Anak kami baru berusia empat tahun, 2 hari lalu
Tapi sudah memberikan hadiah ulang tahun luar biasa.
Tau berupa apa? Berupa kebandelan yang tidak pernah saya sangka-sangka. Ketika itu
Ibunya tersungut-sungut sambil menggelandang anaknya ke hadapan saya. Selama ini
semacam ada kesepakatan tak terkatakan, kalau saya marah, maka Ibunya yang
menjadi stabilitator, menjadi tempat dia mengadu dan kemudian mendapat dekapan hangat,
demikian sebaliknya.
Pikir saya itu juga yang akan dimaksudkan Ibunya
kali ini. Ibunya pun menceritakan duduk persoalan yang terjadi, bahwa anak kami
telah memasukkan sesuatu ke –maaf- lubang WC, ini baru diketahui setelah anak
kami buang hajat ternyata tidak bisa disiram.
Saya yang dilapori tidak malah memposisikan diri sebagai stabilitator,
tapi justru ikut-ikutan marah. Walhasil, anak saya tidak mempunyai tempat
pelarian, Ibunya marah, bapaknya juga marah. Tahu bagaimana reaksinya? Tangisnya
semakin pecah, sambil bersandar di lemari, tengok kanan-kiri seakan dirinya
sekarang sebatang kara di dunia ini. Kasihan ya....
Saya ikut-ikutan marah karena dia sering berbuat
kekacauan di kamar mandi. Yang namanya bak mandi tidak pernah aman, baru juga
diisi sudah diceburi oleh dia, berikut mobil-mobilan, mainan, odol, sikat gigi,
sabun mandi, termasuk sampo. Dia yang biasanya agak susah kalau disuruh
sampo-an, tiba-tiba menjadi bersamangat kalau itu dilakukannya sendiri di bak
mandi, namun dengan modifikasi acara, mandi busa dengan satu botol sampo
sekaligus.
Ditengah suasana marah-marah yang masih belum reda,
saya pun mengecek kamar mandi. Apuunnn, itu si kuning ternyata tidak mau menyembunyikan
diri sama sekali walau sudah diguyur berkali-kali. Semakin diguyur, air semakin
meluber, itu berarti sesuatu yang ada di dalam sana berhasil secara segnifikan
menghambat aliran air, termasuk juga si kuning. Ketika saya masih bejibaku
menenggelamkan si kuning yang tak kunjung tenggelam, anak saya datang. Tangisnya
sudah reda, entah apa maksud kedatangannya, apa mau coba menyelesaikan masalah,
hanya ingin melihat perkembangan situasi, atau entah apa. Tentang tangis yang
sudah tidak lagi terjadi, pikir saya air matanya sudah habis. Ciaaahhh..,
nyenetron banget ya.
Yang jelas, ditengah keputus-asaan karena usaha yang
tak kunjung berhasil, respon saya kembali marah, pada anak saya yang datang
dengan wajah polos dan nampak ada raut bersalah itu. Reaksi dia...., segera
meninggalkan saya, tanpa suara. Tapi ketika saya cari tahu bagaimana respon dia
selanjutnya, ternyata dia masuk kamar, dan kembali nangis tersedu di sana.
Kami akhirnya memutuskan untuk membeli sikat WC
dengan tidak mengajak anak kami, maklum kami belum punya banyak perabot, karena
rumah pun belum resmi ditempati. Ketika kami akan berangkat ke toko yang tidak
jauh dari rumah, anak kami terlihat canggung mendekat. Ibunya kemudian
tiba-tiba mempunyai gagasan, kalau sampai ikut harus mau sekalian diajak ke
tukang cukur, sebagai hukuman dan kebetulan sejak beberapa hari lalu kami sudah
membujuknya, tapi dia tak kunjung mau. Jadi anak kami ini semacam punya dua
fobia, yaitu fobia dikramasi, dan fobia dicukur. Benar saja, sedetik sebelum
kami berangkat, anak kami tidak tahan untuk tidak berhambur ke Ibunya.
Kami katakan bahwa kami bersedia mengajak kalau dia
mau diajak ke tukang potong rambut. Nah kami pun menuju ke tukang cukur dahulu,
ternyata sudah tutup.
“Iya kan, tukang cukurnya tutup kan...,” anak kami
berceloteh dengan nada tanpa berdosa. Ibunya menahan tawa, sementara saya masih
jaim. Rupanya anak kami punya bakat mencairkan suasana. Akhirnya motor saya
putar ke tukang cukur lain, ternyata masih buka. Walhasil ekspresi anak kami
seperti pesakitan yang pasrah terhadap apa yang dilakukan padanya. Ketika didudukkan
di kursi cukur, wajahnya memelas, mau nangis nggak berani, berontak apalagi. Singkat
cerita, proses cukur berjalan sukses sampai akhir. Setelah selesai anak kami
berceloteh lagi.
