Thursday, 22 February 2018

Belikan Begen!!!





Hasil gambar untuk hamburger


Malam ini, kisah ini harus kuceritakan
Sebelum keadaannya berubah
Dan menguap

Malam ini sudah seminggu atau dua minggu, persisnya aku tidak ingat, aku dibuat kaget oleh Prada. Suatu sore aku ajak dia jalan-jalan naik motor. Ketika berada di suatu ruas jalan, tiba-tiba dia merengek. “Belikan begen, belikan begen.” Aku pura-pura tidak tau, tapi dia tetap merengek. Lama-lama aku jadi tergelitik sendiri, karena dia belum pernah mengucapkan kata-kata itu setahuku.
Karena dia terus merengek, walaupun kami sudah belok kiri setelah lepas dari lampu merah, akhirnya aku bertanya
 “Apa sih, Le?”
“Begen”
“Begen apa?”
“Begen.” Untuk ukuran anak usia 4 tahun sepertinya dia relatif cedal. Tapi percayalah, Anda akan dibuat kuwalahan kalau ajak dia jalan-jalan, karena sepanjang jalan dia akan bertanya lagi dan lagi, tentang apa yang dia lihat sepanjang jalan. Aku jadi bertanya-tanya, niru siapa ya? Sepertinya aku tidak terlalu banyak omong..., hehehe.
“Apa? Abi nggak ngerti.”
“Yang bulat-bulat”
“O..., hamburger?” aku masih agak nggak yakin dengan tebakanku.
“Iya.., tadi aku lihat di sana.” Ternyata tebakanku benar.
Ampun...., dapat pengetahuan dari mana anak ini. Aku langsung curiga ke Ibunya, karena dia yang hobi kuliner. Aku menduga pernah suatu hari entah kapan, Ibunya ngajak Prada ke tempat yang di tunjukkannya tadi. Ibunya biasanya begitu, tidak mudah menghafal jalan, tapi di pinggir jalan ada orang jualan makanan apa saja, dia hafal. Dimana letak orang jualan kebab, martabak, pentol bakar, pancake, gorengan, es teh, mie pedes, mie judes, atau mie apalagi lah. Nah, hamburger ini mestinya juga begitu. Akhirnya terpaksa aku pun putar balik. Sambil aku ingin menjawab rasa penasaranku; ciyus anak ku pingin hamburger?
Sesampainya di rumah, aku tanya istriku, apa pernah ngajak Prada beli hamburger? Dengan bersungut dia jawab tidak. Ha??? Sebentar..., sebentar, barangkali lupa, waktu pergi dengan Prada terus tiba-tiba mampir, seperti ketika Prada merengek haus terus beli es teh, susu, atau yang lainnya. Jawabannya tetap sama, tidak. Kalau beli kebab memang dia akui pernah, dan itu aku tahu, tapi hamburger?
Kini bukan aku saja yang jadi penasaran, Istriku juga ikut-ikutan penasaran, dari mana anak ini tahu soal hamburger. Jangan-jangan dia tau tentang hamburger dari youtube yang biasa dia tonton. Mungkin ketika dia lihaf film animasi atau review mainan, disela-selanya ada animasi tentang hamburger. Saudara-saudara, ternyata tebakanku kali ini benar, itu aku tahu dari pengakuan Prada sendiri. Aku benar-benar tidak menyangka, bagaimana anak seusia itu bisa sangat terpengaruh dan terobsesi oleh apa yang dilihatnya dari yotube.
Bagaimana tidak, saudara-saudaranya yang kebetulan seusia tidak semuanya suka, Ibunya juga ngomong kalau rasanya tidak seenak kebab. Kalau aku? Aku agak resisten dengan makanan-makanan yang tidak begitu akrab seperti itu. Kalau klepon, getuk, sredek, jemblem, roti goreng, pentol, agak keren dikit molen..., oke lah, gak usah di tanya, kalau ada di depan ku, sekarang juga aku sikat.
