Friday, 14 July 2017

Jombang dan Pembangunan Identitas Kultural






                Kalau kita bertanya, apa ciri khas Jombang? Maka sebagian orang akan menjawab kota santri, sebagian lagi menjawab kota kelahiran ludruk, sebagian menjawab Gus Dur, Cak Nun, Cak Nur, Riyan, Ponari, dan lain-lain dan lain-lain. Artinya secara kultural Jombang mempunyai ikon yang kuat.
Namun anehnya, ketika warga Jombang disuruh untuk mengekspresikan ikon Jombang dalam bentuk visual yang sederhana, kesulitan. Kalau identik dengan kota santri, apa ikonnya? Kalau dikatakan kota kelahiran ludruk, apa ikonnya? Barangkali hanya Gus Dur, ikon Jombang yang sudah mendapat perhatian maksimal. Tidak lama setelah Gus Dur wafat, diresmikanlah jalan Gus Dur di timur ringin contong. Lalu makamnya pun dibangun sedemikian rupa, karena gelombang peziarah juga tidak henti-hentinya sampai detik ini.
Masyarakat Jombang yang merasa bahwa kotanya perlu mempunyai identitas lalu kemudian mencari-cari. Jangan sampai kota ini bertumbuh tanpa status; identitas kultural tidak punya, tanggal lahir kabupaten pun tidak tahu. Pencarian itu kemudian berlabuh pada ringin contong. Tidak mengecilkan usaha kawan-kawan yang menggarap ringin contong sebagai ikon Jombang, penulis berpikiran, ringin contong muncul sebagai ikon, tidak lebih karena tidak ada yang lain.
Coba pikir, ringin contong itu bisa bercerita tentang apa? Selain bahwa posisinya kebetulan strategis di tengah kota. Ringin contong tak lebih dari menara air, yang entah saat ini masih berfungsi atau tidak. Bangunan ini memang kelihatan unik, tapi nyatanya tidak satu-satunya, di Mojoagung  ada, bahkan di Mojokerto juga ada. Barangkali kita membayangkan ringin contong seperti menara eiffel kalau di Paris, atau menara pisa di Italia.
Sekali lagi, kalau mau jujur, menara air yang disebut ringin contong itu tidak mempunyai ikatan kultural dengan Jombang, karena memang dibangun tidak atas pertimbangan kultural apa-apa. Tapi oke, di tengah sulitnya menemukan  ikon Jombang yang pas, maka ringin contong menjadi ikon yang masuk akal untuk diterima.
Pencarian yang kedua berlabuh pada besut. Dibanding dengan ringin contong, besut sebenarnya lebih menyimbulkan kultur Jombang. Besut adalah tokoh pemeran utama dari kesenian pertunjukan besutan. Dimana besutan sendiri dianggap sebagai cikal-bakal ludruk. Namun masalahnya, popularitas besut kalah dengan ringin contong. Karena tidak semua warga Jombang mengerti apa itu besut. Ludruk yang muncul belakangan bahkan lebih populer dibanding besutan.
Namun popularitas sebenarnya bisa dibangun. Besut bisa dibikin lebih terkenal, asalkan digarap secara serius. Apa salahnya, toh dia anak kandung yang sah dari kebudayaan Jombang. Apalagi posisi besutan lebih “bersih” dibanding ludruk. Ludruk, akibat peristiwa sejarah yang pernah sangat intim berafiliasi dengan Lekra-nya PKI, membuat sebagian kalangan santri masih resisten hingga saat ini. Sebenarnya resistensi demikian untuk saat sekarang sudah tidak beralasan lagi, karena ludruk sekarang sudah berbeda dengan ludruk masa-masa PKI. Namun pendirian sebagian masyarakat tidak bergeming, bahwa ada catatan hitam dalam ludruk.
Ada lagi ikon Jombang yang pernah muncul, yaitu batik Jombang-an. Batik Jombang-an ini pernah sangat populer, karena dijadikan seragam anak-anak sekolah, guru, birokrasi, hingga perangkat desa. Motif batik Jombang-an mempunyai ikatan yang kuat dengan kultur Jombang, karena diambil dari salah satu relif di candi Arimbi, satu-satunya candi di Jombang, yang terletak di Desa Pulosari Kecamatan Bareng. Walaupun ada perbedaan antara motif seragam anak sekolah dan seragam birokrasi pemerintahan, namun keduanya tetap menggunakan motif yang diambil dari candi Arimbi. Namun karena ganti pemerintahan, batik Jombang-an saat ini sudah tidak digunakan lagi, sayang.

