Malam ini, kisah ini harus kuceritakan
Sebelum keadaannya berubah
Dan menguap
Malam ini sudah seminggu atau dua minggu, persisnya
aku tidak ingat, aku dibuat kaget oleh Prada. Suatu sore aku ajak dia
jalan-jalan naik motor. Ketika berada di suatu ruas jalan, tiba-tiba dia
merengek. “Belikan begen, belikan begen.” Aku pura-pura tidak tau, tapi dia
tetap merengek. Lama-lama aku jadi tergelitik sendiri, karena dia belum pernah
mengucapkan kata-kata itu setahuku.
Karena dia terus merengek, walaupun kami sudah belok
kiri setelah lepas dari lampu merah, akhirnya aku bertanya
“Apa sih, Le?”
“Begen”
“Begen apa?”
“Begen.” Untuk ukuran anak usia 4 tahun sepertinya
dia relatif cedal. Tapi percayalah, Anda akan dibuat kuwalahan kalau ajak dia
jalan-jalan, karena sepanjang jalan dia akan bertanya lagi dan lagi, tentang
apa yang dia lihat sepanjang jalan. Aku jadi bertanya-tanya, niru siapa ya?
Sepertinya aku tidak terlalu banyak omong..., hehehe.
“Apa? Abi nggak ngerti.”
“Yang bulat-bulat”
“O..., hamburger?” aku masih agak nggak yakin dengan
tebakanku.
“Iya.., tadi aku lihat di sana.” Ternyata tebakanku
benar.
Ampun...., dapat pengetahuan dari mana anak ini. Aku
langsung curiga ke Ibunya, karena dia yang hobi kuliner. Aku menduga pernah
suatu hari entah kapan, Ibunya ngajak Prada ke tempat yang di tunjukkannya
tadi. Ibunya biasanya begitu, tidak mudah menghafal jalan, tapi di pinggir
jalan ada orang jualan makanan apa saja, dia hafal. Dimana letak orang jualan
kebab, martabak, pentol bakar, pancake, gorengan, es teh, mie pedes, mie judes,
atau mie apalagi lah. Nah, hamburger ini mestinya juga begitu. Akhirnya
terpaksa aku pun putar balik. Sambil aku ingin menjawab rasa penasaranku; ciyus
anak ku pingin hamburger?
Sesampainya di rumah, aku tanya istriku, apa pernah
ngajak Prada beli hamburger? Dengan bersungut dia jawab tidak. Ha???
Sebentar..., sebentar, barangkali lupa, waktu pergi dengan Prada terus
tiba-tiba mampir, seperti ketika Prada merengek haus terus beli es teh, susu,
atau yang lainnya. Jawabannya tetap sama, tidak. Kalau beli kebab memang dia
akui pernah, dan itu aku tahu, tapi hamburger?
Kini bukan aku saja yang jadi penasaran, Istriku
juga ikut-ikutan penasaran, dari mana anak ini tahu soal hamburger.
Jangan-jangan dia tau tentang hamburger dari youtube yang biasa dia tonton.
Mungkin ketika dia lihaf film animasi atau review mainan, disela-selanya ada
animasi tentang hamburger. Saudara-saudara, ternyata tebakanku kali ini benar,
itu aku tahu dari pengakuan Prada sendiri. Aku benar-benar tidak menyangka,
bagaimana anak seusia itu bisa sangat terpengaruh dan terobsesi oleh apa yang
dilihatnya dari yotube.
Bagaimana tidak, saudara-saudaranya yang kebetulan
seusia tidak semuanya suka, Ibunya juga ngomong kalau rasanya tidak seenak
kebab. Kalau aku? Aku agak resisten dengan makanan-makanan yang tidak begitu
akrab seperti itu. Kalau klepon, getuk, sredek, jemblem, roti goreng, pentol, agak
keren dikit molen..., oke lah, gak usah di tanya, kalau ada di depan ku,
sekarang juga aku sikat.
