M. Fathoni Mahsun
Pertanyaan di atas berangkali menembus batas
kenyamanan kita yang sudah terlanjur merdeka. Karena kebanyakan dari kita
adalah generasi yang tahunya kalau 17 agustus itu ya upacara, pasang bendera
dan umbul-umbul di depan rumah, lomba-lomba, karnaval dengan mengenakan
berbagai pakaian adat, atau malam tirakatan. Pendek kata, kita adalah generasi
penikmat kemerdekaan, bukan generasi pejuang kemerdekaan.
Oleh karenannya kita tidak pernah mempunyai pengalaman batin
tentang kegelisahan, bahwa kemerdekaan adalah kebutuhan bersama dan harus diperjuangkan. Pada titik ini kita harus angkat
topi kepada para pendahulu kita yang sejak awal sudah menggagas kemerdekaan.
Dan kemerdekaan Indonesia terbilang paling awal dibanding dengan Negara-negara
lain. Bisa dibayangkan apa jadinya kita kalau para pendahulu tidak punya
inisiatif kemerdekaan.
Sejak
72 tahun lalu, bahkan jauh-jauh hari sebelumnya, para pendahulu kita sudah
mempunyai kesadaran perlunya berdiri di atas kaki sendiri, atau meminjam
istilah Bung Karno, berdikari. Karena kita mempunya bumi dengan segala apa yang
ada di dalamnya, mempunyai wilayah yang terbentang mulai dari Sabang sampai
Merauke yang harus dikelola sendiri, serta mempunyai adat istiadat dan budaya
yang harus dilestarikan. Itu semua adalah milik kita, jati diri kita dan
identitas kita. Kesadaran dan kecintaan terhadap jati diri demikian belakangan
disebut sebagai nasionalisme.
Ketika
kesadaran akan nasionalisme sudah terbentuk, lalu muncul permasalahan, dengan
cara apa kita mengikat nasionalisme tersebut? Para pendiri bangsa (funding fathers) kemudian bersepakat
nasionalisme tersebut diikat dengan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yang berdasar pada pancasila dan undang-undang dasar. Ini kemudian
menjadi kesepakatan agung yang harus dihormati dan dijaga.
Sebab
para pendahulu kita lah yang telah memperjuangkan keresahannya sehingga mewujud
kemerdekaan, yang mempunyai saham atas bangsa ini, kita statusnya hanya numpang.
NU yang berdiri sebelum kemerdekaan termasuk salah satu fihak yang mempunyai
saham atas berdirinya Negara ini. Oleh karenanya menghormati kesepakatan agung
dalam bentuk NKRI, serta melanjutkan cita-cita kemerdekaan adalah harga yang
harus kita bayar, kalau kita ingin tetap tinggal di bumi Indonesia.
Kesepakatan
tersebut mirip dengan kesepakatan yang digagas Nabi Muhammad dalam bentuk
piagam Madinah. Dimana piagam Madinah nyata-nyata mampu mengikat segala elemen
masyarakat yang hidup di tanah Yastrib untuk tinggal bersama-sama, baik dari
kalangan imigran (muhajirin), maupun penduduk pribumi (Ansor) yang terdiri dari
suku Auz dan Khazraj, serta dari orang-orang Yahudi. Dalam hal menjaga
kesepakatan, Allah SWT. sendiri berfirman dalam surah an-Nahl ayat 91:
Dan tepatilah perjanjian dengan Allah
apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu,
sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu
(terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat.
Maka sebagai warga NKRI, kemudian mempunyai
batasan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, jika
masih ingin tetap tinggal dan hidup di wilayah NKRI. Apa saja yang boleh dilakukan? Mayoritas apa yang kita lakukan saat ini,
boleh dilakukan. Bekerja boleh? Boleh, karena dengan bekerja roda ekonomi akan
berputar dan kesejahteraan hidup akan tercapai. Menuntut ilmu boleh? Boleh,
karena mencerdaskan kehidupan bangsa termasuk cita-cita kemerdekaan yang secara
eksplisit tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Berserikat boleh? Boleh, karena
dengan berserikat apapun bentuknya; Ormas, organisasi profesi, Koperasi,
partai, dll, sesuai dengan Pancasila sila ke-3.