Permasalahan pengaruh youtube ke anak itu permasalahan pertama, ini terdengar menghawatirkan, bukan? Permasalahan kedua, bagaimana anak sekecil itu bisa teredukasi untuk menyenangi makanan  “asing” begitu. Saya kasih tanda petik pada kata asing, paling tidak itu bagi keluarga kami, entah keluarga Anda, bisa jadi sama, atau bisa jadi sudah akrab.
Sejak hari itu sampai saat ini, Prada sudah masuk katagori sering, merengek minta dibelikan hamburger. Contohnya, ketika dari rumah Mbah nya, lagi-lagi dia minta dibelikan hamburger. Saya katakan nanti kalau sudah nyampai rumah. Karena terus terang, di tempat mertua saya tidak tahu medan untuk urusan kuliner. Untungnya di perjalanan pulang kami menemukan penjual hamburger.
Pertanyaannnya, wajarkah jika anak sekecil itu, Prada namanya, tumbuh dengan lidah yang akrab dengan hamburger? Kalau akrab dengan pentol sih saya nggak terlalu kepikiran, karena makanan itu sudah familier di sekeliling kita. Sedangkan kaitanya dengan urusan kesehatan, bisa dibahas belakangan.
Yang aku khawatirkan sebenarnya bukan hanya pilihan selera, tapi lebih dari itu adalah nasionalisme dan ideologi. Kedengarannya terlalu utopis ya. Orang Jawa bilang: kemoncolen. Tapi coba pikir, hamburger itu berbahan roti, yang terbuat dari gandum, dan tahu kan Anda gandum tidak bisa ditanam di Indonesia. Berarti kita harus impor. Berati –maaf- membiasakan memakan humberger berarti....? simpulkan sendiri lah.
Sedangkan proyeksi aku pada anak, bahwa dia harus mengakar. Begini penjelasannya. Kami adalah keluarga yang tumbuh di kampung, ndeso, udik. Bagi saya wong ndeso itu punya identitas kultural jelas. Sederhananya dia punya kampung halaman dengan segala identitasnya. Oleh karenanya, sejak dini anak harus dikondisikan untuk mengenali identitas kulturalnya itu.
Dia harus mengenal lingkungannya. Dia harus punya teman di minimal dalam radius 500 meter dari rumah. Dia harus bermain bersama mereka, petak umpet kek, kejar-kejaran kek. Juga  dakon, gobak sodor, layangan, bentik, nekeran, kalau itu masih ada. Jadi, untuk tingkat dasar anak saya harus sekolah tidak jauh dari lingkungan rumah. Biar apa? Biar kenal dan akrab dengan anak-anak di sekitarnya. Ini yang saya katakan tadi mengakar. Selagi tingkat dasar belum perlu sekolah di luar, di kota misalnya. Nah ketika pondasi hubungan dengan lingkungan sudah kuat, boleh lah sekolah tingkat lanjut di luaran, mondok misalkan.
Demikan juga dengan makanan, sebelum lidahnya akrab dengan makanan berbahan baku gandum, akrabi dulu makanan berbahan baku singkong, beras, jagung, dan bahan-bahan makanan yang bisa tumbuh di sekeliling. Biar nanti tidak merasa aneh kalau tiba-tiba harus makan getuk, singkong goreng. Syukur-syukur masih kenal dengan kerot, uwi, dan aneka polo pendem lainnya. Mengertikan maksud aku??
Untuk urusan makanan, istri ku bilang aku terlalu standar. Aku jawab “Iya kalau aku tidak kenal dengan kamu makananku hanya tahu tempe, hehehe...” itu usahaku agar aku tidak doen dihadapannya.
Malam ini Prada minta burger lagi. Tidak dapat, dapatnya hot dog. Apalagi ini? Tapi dia suka.... Aahhkk.