“Tadi geli kena biru-biru,” dengan gaya khas
anak-anak empat tahun. Yang dimaksud adalah kain penutup yang berwarna biru. Suasana
semakin cair, saya sudah bisa tertawa geli. Perjalanan pun dilanjutkan. Ketika sampai
di toko, Ibunya mencari barang yang dicari, sedangkan anak kami berhambur
sendiri ke bagian jajanan anak. Tapi saya sudah kasih warning: “Awas jangan
minta apa-apa.”
Ketika selesai, anak kami berceloteh lagi “Aku tadi cuma
puter-puter, nggak minta apa-apa.” Rupanya dia masih merasa sebagai terhukum. Tapi
ekspresi polosnya membuat saya malu sendiri, jangan-jangan ada orang yang
mendengar, dan mempersepsikan bahwa saya adalah orang tua yang kejam, karena
anaknya minta jajan saja tidak dituruti. Saya pun cepat-cepat tancap gas.
Ibunya yang merasa bahwa anak kami ini lapar, karena
belum makan dan juga terlalu lama menangis, menawari untuk beli sesuatu, ada
beberapa pilihan makanan, dan akhirnya pilihan jatuh pada pentol yang kebetulan
lewat, untuk dimakan dengan sayur sop yang ada di rumah. Sesampainya di rumah
ternyata hanya mau makan pentol dan tidak mau makan nasi. Saya pun kembali
muntap, saya minta dia untuk mau makan pentol itu dengan nasi. Saya bilangi
beberapa kali tidak mau. Akhirnya pentol saya rebut dari tangannya.
Dia kembali menangis, dan berusaha menggapai-gapai
pentolnya kembali. Saya halangi, saya jauhkan, dia tidak menyerah untuk terus
merebut. Terjadi saling mempertahankan dan saling merebut untuk beberapa saat. Hanya
karena kalah body dengan bapaknya, ditambah suara saya semakin meninggi,
akhirnya dia mengurangi tensi perlawanannya.
Dalam perebutan itu, memang saya marah, tapi saya
juga sedang menguji seberapa kuat anak saya ini memperjuangkan keinginannya. Hasilnya, ini adalah kejadian kesekian
kalinya, bahwa betapa keukeuhnya anak saya kalau punya keinginan, meskipun dianya
agak cengeng dan mudah ngambek.
Di luar dugaan, sikat WC pun ternyata tidak
menyelesaikan masalah. Lalu saya ganti menggunakan kawat, apa yang terjadi? Ternyata
yang di dalam sana adalah baju anak saya yang tadi pagi dipakainya sekolah. Pantesan
air tidak bisa mengalir dan terus meluber. Saya tidak habis pikir, bagaimana
anak usia empat tahun bisa punya pikiran memasukkan bajunya ke dalam WC, utuh
secara keseluruhan sampai tidak kelihatan dari permukaan.
Ibunya yang saya lapori ternyata tidak seberapa
terkejut, karena beberapa hari sebelumnya anak kami sudah melakukan percobaan
memasukkan kaos nya ke dalam WC, untung ketika itu ketahuan. Tidak hanya baju yang
ada di dalam, tapi saya juga menemukan remahan sabun mandi, dan kata Ibunya
juga pernah memasukkan odol beserta wadahnya. Ketika itu dia sudah kena marah,
dan sudah bilang tidak mengulangi lagi. Tapi nyatanya? Mendapati ternyata yang
dimasukkan adalah baju saya pun kembali marah.
Tidak lama setelah itu, Ibunya kembali marah, dia
baru sadar kalau anak kami juga melakukan kekacauan dikamar, teriakannya
kembali histeris. Rupanya anak kami telah menumpahkan sesuatu di atas kasur. Saya
tidak tahu persis apa itu, tapi ketika saya datang, tahu-tahu sprei sudah
dilepasi, sambil mulut Ibunya terus mengomel. Anak kami kembali lagi menjadi terdakwa.
Ini untuk sekian kalinya dalam seharian ini dia kena marah.
Pertanyaannya: perkembangan psikologis apa yang
terjadi pada anak seusia itu sehingga dia mampu meng-creat kebandelan yang tak
terduga demikian? Apakah dia sudah mulai mencari identitas, sebagaimana
anak-anak remaja yang kebandelannya muncul karena memasuki masa-masa pencarian
identitas?
Lalu mestikah kami marah-marah hebat pada anak
seusia itu?
Malam selepas sholat maghrib, Ibunya sudah tampak
berdamai dengan anaknya, malah mau membuatkan mie segala. Demikian juga kepada
saya, ketika tulisan ini ditulis, dia datang pada saya dengan gaya komunikasi
yang seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal ketika kami marah-marah
seperti itu, saya takut ada trauma yang membekas di hatinya.
Saya curiga bahwa kebandelan anak seusia itu
sebenarnya bagian dari perkembangan kejiwaannya, yang datang tak diundang dan
pergi tak diantar.
Saya pun mencari alasan untuk memeluknya.
Anak kami baru berusia empat tahun. Prada namanya.
0 comments:
Post a Comment