Identitas Kultural untuk Apa?
                Ini adalah pertanyaan mendasar yang perlu diselesaikan. Sederhanannya identitas kultural itu harus ada, ya… dari pada tidak punya identitas. Identitas kultural adalah karakter sebuah daerah, yang dengan basis karakter tersebut pembangunan diarahkan. Tanpa mengenali karakter, pembangunan akan berjalan tanpa arah.
Sehingga membangun identitas kultural tidak hanya berhenti pada menemukan ikon-ikon. Kita ambil contoh Ponorogo. Semua orang tahu kalau Ponorogo punya reog, reog ini kemudian dijadikan identitas kultural. Hampir di setiap perempatan di Ponorogo ada patung reog, kesenian reog hidup sampai ke desa-desa. Walhasil reog menjadi ikon pariwisata yang kuat, mulai dari pertunjukannya hingga aneka marcendise bertemakan reog, dimana itu semua bisa menghasilkan perputaran ekonomi yang tidak kecil.
Di Bali apalagi, setiap hari banyak turis baik lokal maupun asing yang berbondong-bondong ke Bali. Mereka tidak hanya mengunjungi keindahan alamnya, tapi juga kebudayaan masyarakatnya yang sangat etnis. Kalau kita ke Bali maka akan kita saksikan rumah-rumah, perkantoran, pure, altar-altar persembahan, sampai gapura-gapura, semuanya mempunyai bentuk arsitek yang unik. Belum lagi upacara-upacara keagamaan yang masih dipegang masyarakat Bali, yang itu mengundang daya tarik tersendiri.
Itu semua menunjukkan bahwa konsistensi pada budaya akan berdampak pada perputaran ekonomi yang tidak kecil. Dalam hal menggarap budaya dan pariwisata, kita tidak boleh melewatkan Banyuwangi. PAD dan pendapatan perkapita Banyuwangi meningkat setelah pemerintah menggarap sektor pariwisata secara serius, mulai dari eco tourism, sampai Banyuwangi festival yang terdiri: Banyuwangi ethno carnival, Banyuwangi Jazz festival, dan tour de Ijen.
Memang masing-masing daerah tidak bisa disamakan dalam hal potensi, baik potensi alam potensi budaya, maupun potensi sumber daya manusianya. Namun penyadaran terhadap potensi yang dipunyai, lalu kemudian mengelolanya hingga mendapatkan hasil maksimal, adalah penting dan tidak ada salahnya kalau kita menengok pada daerah sebelah. Dalam hal ini, keberhasilan pengolahan sosok Gus Dur sebagai salah satu ikon Jombang, patut diapresiasi.
Diam-diam saya membayangkan menonton ludruk yang mnggunakan iringan  musik pop, jazz, blues, country, atau musik klasik. Pasti menjadi tontonan yang banyak dinanti. Membayangkan mendengarkan kampanye seorang calon kepala dearah  dengan berpakain besut, lalu dalam orasinya dia selipi dengan parik’an dan sanepan. Membayangkan Kyai-Kyai pesantren berceramah memberikan pencerahan terhadap fenomena di masyarakat, dengan mengutip data-data yang ia dapat dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten, atau dari data-data yang lainnya, tidak melulu hanya mengutip dalil. Alangkah fantastiknya.
Saya membayangkan bahwa Islam tidak hanya di pesantren-pesantren, atau di masjid-masjid, tapi Islam juga hadir di pemerintahan, di sekolah-sekolah, di pusat-pusat hiburan rayat, di pertokoan, di pom bensin, di terminal, dan di tempat-tempat lain. Sehingga kesantrian kota Jombang, bukan hanya karena kuantitas jumlah santri, tapi juga kualitas kehidupannya. Sebab kalau hanya ditentukan kuantitas jumlah santri maka di pasuruan, di Gresik, bahkan di Brebes juga banyak pesantren yng mempunyai ribuan santri.
Saya membayangkan apa lagi ya…..

M. Fathoni Mahsun


17/02/2016




0 comments:

Post a Comment