M. Fathoni Mahsun

Ansor dan Gemerlap Politik








Hasil gambar untuk Ansor politik
Suatu hari seorang Kyai Muda yang baru merintis pesantren di Ponorogo bilang ke saya: kalau bisa Ansor jangan sampai terseret ke politik. Yang dimaksud adalah Pilkada serentak di tahun 2018 dan Pilpres di 2019. Spontan saya jawab: tidak bisa, karena dalam sejarahnya Ansor mempunyai keintiman dengan politik yang begitu lekat.
Penjelasan tersebut konteksnya begini. Pertama, dalam perjalanan sejarah, Ansor pernah menjadi underbow partai politik, yaitu ketika NU bermetamorfosis menjadi partai politik pada awal tahun 1950-an, maka secara otomatis Ansor pun menjadi afiliasi dari partai politik di zaman itu. Akibatnya, Ketuanya baik yang berada di pusat maupun di daerah, hampir bisa dipastikan akan menjadi anggota DPR tidak lama setelah menjabat. Ini berarti Ansor menjadi pintu masuk ke dunia politik.
Anggota Ansor menjadi kader politik demikian, masih berlanjut walaupun NU sudah mengambil sikap kembali ke Khittah 1926 pada Muktamar ke-27 di tahun 1984, yang artinya NU sudah bukan lagi organisasi politik. Bukti bahwa Anggota Ansor masih menjadi Kader politik dalam suasan NU kembali ke Khittah adalah, Slamet Efendi Yusuf sebagai ketua PP GP. Ansor pada 1985-1994, langsung terjun ke dunia politik.
Terhitung sejak 1984, yaitu ketika ditetapkannya kittah NU, hingga akhir 1980-an dengan demikian menjadi masa-masa transisi. Saya pernah mewawancarai junior Slamet yang sama-sama pernah aktif di PMII Yogyakarta, dia pernah aktif di Ansor tapi tidak lama, karena setelah Khittah lebih memilih PPP, konsekuensinya harus meninggalkan Ansor. Sedangkan Slamet sang senior, lebih memilih Ansor, sehingga karirnya terus naik sampai menjadi ketua PP GP. Ansor. Kelak dua orang senior-junior ini sama-sama menjadi anggota DPR RI dari partai yang berbeda.
Periode setelah Slamet, duduk Iqbal Assegaf sebagai ketua PP Ansor pada 1995-2000. Kita tahu Iqbal Assegaf walaupun usianya tidak lama, juga berkiprah di dunia politik. Ansor periode berikutnya, Syaifulloh Yusuf, Nusron Wahid, sampai Yaqut Cholil Qoumas, semuanya menjadi anggota DPR RI aktif ketika menjabat sebagai ketua Ansor. Bahkan Syaifulloh Yusuf  menjabat Wakil Gubernur Jatim sejak 2009 atau setahun sebelum masa jabatan ketua PP GP. Ansor berakhir, pada 2010.
Itu adalah gambaran di tingkat pusat. Bagaimana dengan di daerah? Kurang lebih sama, baik yang menjadi politikus; anggota DPR atau kepala daerah, atau temannya politikus, alias tim sukses.  Hubungan kader Ansor dengan politik yang demikian kental memang memungkinkan, karena Ansor sendiri mempunyai basis masa yang jelas, apabila dibanding dengan organisasi kepemudaan lainnya. Struktur kepengurusannya ada mulai dari tingkat pusat hingga ke tingkat desa.
Dalam realitas sosialnya, adakalanya memang Ansor menghadapi resistensi politik dari kalangan masyarakat, atau langsung sebut saja Nahdliyin, sebagaimana yang saya contohkan di atas. Barangkali hal ini dipengaruhi oleh alam berpikir  kembali ke khittah yang dipahami, yaitu tidak usah ikut-ikutan nyemplung ke politik praktis. Ansor biar lah menjadi Ansor yang semestinya, yaitu mengurusi masalah-masalah sosial keagamaan, dan terutama menjadi benteng terdepan NU, Pesantren dan Kyai.
Keresahan masyarakat yang demikian sebenarnya juga dipahami Ansor. Sehingga muncullah gagasan pembentukan Majelis Dzikir dan Sholawat Rijalul Ansor (MDSRA) –biasa disebut MDS atau RA saja- di semua tingkat struktur Ansor, mulai dari pusat hingga tingkat ranting yang terdapat di desa-desa. Dikandung maksud, agar bisa menetralisir asumsi bahwa Ansor terlalu dekat dengan politik.
