadi pengasuh pondok Watucongol, ketika masa Kyai Dalhar,
mayoritas yang modok adalah para kyai. Kyai Dalhar menurut Gus Ali datang dari
Mekkah pada 1916 dan meninggal pada 1959. Menurut Buku Sejarah Pondok Lirboyo,
almarhum Kyai Marzuki Lirboyo adalah salah seorang yang berkeinginan mondok di
Watucongol. Namun dilarang ibunya dan disuruh untuk mondok di Lirboyo saja.
“Pokoknya selama Pamanmu Kyai Manab masih sanggup mengajarmu, maka kamu mondok
di Lirboyo saja.” Demikian Mbah Qowaid juga mengisahkan tentang Kyai Marzuki
Lirboyo. Walhasil Kyai Marzuki akhirnya mondok di Lirboyo, sampai dijadikan
menantu oleh Kyai Manab.
Kyai Said termasuk yang beruntung karena menjadi
salah seorang yang berkesempatan berguru
kepada sang wali di Watucongol. Durasi mondok di tempat ini lama, sekitar 25
tahun. Gus Ali sendiri berkomentar “Iki mondok e rodo nutuk iki.” Ketika
penulis sodorkan catatan doa-doa, termasuk ijazah membaca dalailul khoirot,
yang kuat dugaan adalah dari Kyai Dalhar
kepada Kyai Said.
Suatu ketika Kyai Said muda pergi ke toko Cina yang
ada di Muntilan. Cina pemilik toko mempunyai kebiasaan kalau ada santri masuk
tokonya maka harus beli, kalau nggak tokonya ditutup. Padahal ketika itu Kyai
Said hanya ingin lihat-lihat. Kyai Said tidak mau kalau dipaksa-paksa, tapi si
Cina terus memaksa, walhasil bersitegang tak terhindarkan. Berawal dari perang
mulut, lama-lama menjadi adu fisik, murid sang wali ini pun terpaksa menunjukkan
kebolehannya, dia ambil batu besar yang ada di sekitar tempat tersebut, karuan
saja si Cina ketakutan, karena batu besar yang diangkat Kyai Said tersebut
tidak lumrah kalau hanya diangkat oleh seorang saja, jangankan diangkat oleh
satu orang, diangkat oleh beberapa orang pun masih keberatan.
Pada saat demikian, Kyai Said pun sesumbar, “Hayoo,
lek jek wani kumpulno kabeh Cino sak cindil-cindil abang e, bibar magrib ketemu
nang lapangan.” Kyai Said pun kembali ke pondok dan melaporkan kejadian ini pada
seniornya. Ketika itu santri senior
adalah Kyai Mahrus, yang kelak diambil menantu oleh Kyai Manab Lirboyo, dan
ketika zaman PKI tahun 1965, menjadi salah satu dari 2 kyai yang paling
ditakuti PKI, satunya lagi adalah Kyai Badrus Purwoasri Kediri.
Kyai Mahrus mengumpulkan santri-santri yang lain.
Akhirnya disepakati untuk melakukan pembagian tugas. Menurut mbah Qowaid, Kyai
Mahrus karena statusnya sebagai pimpinan para santri, kebagian menghadapi 100
orang Cina, Kyai Said kebagian 25 orang Cina, santri yang lain kebagian 10
orang, 10 orang. Para santri ini sudah bersepakat untuk menuju lapangan yang
dimaksud ba’da Maghrib.
Pada saat maghrib sebagaimana biasanya, para santri
jama’ah terlebih dahulu dengan diimami gurunya yaitu Kyai Dalhar. Sesaat
setelah salam, tidak seperti biasanya, tiba-tiba Kyai Dalhar menghadap para
santri, lalu berkata “Bibar maghrib santri mbonten pareng kesah ten
pundi-pundi.” Kata-kata sederhana dari sang Kyai ini pun menggagalkan
perlawanan yang sudah disusun sedemikian rupa. Tidak ada satu pun santri yang
beranjak dari pondok, meski mereka sudah menyiapkan aneka hisib yang mereka
punyai.
Namun demikian cerita ini menyebar dan masih menjadi
kenangan hingga saat ini. Ketika bersilaturahmi ke Jagan, Mertoyudan, Magelang.
Haji Muhyidin yang merupakan keponakan Kyai Said, juga menceritakan hal serupa,
malah sempat akan minta ijazah (do’a) kepada Kyai Said agar juga bisa
mengangkat batu besar. Pak Mas’ud yang merupakan abdi ndalem Pondok Watucongol
pun berkata “Kalau ke Pondok Watucongol, pokoknya ngomong saja anak cucu Said
yang pernah bentrok dengan Cina.”
13/7/2017
Dirangkai oleh M. Fatoni Mahsun
0 comments:
Post a Comment