Pendek kata, kalau
pingin jadi orang sholeh, jadilah orang sholeh se sholeh-sholehnya. Kalau ingin
jadi orang kaya, jadilah sekaya-kayanya, dan kalau ingin bahagia, bahagialah
sebahagia-bahagianya. Semuanya boleh di Indonesia. Yang tidak boleh hanya satu,
yaitu mempunyai gagasan bentuk Negara lain dalam wilayah NKRI, karena hal itu
keluar dari kesepakatan para pendiri bangsa. NKRI harga mati. Negara serikat,
negara keamiran (emirat), negara persemakmuran (common wealth), negara komunis, kesultanan, kerajaan, termasuk
khilafah, no way!!.
Tehitung sejak 1945,
negara ini telah mengalami sejarah panjang, termasuk gangguan atas kedaulatan
NKRI. Sekitar 4 tahun setelah proklamasi kemerdekaan, PKI memproklamasikan
Negara Komunis di Madiun, pasca rontoknya kabinet Amir Sjarifuddin. PKI
mempunyai gerakan revolusioner dengan mendirikan pemerintah baru yang disebut "Komite
Front Nasional".
Se-revolusioner apapun namun ini adalah gerakan illegal yang harus diberantas.
Namun
belum selesai upaya pemberantasan PKI hingga ke akar-akarnya, pada Desember
1948 terjadi agresi ke-2. Kesempatan ini digunakan PKI untuk kembali
mengkonsolidasikan kekuatan. Apa yang dikatakan dengan bahaya laten PKI benar
terjadi. 17 tahun berselang, yaitu pada 1965 PKI kembali membuat ulah dengan melakukan
penangkapan dan pembunuhan dewan jenderal, yang dituduh akan melakukan makar.
Ulah PKI kali ini lebih dikenal dengan G 20 S/ PKI.
Awal-awal
kemerdekaan rupanya menjadi tahun-tahun sulit bagi bangsa Indonesia, gangguan
kedaulatan Negara tidak hanya dari PKI, tapi juga dari gerakan yang dinamakan
dengan Darul Islam/ Tentara Islam
Indonesia DI/TII. Gerakan ini dimotori oleh Kartosuwirjo pada 1949. Wilayahnya
diawali dari daerah Pasundan kemudian menyebar ke wilayah-wilayah lain di
Indonesia.
Sebagai
umat Islam dan warga Negara yang baik, tentunya kita tidak boleh berperilaku
ekstrim sebagaimana PKI yang ekstrim kiri, dan DI/ TII yang ekstrim kanan. Akan
tetapi kita harus menjadi ummatan wasathon, sebagaimana dalam surah al-Baqoroh
143:
Dan demikian
(pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang tengah-tengah, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan
agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (per buatan) kamu.
Yaitu komunitas yang moderat (tengah-tengah). Dalam istilah yang lazim digunakan dikalangan NU,
harus tawashut, tahu kapan saatnya berdiri dan mendukung pemerintah, dan kapan
saatnya mengkritisi pemerintah. Para Kyai-kyai NU mengajarkan kepada kita untuk
menjadi umat yang lentur, tapi tetap tegas bersikap.
Dua
model gangguan terhadap kedaulatan NKRI sebagaimana yang disebut di atas,
nampaknya masih hidup hingga saat ini. Keluarga PKI kini kembali menghimpun
diri, beberapa kader PKI bahkan ditengarahi sudah menjadi bagian dari petinggi
bangsa. Bahkan beberapa tahun lalu, keluarga eks PKI mengajukan permohonan ke pengadilan
internasional, agar pemerintah Indonesia minta maaf pada keluarga PKI atas
peristiwa yang terjadi pada 1965.
Sementara
itu gagasan mendirikan Negara Islam, saat ini menemukan bentuk baru yaitu
khilafah yang diusung oleh HTI. Gerakannya begitu massif, mereka masuk ke
kampus-kampus dan mempengaruhi para intelektual, yang ketika pada tahapan
berikutnya sudah bisa memegang posisi-posisi strategis, mereka akan berpotensi melakukan
makar. Untungnya upaya pembubaran HTI sudah dilakukan.
Merenungi
kemerdekaan bukan saja tentang melihat sejarah di belakang, tapi juga kesigapan
menghadapi tantangan di depan, terhadap terus munculnya upaya-upaya mengganti
kesepakatan agung bernama NKRI. Tugas para pendiri bangsa dan para pahlawan
sudah selesai. Bagaimana mengatasi tantangan di depan yang terus bermunculan,
itu adalah tugas kita. Wallahu a’lam.
Jombang, 14 Agustus 2017
0 comments:
Post a Comment