Dengan demikian RA tidak hanya berisi dzikir atau sholawatan saja, tapi lebih dari itu mendudukkan Ansor juga sebagai tempat kaderisasi ulama’. Keluarannya bisa dilihat misalnya melalui hasil bahtsul masail tentang dibolehkannya orang Islam memilih pimpinan non muslim, yang sempat heboh beberapa saat lalu. Jangan dilihat kontroversinya, tapi pandanglah bahwa hasil bahtsul masail itu adalah proses ijtihad, bagaimana merumuskan hubungan agama dan negara. Ijtihad memang boleh salah, boleh benar kan?
Selain itu, selama ini Ansor dalam berkelindan dengan dunia politik, tidak hanya bermain di politik praktis saja, tetapi juga politik kebangsaan. Kita lihat bagaimana Ansor selalu pasang badan pada upaya-upaya segelintir anak negeri yang ingin memecah-belah bangsa. Sebagaimana yang terekam kuat pada memori kolektif bangsa ini, tentang peran Banser Ansor berkonfrontasi dengan PKI. Ketika orang sebut Banser, pasti dalam pikirannya yang muncul adalah “Oh..., yang dulu jadi lawan PKI”.
Peran pasang badan demikian konsisten dilakukan hingga kini, dengan resiko Ansor Banser dapat julukan baru; tukang bubarin pengajian. Hehehe...., julukan yang tidak mengenakkan ya, tapi kalau Ansor Banser tidak mau ambil resiko itu, maka akan semakin banyak ustadz-ustadz yang merongrong NKRI, dengan mengajak mendirikan sistem negara baru bernama Khilafah.
Kembali ke politik. Lalu bolehkah Ansor terjun ke politik praktis? Dalam PD/PRT Ansor di bab rangkap jabatan, ternyata tidak diatur dengan tegas. Tentang rangkap jabatan, Ansor mengikuti yang digariskan NU. Ketika saya telisik di AD/ART NU tentang rangkap jabatan, diterangkan bahwa Ketua Umum Badan Otonom tidak dapat dirangkap dengan jabatan pengurus harian partai politik dan jabatan pengurus harian organisasi yang berafiliasi dengan partai politik. Dalam hal ini Ansor termasuk badan otonom NU. Yang dinamakan Ketua Umum adalah ketua ditingkat pusat, di tingkat propinsi namanya Ketua Pengurus Wilayah, sedang di tingkat kabupaten/ kota namanya Ketua Pengurus Cabang.
Artinya, hanya Ketua Umum Badan Otonom saja yang diatur dalam AD/ART NU, bukan pengurus-pengurus yang lain, termasuk Ketua Pengurus Wilayah, apalagi Ketua Pengurus Cabang. Larangan tersebut pun sebatas tidak boleh untuk jadi pengurus harian partai saja. Sedangkan kalau jadi anggota DPR atau pimpinan daerah? Saya belum menemukan aturan yang melarang. Kenyataannya Ketua Umum GP. Ansor saat ini, Gus Yaqut adalah anggota DPR RI dari PKB. Kita juga banyak jumpai di daerah-daerah banyak pengurus Ansor yang jadi anggota DPRD, bahkan penulis pernah menemukan, di suatu Pengurus Cabang Ansor, terdapat lebih dari satu yang menjadi anggota DPRD.
Sebagai epilog, menjadi kader Ansor berarti sedang membaca arah, apakah suatu hari kelak menjadi kader ulama’, yang mau mendidik umat dan melakukan civil society, ataukah menjadi kader politik yang mempenetrasikan pesan-pesan kebangsaan yang berhaluan Aswaja an-Nahdliyah, di kalangan elit politik pemangku kepentingan negeri ini. Dua-duanya sama-sama penting.
Namun kalau ada yang bertanya, apa motivasi penulis membuat artikel ini, apakah mempunyai tendensi untuk menjadi politikus suatu saat kelak, maka pada dunia politik saya akan meminjam kata-kata Dilan: saat ini aku tidak mencintaimu, entah nanti sore. Hehehe...

