Friday, 14 July 2017

Perjumpaan dengan Fahrudin: dari Artikel ke Buku




M. Fathoni Mahsun[1]

Pertama kali perjumpaan saya dengan Fahrudin pada 2 oktober 2009, ketika itu kami sama-sama mengikuti pelatihan menulis yang diselenggarakan di kediaman Cak Nun, Menturo Sumobito Jombang. Itu perjumpaan secara fisik, kami ketika itu baru menyadari bahwa kami sudah saling tahu melalui tulisan-tulisan kami yang di muat di Radar Mojokerto. Saya mengetahui dia dari tulisan-tulisannya tentang ludruk, sedangkan dia mengetahui saya dari tulisan “Bahasa nJombang-an”.
Saya sengaja mencantumkan tanggal perjumpaan pertama kami, karena saya ingin mengimbangi gaya Fahrudin yang selalu detail dalam pencatatan waktu. Ketika ngobrol-ngobrol (sering terjadi di warung kopi), Fahrudin acapkali mengeluarkan buku catatannya sambil berkata “sek-sek.., gak enak rasane  lek gak di tolis.” Suatu saat saya pernah melirik catatannya. Ternyata berupa buku jilidan tebal dari kertas HVS polos. Setiap kali mencatat dia tidak lupa mencantumkan tanggalnya.
Yang saya tahu kemudian ternyata Fahrudin memang sangat getol di dunia budaya dan sastra. Jaringannya banyak, baik yang tersebar di seputar Jawa Timur maupun di seputaran Jogja, tempatnya dulu kuliah. Lewat interaksi-interaksi dengannya saya bisa merasakan bahwa dia sudah sangat settle dengan pilihannya pada dunia sastra. Sebuah pilihan yang sebenarnya terbilang “Murtad” atau subversif untuk ukuran tujuan hidup yang telah digariskan oleh keluarganya untuknya. Bagaimana tidak, Fahrudin sendiri pernah mengatakan bahwa oleh keluarganya dia tidak boleh neko-neko, kuliah jurusan syariah di IAIN (baca: UIN),  lalu pulang-pulang jadi penghulu seperti pamannya. Demikian yang diinginkan keluarganya.
Intensitas di dunia sastra dia mulai sejak kuliah di UIN Jogja. Ketika pulang ke Jombang dia kemudian mengalamai semacam kegalauan, karena sastra di Jombang begitu kering. Maka dia pun kemudian mendirikan Komunitas sastra Lembah Pring. Tidak puas hanya berkegiatan di Lembah Pring, dia pun kemudian juga terlibat di Komite Sastra Dewan Kesenian Jombang (Dekajo), yang ketika itu baru berdiri. Di Komite Sastra Dekajo saya bukan pengurus, namun komunitas saya (Sanggar Kata) pernah di undang rapat membicarakan tentang penerbitan jurnal sastra dan budaya 'Jombangana'.
Sementara itu Lembah Pring kemudian menggagas helatan sastra yang dilabeli 'Geladak Sastra', yang agendanya berkisar pada bedah novel, bedah karya sastra, atau obrolan sastra lainnya.  Saya tidak tahu menahu tentang acara ini, tapi tiba-tiba pada 16 Mei 2010 saya disuruh jadi moderator pada Geladak Sastra #3. Ketika itu temanya adalah "Gairah Menulis Menembus Koran". Dari acara ini saya tidak membahas tentang apa yang dibicarakan ketika itu, tapi tentang personifikasi Fahrudin. Saya merasakan bahwa Fahrudin adalah orang yang gampang percaya pada orang. Dalam artian dia selalu ber-positif thinking bahwa orang lain punya potensi. Saya ketika itu belum lama kenal Fahrudin, tapi dia sudah meminta saya jadi moderator. Maka wajar saja dengan karakter demikian, jaringannya cepat meluas.
