Kalau
kita bertanya, apa ciri khas Jombang? Maka sebagian orang akan menjawab kota
santri, sebagian lagi menjawab kota kelahiran ludruk, sebagian menjawab Gus
Dur, Cak Nun, Cak Nur, Riyan, Ponari, dan lain-lain dan lain-lain. Artinya
secara kultural Jombang mempunyai ikon yang kuat.
Namun anehnya, ketika warga
Jombang disuruh untuk mengekspresikan ikon Jombang dalam bentuk visual yang
sederhana, kesulitan. Kalau identik dengan kota santri, apa ikonnya? Kalau
dikatakan kota kelahiran ludruk, apa ikonnya? Barangkali hanya Gus Dur, ikon
Jombang yang sudah mendapat perhatian maksimal. Tidak lama setelah Gus Dur
wafat, diresmikanlah jalan Gus Dur di timur ringin contong. Lalu makamnya pun
dibangun sedemikian rupa, karena gelombang peziarah juga tidak henti-hentinya
sampai detik ini.
Masyarakat Jombang yang merasa
bahwa kotanya perlu mempunyai identitas lalu kemudian mencari-cari. Jangan
sampai kota ini bertumbuh tanpa status; identitas kultural tidak punya, tanggal
lahir kabupaten pun tidak tahu. Pencarian itu kemudian berlabuh pada ringin
contong. Tidak mengecilkan usaha kawan-kawan yang menggarap ringin contong
sebagai ikon Jombang, penulis berpikiran, ringin contong muncul sebagai ikon,
tidak lebih karena tidak ada yang lain.
Coba pikir, ringin contong itu
bisa bercerita tentang apa? Selain bahwa posisinya kebetulan strategis di
tengah kota. Ringin contong tak lebih dari menara air, yang entah saat ini
masih berfungsi atau tidak. Bangunan ini memang kelihatan unik, tapi nyatanya
tidak satu-satunya, di Mojoagung ada,
bahkan di Mojokerto juga ada. Barangkali kita membayangkan ringin contong
seperti menara eiffel kalau di Paris, atau menara pisa di Italia.
Sekali lagi, kalau mau jujur,
menara air yang disebut ringin contong itu tidak mempunyai ikatan kultural
dengan Jombang, karena memang dibangun tidak atas pertimbangan kultural
apa-apa. Tapi oke, di tengah sulitnya menemukan
ikon Jombang yang pas, maka ringin contong menjadi ikon yang masuk akal
untuk diterima.
Pencarian yang kedua berlabuh
pada besut. Dibanding dengan ringin contong, besut sebenarnya lebih
menyimbulkan kultur Jombang. Besut adalah tokoh pemeran utama dari kesenian
pertunjukan besutan. Dimana besutan sendiri dianggap sebagai cikal-bakal
ludruk. Namun masalahnya, popularitas besut kalah dengan ringin contong. Karena
tidak semua warga Jombang mengerti apa itu besut. Ludruk yang muncul belakangan
bahkan lebih populer dibanding besutan.
Namun popularitas sebenarnya bisa
dibangun. Besut bisa dibikin lebih terkenal, asalkan digarap secara serius. Apa
salahnya, toh dia anak kandung yang sah dari kebudayaan Jombang. Apalagi posisi
besutan lebih “bersih” dibanding ludruk. Ludruk, akibat peristiwa sejarah yang
pernah sangat intim berafiliasi dengan Lekra-nya PKI, membuat sebagian kalangan
santri masih resisten hingga saat ini. Sebenarnya resistensi demikian untuk
saat sekarang sudah tidak beralasan lagi, karena ludruk sekarang sudah berbeda
dengan ludruk masa-masa PKI. Namun pendirian sebagian masyarakat tidak
bergeming, bahwa ada catatan hitam dalam ludruk.
Ada lagi ikon Jombang yang pernah
muncul, yaitu batik Jombang-an. Batik Jombang-an ini pernah sangat populer,
karena dijadikan seragam anak-anak sekolah, guru, birokrasi, hingga perangkat
desa. Motif batik Jombang-an mempunyai ikatan yang kuat dengan kultur Jombang,
karena diambil dari salah satu relif di candi Arimbi, satu-satunya candi di
Jombang, yang terletak di Desa Pulosari Kecamatan Bareng. Walaupun ada
perbedaan antara motif seragam anak sekolah dan seragam birokrasi pemerintahan,
namun keduanya tetap menggunakan motif yang diambil dari candi Arimbi. Namun
karena ganti pemerintahan, batik Jombang-an saat ini sudah tidak digunakan
lagi, sayang.
