Suatu hari seorang Kyai Muda yang baru merintis
pesantren di Ponorogo bilang ke saya: kalau bisa Ansor jangan sampai terseret
ke politik. Yang dimaksud adalah Pilkada serentak di tahun 2018 dan Pilpres di
2019. Spontan saya jawab: tidak bisa, karena dalam sejarahnya Ansor mempunyai
keintiman dengan politik yang begitu lekat.
Penjelasan tersebut konteksnya begini. Pertama,
dalam perjalanan sejarah, Ansor pernah menjadi underbow partai politik, yaitu
ketika NU bermetamorfosis menjadi partai politik pada awal tahun 1950-an, maka
secara otomatis Ansor pun menjadi afiliasi dari partai politik di zaman itu.
Akibatnya, Ketuanya baik yang berada di pusat maupun di daerah, hampir bisa
dipastikan akan menjadi anggota DPR tidak lama setelah menjabat. Ini berarti
Ansor menjadi pintu masuk ke dunia politik.
Anggota Ansor menjadi kader politik demikian, masih
berlanjut walaupun NU sudah mengambil sikap kembali ke Khittah 1926 pada
Muktamar ke-27 di tahun 1984, yang artinya NU sudah bukan lagi organisasi
politik. Bukti bahwa Anggota Ansor masih menjadi Kader politik dalam suasan NU
kembali ke Khittah adalah, Slamet Efendi Yusuf sebagai ketua PP GP. Ansor pada
1985-1994, langsung terjun ke dunia politik.
Terhitung sejak 1984, yaitu ketika ditetapkannya
kittah NU, hingga akhir 1980-an dengan demikian menjadi masa-masa transisi.
Saya pernah mewawancarai junior Slamet yang sama-sama pernah aktif di PMII
Yogyakarta, dia pernah aktif di Ansor tapi tidak lama, karena setelah Khittah
lebih memilih PPP, konsekuensinya harus meninggalkan Ansor. Sedangkan Slamet
sang senior, lebih memilih Ansor, sehingga karirnya terus naik sampai menjadi
ketua PP GP. Ansor. Kelak dua orang senior-junior ini sama-sama menjadi anggota
DPR RI dari partai yang berbeda.
Periode setelah Slamet, duduk Iqbal Assegaf sebagai
ketua PP Ansor pada 1995-2000. Kita tahu Iqbal Assegaf walaupun usianya tidak
lama, juga berkiprah di dunia politik. Ansor periode berikutnya, Syaifulloh
Yusuf, Nusron Wahid, sampai Yaqut Cholil Qoumas, semuanya menjadi anggota DPR
RI aktif ketika menjabat sebagai ketua Ansor. Bahkan Syaifulloh Yusuf menjabat Wakil Gubernur Jatim sejak 2009 atau
setahun sebelum masa jabatan ketua PP GP. Ansor berakhir, pada 2010.
Itu adalah gambaran di tingkat pusat. Bagaimana dengan
di daerah? Kurang lebih sama, baik yang menjadi politikus; anggota DPR atau
kepala daerah, atau temannya politikus, alias tim sukses. Hubungan kader Ansor dengan politik yang
demikian kental memang memungkinkan, karena Ansor sendiri mempunyai basis masa
yang jelas, apabila dibanding dengan organisasi kepemudaan lainnya. Struktur
kepengurusannya ada mulai dari tingkat pusat hingga ke tingkat desa.
Dalam realitas sosialnya, adakalanya memang Ansor
menghadapi resistensi politik dari kalangan masyarakat, atau langsung sebut
saja Nahdliyin, sebagaimana yang saya contohkan di atas. Barangkali hal ini
dipengaruhi oleh alam berpikir kembali
ke khittah yang dipahami, yaitu tidak usah ikut-ikutan nyemplung ke
politik praktis. Ansor biar lah menjadi Ansor yang semestinya, yaitu mengurusi
masalah-masalah sosial keagamaan, dan terutama menjadi benteng terdepan NU,
Pesantren dan Kyai.
Keresahan masyarakat yang demikian sebenarnya juga dipahami
Ansor. Sehingga muncullah gagasan pembentukan Majelis Dzikir dan Sholawat
Rijalul Ansor (MDSRA) –biasa disebut MDS atau RA saja- di semua tingkat
struktur Ansor, mulai dari pusat hingga tingkat ranting yang terdapat di
desa-desa. Dikandung maksud, agar bisa menetralisir asumsi bahwa Ansor terlalu
dekat dengan politik.