Selepas acara itu kami memang lebih intens berkomunikasi. Tulisan-tulisan Fahrudin masih sering berhamburan di Radar Mojokerto, sedangkan saya hanya beberapa kali saja. Memang kalau urusan militansi di dunia sastra saya kalah jauh dengan Fahrudin. Bahkan suatu kali Fahrudin pernah mengabari saya bahwa tulisannya dimuat di Kompas. Ketika saya tanya kapan mengirimnya, dia menjawab sudah sekitar satu bulanan sebelumnya.
Satu pertemuan yang masih saya ingat adalah ketika kita janjian ketemu di perpustakaan Tebuireng. Ketika itu perpustakaan Tebuireng masih menempati bangunan lama sebelum dibongkar. Setelah urusan di perpustakaan selesai, Fahrudin kemudian berkata pada saya
"Ayo ngopi!!"
"Dimana?," Jawab saya.
"Di teman saya, dekat kok."
Kemudian kami meluncur ke arah barat dengan mengendarai sepeda motor masing-masing. Saya mengira dekat yang dimaksud Fahrudin di seputar Tebuireng, tapi ternyata masih terus meluncur melewati Kwaron, menuju Desa Keras. Ketika itu saya kemudian berpikiran bahwa ternyata Fahrudin masih menjadi sosok misterius bagi saya. Selanjutnya saya pikir saya diajak ke warung kopi, tapi ternyata ke rumah temannya. Kesan kemisteriusan menjadi semakin menguat di kepala saya.
Tuan rumah ketika itu menemui kami berdua mengenakan sarung dan (seingat saya) berkaos oblong hitam. Namanya Arif. Saya kemudian tahu bahwa Arif ini adalah 'mitra' Fahrudin dalam hal penjilidan. Kuat dugaan saya, bahwa buku catatan Fahrudin yang saya ceritakan di depan juga dijilid di sini. Fahrudin ketika itu sedang menanyakan apakah jilidannya sudah selesai atau belum. Dua orang ini tampaknya sudah akrab, beberapa teman Fahrudin yang saya kenal ternyata juga dikenal Arif. Keahlian Arif tidak hanya menjilid buku, tapi juga Koran. Sepertinya Fahrudin ketika itu menjilidkan Koran-koran yang didokumentasikannya. Tak lama kemudian, hidangan kopi hitam kental keluar menyambut kami. Saya baru sadar, o…, ternyata begini cara unik Fahrudin ngopi.
Namun yang terjadi kemudian adalah, ngopi bukan lagi menjadi hal yang paling penting, tapi upaya Fahrudin untuk memperkenalkan teman-temannya pada jaringan yang dipunyainya adalah hal yang jauh lebih penting. Fahrudin tidak eman membuka jaringan-jaringannya untuk teman-temannya. Dia sangat tulus melakukan hal itu. Sampai saat ini beberapa jaringan sastra yang saya punyai adalah karena dibukakan Fahrudin.
Kelak di kemudian hari ketika saya dikejar dead line mengirimkan naskah buku yang saya ikutkan dalam sayembara penulisan buku indie, saya dilanda kebingungan hebat. Karena waktu itu hari minggu, tempat foto copy-an banyak yang tutup, apalagi hari sudah berangsur malam. Tempat foto copy yang buka  hanya yang berada di sekitar pondok, karena aktifitas mereka biasanya libur hari jum'at. Maka saya kemudian meluncur ke tempat foto copy di seputaran Tebuireng. Perlu diketahui, bahwa naskah buku harus dikirim rangkap tiga dan harus dalam kondisi terjilid, sehingga sudah menyerupai buku. Karena setting dan lay out juga mempengaruhi penilaian.
Setelah naskah selesai di foto copy, saya kemudian meminta dijilid seperti bentuk buku, bukan berbentuk jilidan yang menggunakan lakban seperti umumnya jilidan foto copy. Ternyata di luar dugaan saya, tempat foto copy itu tidak bisa menjilid sesuai permintaan saya. Saya pun semakin bingung. Dalam kondisi kepepet tersebut, di ingatan saya langsung meloncat-lancat nama Arif. Dan akhirnya Arif lah yang kemudian bisa menjilid sesuai yang saya inginkan. Alhamdulillah akhirnya buku itu menjadi salah satu juara. Sayangnya, tidak lama kemudian Arif meninggal karena penyakit yang dideritanya.