Identitas Kultural untuk Apa?
Ini
adalah pertanyaan mendasar yang perlu diselesaikan. Sederhanannya identitas
kultural itu harus ada, ya… dari pada tidak punya identitas. Identitas kultural
adalah karakter sebuah daerah, yang dengan basis karakter tersebut pembangunan
diarahkan. Tanpa mengenali karakter, pembangunan akan berjalan tanpa arah.
Sehingga membangun identitas
kultural tidak hanya berhenti pada menemukan ikon-ikon. Kita ambil contoh
Ponorogo. Semua orang tahu kalau Ponorogo punya reog, reog ini kemudian
dijadikan identitas kultural. Hampir di setiap perempatan di Ponorogo ada
patung reog, kesenian reog hidup sampai ke desa-desa. Walhasil reog menjadi
ikon pariwisata yang kuat, mulai dari pertunjukannya hingga aneka marcendise
bertemakan reog, dimana itu semua bisa menghasilkan perputaran ekonomi yang
tidak kecil.
Di Bali apalagi, setiap hari
banyak turis baik lokal maupun asing yang berbondong-bondong ke Bali. Mereka
tidak hanya mengunjungi keindahan alamnya, tapi juga kebudayaan masyarakatnya
yang sangat etnis. Kalau kita ke Bali maka akan kita saksikan rumah-rumah,
perkantoran, pure, altar-altar persembahan, sampai gapura-gapura, semuanya
mempunyai bentuk arsitek yang unik. Belum lagi upacara-upacara keagamaan yang
masih dipegang masyarakat Bali, yang itu mengundang daya tarik tersendiri.
Itu semua menunjukkan bahwa
konsistensi pada budaya akan berdampak pada perputaran ekonomi yang tidak
kecil. Dalam hal menggarap budaya dan pariwisata, kita tidak boleh melewatkan
Banyuwangi. PAD dan pendapatan perkapita Banyuwangi meningkat setelah
pemerintah menggarap sektor pariwisata secara serius, mulai dari eco tourism, sampai
Banyuwangi festival yang terdiri: Banyuwangi ethno carnival, Banyuwangi Jazz
festival, dan tour de Ijen.
Memang masing-masing daerah tidak
bisa disamakan dalam hal potensi, baik potensi alam potensi budaya, maupun
potensi sumber daya manusianya. Namun penyadaran terhadap potensi yang
dipunyai, lalu kemudian mengelolanya hingga mendapatkan hasil maksimal, adalah
penting dan tidak ada salahnya kalau kita menengok pada daerah sebelah. Dalam
hal ini, keberhasilan pengolahan sosok Gus Dur sebagai salah satu ikon Jombang,
patut diapresiasi.
Diam-diam saya membayangkan
menonton ludruk yang mnggunakan iringan
musik pop, jazz, blues, country, atau musik klasik. Pasti menjadi
tontonan yang banyak dinanti. Membayangkan mendengarkan kampanye seorang calon
kepala dearah dengan berpakain besut,
lalu dalam orasinya dia selipi dengan parik’an dan sanepan.
Membayangkan Kyai-Kyai pesantren berceramah memberikan pencerahan terhadap
fenomena di masyarakat, dengan mengutip data-data yang ia dapat dari Badan
Pusat Statistik (BPS) Kabupaten, atau dari data-data yang lainnya, tidak melulu
hanya mengutip dalil. Alangkah fantastiknya.
Saya membayangkan bahwa Islam
tidak hanya di pesantren-pesantren, atau di masjid-masjid, tapi Islam juga
hadir di pemerintahan, di sekolah-sekolah, di pusat-pusat hiburan rayat, di
pertokoan, di pom bensin, di terminal, dan di tempat-tempat lain. Sehingga
kesantrian kota Jombang, bukan hanya karena kuantitas jumlah santri, tapi juga
kualitas kehidupannya. Sebab kalau hanya ditentukan kuantitas jumlah santri
maka di pasuruan, di Gresik, bahkan di Brebes juga banyak pesantren yng
mempunyai ribuan santri.
Saya membayangkan apa lagi ya…..
M. Fathoni Mahsun
17/02/2016
0 comments:
Post a Comment