M. Fathoni Mahsun
Kader Ansor Jombang

Monday, 5 February 2018

Anak Kami Baru Berusia Empat Tahun






Anak kami baru berusia empat tahun, 2 hari lalu
Tapi sudah memberikan hadiah ulang tahun luar biasa. Tau berupa apa? Berupa kebandelan yang tidak pernah saya sangka-sangka. Ketika itu Ibunya tersungut-sungut sambil menggelandang anaknya ke hadapan saya. Selama ini semacam ada kesepakatan tak terkatakan, kalau saya marah, maka Ibunya yang menjadi stabilitator, menjadi tempat dia mengadu dan kemudian mendapat dekapan hangat, demikian sebaliknya.
Pikir saya itu juga yang akan dimaksudkan Ibunya kali ini. Ibunya pun menceritakan duduk persoalan yang terjadi, bahwa anak kami telah memasukkan sesuatu ke –maaf- lubang WC, ini baru diketahui setelah anak kami buang hajat ternyata tidak bisa disiram.  Saya yang dilapori tidak malah memposisikan diri sebagai stabilitator, tapi justru ikut-ikutan marah. Walhasil, anak saya tidak mempunyai tempat pelarian, Ibunya marah, bapaknya juga marah. Tahu bagaimana reaksinya? Tangisnya semakin pecah, sambil bersandar di lemari, tengok kanan-kiri seakan dirinya sekarang sebatang kara di dunia ini. Kasihan ya....
Saya ikut-ikutan marah karena dia sering berbuat kekacauan di kamar mandi. Yang namanya bak mandi tidak pernah aman, baru juga diisi sudah diceburi oleh dia, berikut mobil-mobilan, mainan, odol, sikat gigi, sabun mandi, termasuk sampo. Dia yang biasanya agak susah kalau disuruh sampo-an, tiba-tiba menjadi bersamangat kalau itu dilakukannya sendiri di bak mandi, namun dengan modifikasi acara, mandi busa dengan satu botol sampo sekaligus.
Ditengah suasana marah-marah yang masih belum reda, saya pun mengecek kamar mandi. Apuunnn, itu si kuning ternyata tidak mau menyembunyikan diri sama sekali walau sudah diguyur berkali-kali. Semakin diguyur, air semakin meluber, itu berarti sesuatu yang ada di dalam sana berhasil secara segnifikan menghambat aliran air, termasuk juga si kuning. Ketika saya masih bejibaku menenggelamkan si kuning yang tak kunjung tenggelam, anak saya datang. Tangisnya sudah reda, entah apa maksud kedatangannya, apa mau coba menyelesaikan masalah, hanya ingin melihat perkembangan situasi, atau entah apa. Tentang tangis yang sudah tidak lagi terjadi, pikir saya air matanya sudah habis. Ciaaahhh.., nyenetron banget ya.
Yang jelas, ditengah keputus-asaan karena usaha yang tak kunjung berhasil, respon saya kembali marah, pada anak saya yang datang dengan wajah polos dan nampak ada raut bersalah itu. Reaksi dia...., segera meninggalkan saya, tanpa suara. Tapi ketika saya cari tahu bagaimana respon dia selanjutnya, ternyata dia masuk kamar, dan kembali nangis tersedu di sana.
Kami akhirnya memutuskan untuk membeli sikat WC dengan tidak mengajak anak kami, maklum kami belum punya banyak perabot, karena rumah pun belum resmi ditempati. Ketika kami akan berangkat ke toko yang tidak jauh dari rumah, anak kami terlihat canggung mendekat. Ibunya kemudian tiba-tiba mempunyai gagasan, kalau sampai ikut harus mau sekalian diajak ke tukang cukur, sebagai hukuman dan kebetulan sejak beberapa hari lalu kami sudah membujuknya, tapi dia tak kunjung mau. Jadi anak kami ini semacam punya dua fobia, yaitu fobia dikramasi, dan fobia dicukur. Benar saja, sedetik sebelum kami berangkat, anak kami tidak tahan untuk tidak berhambur ke Ibunya.
Kami katakan bahwa kami bersedia mengajak kalau dia mau diajak ke tukang potong rambut. Nah kami pun menuju ke tukang cukur dahulu, ternyata sudah tutup.
“Iya kan, tukang cukurnya tutup kan...,” anak kami berceloteh dengan nada tanpa berdosa. Ibunya menahan tawa, sementara saya masih jaim. Rupanya anak kami punya bakat mencairkan suasana. Akhirnya motor saya putar ke tukang cukur lain, ternyata masih buka. Walhasil ekspresi anak kami seperti pesakitan yang pasrah terhadap apa yang dilakukan padanya. Ketika didudukkan di kursi cukur, wajahnya memelas, mau nangis nggak berani, berontak apalagi. Singkat cerita, proses cukur berjalan sukses sampai akhir. Setelah selesai anak kami berceloteh lagi.