Seiring berjalannya waktu, Fahrudin masih deras berkarya. Selama ini saya mengenal Fahrudin hanya melalui artikel-artikelnya, serta beberapa cerpen yang terpampang di Blog Lembah Pring. Namun suatu ketika saya berkunjung ke rumah teman saya di Komunitas Sanggar Kata, Lutfi. Dia meminjami saya buku antologi cerpen terbitan Jurnal Cerpen Indonesia yang ternyata di dalamnya ada karya Fahrudin. Tidak hanya itu, ketika saya mengunjungi bazar buku pada tanggal 23 Januari 2011 yang diselenggarakan oleh teman-teman PMII komisariat Pattimura, ternyata di sana juga ada buku Fahrudin yang berjudul Syeh Branjang Abang. Kira-kira tiga bulan menjelang kepergian Fahrudin, dia sms ke saya menanyakan apakah saya sudah punya bukunya yang berjudul Syeh Branjang Abang, saya jawab kalau saya sudah punya. Buku Fahrudin bagi saya merupakan motifasi tersendiri, karena sepanjang yang saya ketahui ketika itu, belum ada teman-teman komunitas sastra Jombang yang bukunya sudah diterbitkan oleh penerbit tenar: Pustaka Pesantren yang merupakan anak perusahaan LKiS. Hal ini lah yang menjadi pendorong bagi saya untuk tidak sekedar berkarya dalam skala artikel atau cerpen, tapi harus bisa bikin buku.
Perguliran kedekatan kami pun berlanjut. Lembah Pring pada 17 juni 2011 kembali lagi mengadakan Geladak Sastra. Kali ini membedah novel “Tarian di Ranjang Kyai”. Yan Zavin Auzand si penulis, ketika itu hadir. Saya diminta menjadi salah satu pembicaranya. Saya tidak tahu pasti kenapa saya yang ditunjuk menjadi salah satu pembicaranya. Padahal keilmuan saya tentang teori sastra lemah, bagaimana tidak, wong back ground pendidikan saya matematika. Barangkali pertimbangannya adalah saya ketika itu telah merampungkan penulisan novel “Metamorfosis telur sambal terasi”. Tetapi saya enjoy saja karena Fahrudin serta Jabbar Abdullah selaku lurah Lembah Pring, tidak pernah meremehkan orang. Setiap orang punya potensi dan perlu dikasih kesempatan berkembang, begitu kira-kira pemikiran mereka.
Kesempatan tersebut menjadi kesempatan pertama saya menjadi pembicara dalam forum sastra. Sebuah dunia yang menuntut saya untuk belajar lebih banyak lagi. Saya harus membaca lebih banyak buku sastra, baik teori sastra maupun karya sastranya. Saya harus mengenal tokoh-tokoh sastra, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Saya harus mengetahui perkembangan sastra terkini, dan saya pun harus mengenal aliran-aliran sastra. Kesemuanya itu tidak mungkin saya lakoni kalau saya tidak berjumpa dengan orang-orang seperti Fahrudin ini.