Permasalahan pengaruh youtube ke anak itu
permasalahan pertama, ini terdengar menghawatirkan, bukan? Permasalahan kedua,
bagaimana anak sekecil itu bisa teredukasi untuk menyenangi makanan “asing” begitu. Saya kasih tanda petik pada
kata asing, paling tidak itu bagi keluarga kami, entah keluarga Anda, bisa jadi
sama, atau bisa jadi sudah akrab.
Sejak hari itu sampai saat ini, Prada sudah masuk
katagori sering, merengek minta dibelikan hamburger. Contohnya, ketika dari
rumah Mbah nya, lagi-lagi dia minta dibelikan hamburger. Saya katakan nanti
kalau sudah nyampai rumah. Karena terus terang, di tempat mertua saya tidak
tahu medan untuk urusan kuliner. Untungnya di perjalanan pulang kami menemukan
penjual hamburger.
Pertanyaannnya, wajarkah jika anak sekecil itu,
Prada namanya, tumbuh dengan lidah yang akrab dengan hamburger? Kalau akrab
dengan pentol sih saya nggak terlalu kepikiran, karena makanan itu sudah familier
di sekeliling kita. Sedangkan kaitanya dengan urusan kesehatan, bisa dibahas
belakangan.
Yang aku khawatirkan sebenarnya bukan hanya pilihan
selera, tapi lebih dari itu adalah nasionalisme dan ideologi. Kedengarannya
terlalu utopis ya. Orang Jawa bilang: kemoncolen. Tapi coba pikir,
hamburger itu berbahan roti, yang terbuat dari gandum, dan tahu kan Anda gandum
tidak bisa ditanam di Indonesia. Berarti kita harus impor. Berati –maaf-
membiasakan memakan humberger berarti....? simpulkan sendiri lah.
Sedangkan proyeksi aku pada anak, bahwa dia harus
mengakar. Begini penjelasannya. Kami adalah keluarga yang tumbuh di kampung, ndeso,
udik. Bagi saya wong ndeso itu punya identitas kultural jelas.
Sederhananya dia punya kampung halaman dengan segala identitasnya. Oleh
karenanya, sejak dini anak harus dikondisikan untuk mengenali identitas
kulturalnya itu.
Dia harus mengenal lingkungannya. Dia harus punya
teman di minimal dalam radius 500 meter dari rumah. Dia harus bermain bersama
mereka, petak umpet kek, kejar-kejaran kek. Juga dakon, gobak sodor, layangan, bentik,
nekeran, kalau itu masih ada. Jadi, untuk tingkat dasar anak saya harus sekolah
tidak jauh dari lingkungan rumah. Biar apa? Biar kenal dan akrab dengan
anak-anak di sekitarnya. Ini yang saya katakan tadi mengakar. Selagi tingkat
dasar belum perlu sekolah di luar, di kota misalnya. Nah ketika pondasi
hubungan dengan lingkungan sudah kuat, boleh lah sekolah tingkat lanjut di
luaran, mondok misalkan.
Demikan juga dengan makanan, sebelum lidahnya akrab
dengan makanan berbahan baku gandum, akrabi dulu makanan berbahan baku
singkong, beras, jagung, dan bahan-bahan makanan yang bisa tumbuh di
sekeliling. Biar nanti tidak merasa aneh kalau tiba-tiba harus makan getuk,
singkong goreng. Syukur-syukur masih kenal dengan kerot, uwi, dan aneka polo
pendem lainnya. Mengertikan maksud aku??
Untuk urusan makanan, istri ku bilang aku terlalu
standar. Aku jawab “Iya kalau aku tidak kenal dengan kamu makananku hanya tahu
tempe, hehehe...” itu usahaku agar aku tidak doen dihadapannya.
Malam ini Prada minta burger lagi. Tidak dapat,
dapatnya hot dog. Apalagi ini? Tapi dia suka.... Aahhkk.