Dengan demikian RA tidak hanya berisi dzikir atau
sholawatan saja, tapi lebih dari itu mendudukkan Ansor juga sebagai tempat
kaderisasi ulama’. Keluarannya bisa dilihat misalnya melalui hasil bahtsul
masail tentang dibolehkannya orang Islam memilih pimpinan non muslim, yang
sempat heboh beberapa saat lalu. Jangan dilihat kontroversinya, tapi pandanglah
bahwa hasil bahtsul masail itu adalah proses ijtihad, bagaimana merumuskan
hubungan agama dan negara. Ijtihad memang boleh salah, boleh benar kan?
Selain itu, selama ini Ansor dalam berkelindan
dengan dunia politik, tidak hanya bermain di politik praktis saja, tetapi juga
politik kebangsaan. Kita lihat bagaimana Ansor selalu pasang badan pada
upaya-upaya segelintir anak negeri yang ingin memecah-belah bangsa. Sebagaimana
yang terekam kuat pada memori kolektif bangsa ini, tentang peran Banser Ansor
berkonfrontasi dengan PKI. Ketika orang sebut Banser, pasti dalam pikirannya
yang muncul adalah “Oh..., yang dulu jadi lawan PKI”.
Peran pasang badan demikian konsisten dilakukan
hingga kini, dengan resiko Ansor Banser dapat julukan baru; tukang bubarin
pengajian. Hehehe...., julukan yang tidak mengenakkan ya, tapi kalau Ansor
Banser tidak mau ambil resiko itu, maka akan semakin banyak ustadz-ustadz yang
merongrong NKRI, dengan mengajak mendirikan sistem negara baru bernama
Khilafah.
Kembali ke politik. Lalu bolehkah Ansor terjun ke
politik praktis? Dalam PD/PRT Ansor di bab rangkap jabatan, ternyata tidak
diatur dengan tegas. Tentang rangkap jabatan, Ansor mengikuti yang digariskan
NU. Ketika saya telisik di AD/ART NU tentang rangkap jabatan, diterangkan bahwa
Ketua Umum Badan Otonom tidak dapat dirangkap dengan jabatan pengurus harian
partai politik dan jabatan pengurus harian organisasi yang berafiliasi dengan
partai politik. Dalam hal ini Ansor termasuk badan otonom NU. Yang dinamakan
Ketua Umum adalah ketua ditingkat pusat, di tingkat propinsi namanya Ketua
Pengurus Wilayah, sedang di tingkat kabupaten/ kota namanya Ketua Pengurus
Cabang.
Artinya, hanya Ketua Umum Badan Otonom saja yang
diatur dalam AD/ART NU, bukan pengurus-pengurus yang lain, termasuk Ketua
Pengurus Wilayah, apalagi Ketua Pengurus Cabang. Larangan tersebut pun sebatas
tidak boleh untuk jadi pengurus harian partai saja. Sedangkan kalau jadi anggota
DPR atau pimpinan daerah? Saya belum menemukan aturan yang melarang.
Kenyataannya Ketua Umum GP. Ansor saat ini, Gus Yaqut adalah anggota DPR RI
dari PKB. Kita juga banyak jumpai di daerah-daerah banyak pengurus Ansor yang
jadi anggota DPRD, bahkan penulis pernah menemukan, di suatu Pengurus Cabang
Ansor, terdapat lebih dari satu yang menjadi anggota DPRD.
Sebagai epilog, menjadi kader Ansor berarti sedang
membaca arah, apakah suatu hari kelak menjadi kader ulama’, yang mau mendidik
umat dan melakukan civil society, ataukah menjadi kader politik yang mempenetrasikan
pesan-pesan kebangsaan yang berhaluan Aswaja an-Nahdliyah, di kalangan elit
politik pemangku kepentingan negeri ini. Dua-duanya sama-sama penting.
Namun kalau ada yang bertanya, apa motivasi penulis
membuat artikel ini, apakah mempunyai tendensi untuk menjadi politikus suatu
saat kelak, maka pada dunia politik saya akan meminjam kata-kata Dilan: saat
ini aku tidak mencintaimu, entah nanti sore. Hehehe...
M. Fathoni Mahsun
Kader Ansor Jombang
1 comments:
Bingung cara bermain Togel Hongkong, anda bisa mengetahui cara bermain Togel Hongkong di sini Togel Hongkong
Di bawah ini juga adalah sedikit penjelasan Togel Singapura untuk membantu anda mendapatkan kemenangan bermain Togel
Togel Singapura
Anda bisa baca itu semua di Erek Erek
Erek Erek
Erek Erek 2D
Erek Erek 3D
Erek Erek 4D
Erek Erek 4D
Post a Comment