Suatu ketika kami kembali lagi bertemu dalam forum sastra, yaitu pada momen musikalisasi puisi dan bedah antologi puisi “Barisan Awan Tempur” oleh mahasiswa STKIP PGRI Jombang, pada 7 Januari 2012. Ketika itu Fahrudin sebagai salah satu pembicaranya. Diskusi berjalan sebagaimana umumnya diskusi, ada pembicara yang menyampaikan pandangannya, ada audience yang menanggapi.  Sebagai salah satu audience, saya juga turut menanggapi. Pada waktu bertemu Fahrudin, dia tidak tidak berbicara apa-apa yang sifatnya pribadi dengan saya. Tapi sesaat setelah berpisah, Fahrudin sms saya. Intinya mengapresiasi tanggapan yang saya sampaikan dan mengatakan bahwa saya semakin berisi dalam mengapresiasi sastra. Dalam hati saya berkata, ternyata Fahrudin diam-diam memperhatikan perkembangan teman-teman sastranya. Cara penyampaian lewat sms itu entah mengapa berasa sangat tulus bagi saya. Dan sms tersebut masih tersimpan di HP saya 1,5 tahun terakhir ini.
Motivasi dan apresiasi dari Fahrudin pada saya tidak sekali saja datangnya. Namun perlu saya garisbawahi dulu, fokus pembicaraan ini bukan di sayanya, tapi di Fahrudinnya. Bahwa ada orang yang tidak capek-capek memberi dorongan pada orang lain untuk terus berkembang. Kok cek kobere.Hari gini masih ada orang yang telaten memikirkan kemajuan orang lain. Tapi itulah Fahrudin. Ketulusannya berbanding lurus dengan keceplas-ceplosannya, sehingga dia banyak dikenang orang
Salah satu apresiasi lain Fahrudin pada saya adalah pada puisi yang tergabung dalam antologi puisi 17 Pijaran, yang diperuntukkan Aang Fatihul Islam sebagai cindera mata pernikahannya. Untuk menetralisir agar saya tidak ke-GR-an, ternyata Fahrudin memang royal sekali dalam mengapresiasi karya orang. Ini saya ketahui dari sambutan Cak Nas waktu pemakamannya. Bahwa Fahrudin pernah jauh-jauh dari Surabaya ke Jombang hanya untuk memberikan kliping koran Kompas yang sudah dipigora, kapada anak Mas Iin. Sebagai simbol turut berbangga karena anak yang masih SD, tulisannya sudah masuk Kompas.
Suatu saat saya sedang janjian ketemu dengan Fahrudin. Ketika itu saya memesan buku kumpulan artikel sastra. Dia sebutkan beberapa buku. Tapi yang saya pilih buku berjudul “Asep Samboja Menulis”. Buku ini merupakan kumpulan artikel Asep Samboja, yang dihimpun teman-temannya untuk mengenang Asep Samboja yang telah dipanggil Sang Kholiq. Entah apakah ini sebagai isyarat. Pertemuan tersebut terjadi pada hari jum’at, 29 maret 2013 sekitar pukul 11.00. Yang jelas, dua bulan lebih satu hari setelah pertemuan itu, Fahrudin juga dipanggal Sang Kholiq, menyusul Asep Samboja. Pertemuan yang terjadi di teras belakang Warnet Turbo itu walau sangat singkat, tapi masih sangat jelas diingatan saya. Pada kesempatan itu saya juga menunjukkan novel terbaru karya saya yang akan saya jadikan sebagai mahar.
“Wah lux banget, gak boleh dipengang ini, nanti kotor.” Kata Fahrudin. Dia berkata demikian mengingat sampul novel itu memang berwarna putih sehingga rawan kotor. Tapi saya tetap sodorkan saja ke dia agar dia memberikan tanggapannya. Dia pun menerimanya, dengan terlebih dahulu mengelap tangannya ke celananya.
“Sudah kamu cetak berapa banyak ini?”
“Belum banyak, masih satu, karena ini memang edisi eksklusif. Makanya saya cetak hard cover.”
Tak lama setelah itu, kami buru-buru berpisah, karena adzan jum’at sebentar lagi berkumandang. Ketika saya tanya kemana setelah sholat jum’at. Fahrudin berkata kalau mau ke markas Tombo Ati, melihat teman-teman yang sedang proses latihan Semar Gugat.
Tak disangka itu adalah perpisahan yang mengakhiri perjumpaan kami selama 3,5 tahun.

Surabaya, 10 Juni 2013





[1] Pegiat di Komunitas Sanggar Kata Jombang

0 comments:

Post a Comment