“Tadi geli kena biru-biru,” dengan gaya khas anak-anak empat tahun. Yang dimaksud adalah kain penutup yang berwarna biru. Suasana semakin cair, saya sudah bisa tertawa geli. Perjalanan pun dilanjutkan. Ketika sampai di toko, Ibunya mencari barang yang dicari, sedangkan anak kami berhambur sendiri ke bagian jajanan anak. Tapi saya sudah kasih warning: “Awas jangan minta apa-apa.”
Ketika selesai, anak kami berceloteh lagi “Aku tadi cuma puter-puter, nggak minta apa-apa.” Rupanya dia masih merasa sebagai terhukum. Tapi ekspresi polosnya membuat saya malu sendiri, jangan-jangan ada orang yang mendengar, dan mempersepsikan bahwa saya adalah orang tua yang kejam, karena anaknya minta jajan saja tidak dituruti. Saya pun cepat-cepat tancap gas.
Ibunya yang merasa bahwa anak kami ini lapar, karena belum makan dan juga terlalu lama menangis, menawari untuk beli sesuatu, ada beberapa pilihan makanan, dan akhirnya pilihan jatuh pada pentol yang kebetulan lewat, untuk dimakan dengan sayur sop yang ada di rumah. Sesampainya di rumah ternyata hanya mau makan pentol dan tidak mau makan nasi. Saya pun kembali muntap, saya minta dia untuk mau makan pentol itu dengan nasi. Saya bilangi beberapa kali tidak mau. Akhirnya pentol saya rebut dari tangannya.
Dia kembali menangis, dan berusaha menggapai-gapai pentolnya kembali. Saya halangi, saya jauhkan, dia tidak menyerah untuk terus merebut. Terjadi saling mempertahankan dan saling merebut untuk beberapa saat. Hanya karena kalah body dengan bapaknya, ditambah suara saya semakin meninggi, akhirnya dia mengurangi tensi perlawanannya.
Dalam perebutan itu, memang saya marah, tapi saya juga sedang menguji seberapa kuat anak saya ini memperjuangkan keinginannya.  Hasilnya, ini adalah kejadian kesekian kalinya, bahwa betapa keukeuhnya anak saya kalau punya keinginan, meskipun dianya agak cengeng dan mudah ngambek.
Di luar dugaan, sikat WC pun ternyata tidak menyelesaikan masalah. Lalu saya ganti menggunakan kawat, apa yang terjadi? Ternyata yang di dalam sana adalah baju anak saya yang tadi pagi dipakainya sekolah. Pantesan air tidak bisa mengalir dan terus meluber. Saya tidak habis pikir, bagaimana anak usia empat tahun bisa punya pikiran memasukkan bajunya ke dalam WC, utuh secara keseluruhan sampai tidak kelihatan dari permukaan.
Ibunya yang saya lapori ternyata tidak seberapa terkejut, karena beberapa hari sebelumnya anak kami sudah melakukan percobaan memasukkan kaos nya ke dalam WC, untung ketika itu ketahuan. Tidak hanya baju yang ada di dalam, tapi saya juga menemukan remahan sabun mandi, dan kata Ibunya juga pernah memasukkan odol beserta wadahnya. Ketika itu dia sudah kena marah, dan sudah bilang tidak mengulangi lagi. Tapi nyatanya? Mendapati ternyata yang dimasukkan adalah baju saya pun kembali marah.
Tidak lama setelah itu, Ibunya kembali marah, dia baru sadar kalau anak kami juga melakukan kekacauan dikamar, teriakannya kembali histeris. Rupanya anak kami telah menumpahkan sesuatu di atas kasur. Saya tidak tahu persis apa itu, tapi ketika saya datang, tahu-tahu sprei sudah dilepasi, sambil mulut Ibunya terus mengomel. Anak kami kembali lagi menjadi terdakwa. Ini untuk sekian kalinya dalam seharian ini dia kena marah.
Pertanyaannya: perkembangan psikologis apa yang terjadi pada anak seusia itu sehingga dia mampu meng-creat kebandelan yang tak terduga demikian? Apakah dia sudah mulai mencari identitas, sebagaimana anak-anak remaja yang kebandelannya muncul karena memasuki masa-masa pencarian identitas?
Lalu mestikah kami marah-marah hebat pada anak seusia itu?
Malam selepas sholat maghrib, Ibunya sudah tampak berdamai dengan anaknya, malah mau membuatkan mie segala. Demikian juga kepada saya, ketika tulisan ini ditulis, dia datang pada saya dengan gaya komunikasi yang seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal ketika kami marah-marah seperti itu, saya takut ada trauma yang membekas di hatinya.
Saya curiga bahwa kebandelan anak seusia itu sebenarnya bagian dari perkembangan kejiwaannya, yang datang tak diundang dan pergi tak diantar.
Saya pun mencari alasan untuk memeluknya.

Anak kami baru berusia empat tahun. Prada namanya.