Wednesday, 16 August 2017

Mengapa Kita Perlu Merdeka?




M. Fathoni Mahsun


Pertanyaan di atas berangkali menembus batas kenyamanan kita yang sudah terlanjur merdeka. Karena kebanyakan dari kita adalah generasi yang tahunya kalau 17 agustus itu ya upacara, pasang bendera dan umbul-umbul di depan rumah, lomba-lomba, karnaval dengan mengenakan berbagai pakaian adat, atau malam tirakatan. Pendek kata, kita adalah generasi penikmat kemerdekaan, bukan generasi pejuang kemerdekaan.
Oleh karenannya kita tidak pernah mempunyai pengalaman batin tentang kegelisahan, bahwa kemerdekaan adalah kebutuhan bersama dan harus diperjuangkan. Pada titik ini kita harus angkat topi kepada para pendahulu kita yang sejak awal sudah menggagas kemerdekaan. Dan kemerdekaan Indonesia terbilang paling awal dibanding dengan Negara-negara lain. Bisa dibayangkan apa jadinya kita kalau para pendahulu tidak punya inisiatif kemerdekaan.
Sejak 72 tahun lalu, bahkan jauh-jauh hari sebelumnya, para pendahulu kita sudah mempunyai kesadaran perlunya berdiri di atas kaki sendiri, atau meminjam istilah Bung Karno, berdikari. Karena kita mempunya bumi dengan segala apa yang ada di dalamnya, mempunyai wilayah yang terbentang mulai dari Sabang sampai Merauke yang harus dikelola sendiri, serta mempunyai adat istiadat dan budaya yang harus dilestarikan. Itu semua adalah milik kita, jati diri kita dan identitas kita. Kesadaran dan kecintaan terhadap jati diri demikian belakangan disebut sebagai nasionalisme.
Ketika kesadaran akan nasionalisme sudah terbentuk, lalu muncul permasalahan, dengan cara apa kita mengikat nasionalisme tersebut? Para pendiri bangsa (funding fathers) kemudian bersepakat nasionalisme tersebut diikat dengan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasar pada pancasila dan undang-undang dasar. Ini kemudian menjadi kesepakatan agung yang harus dihormati dan dijaga.
Sebab para pendahulu kita lah yang telah memperjuangkan keresahannya sehingga mewujud kemerdekaan, yang mempunyai saham atas bangsa ini, kita statusnya hanya numpang. NU yang berdiri sebelum kemerdekaan termasuk salah satu fihak yang mempunyai saham atas berdirinya Negara ini. Oleh karenanya menghormati kesepakatan agung dalam bentuk NKRI, serta melanjutkan cita-cita kemerdekaan adalah harga yang harus kita bayar, kalau kita ingin tetap tinggal di bumi Indonesia.
Kesepakatan tersebut mirip dengan kesepakatan yang digagas Nabi Muhammad dalam bentuk piagam Madinah. Dimana piagam Madinah nyata-nyata mampu mengikat segala elemen masyarakat yang hidup di tanah Yastrib untuk tinggal bersama-sama, baik dari kalangan imigran (muhajirin), maupun penduduk pribumi (Ansor) yang terdiri dari suku Auz dan Khazraj, serta dari orang-orang Yahudi. Dalam hal menjaga kesepakatan, Allah SWT. sendiri berfirman dalam surah an-Nahl ayat 91: 
Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
Maka sebagai warga NKRI, kemudian mempunyai batasan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, jika masih ingin tetap tinggal dan hidup di wilayah NKRI. Apa saja yang boleh dilakukan? Mayoritas apa yang kita lakukan saat ini, boleh dilakukan. Bekerja boleh? Boleh, karena dengan bekerja roda ekonomi akan berputar dan kesejahteraan hidup akan tercapai. Menuntut ilmu boleh? Boleh, karena mencerdaskan kehidupan bangsa termasuk cita-cita kemerdekaan yang secara eksplisit tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Berserikat boleh? Boleh, karena dengan berserikat apapun bentuknya; Ormas, organisasi profesi, Koperasi, partai, dll, sesuai dengan Pancasila sila ke-3.
Pendek kata, kalau pingin jadi orang sholeh, jadilah orang sholeh se sholeh-sholehnya. Kalau ingin jadi orang kaya, jadilah sekaya-kayanya, dan kalau ingin bahagia, bahagialah sebahagia-bahagianya. Semuanya boleh di Indonesia. Yang tidak boleh hanya satu, yaitu mempunyai gagasan bentuk Negara lain dalam wilayah NKRI, karena hal itu keluar dari kesepakatan para pendiri bangsa. NKRI harga mati. Negara serikat, negara keamiran (emirat), negara persemakmuran (common wealth), negara komunis, kesultanan, kerajaan, termasuk khilafah, no way!!.
Tehitung sejak 1945, negara ini telah mengalami sejarah panjang, termasuk gangguan atas kedaulatan NKRI. Sekitar 4 tahun setelah proklamasi kemerdekaan, PKI memproklamasikan Negara Komunis di Madiun, pasca rontoknya kabinet Amir Sjarifuddin. PKI mempunyai gerakan revolusioner dengan mendirikan pemerintah baru yang disebut "Komite Front Nasional". Se-revolusioner apapun namun ini adalah gerakan illegal yang harus diberantas.
Namun belum selesai upaya pemberantasan PKI hingga ke akar-akarnya, pada Desember 1948 terjadi agresi ke-2. Kesempatan ini digunakan PKI untuk kembali mengkonsolidasikan kekuatan. Apa yang dikatakan dengan bahaya laten PKI benar terjadi. 17 tahun berselang, yaitu pada 1965 PKI kembali membuat ulah dengan melakukan penangkapan dan pembunuhan dewan jenderal, yang dituduh akan melakukan makar. Ulah PKI kali ini lebih dikenal dengan G 20 S/ PKI.
Awal-awal kemerdekaan rupanya menjadi tahun-tahun sulit bagi bangsa Indonesia, gangguan kedaulatan Negara tidak hanya dari PKI, tapi juga dari gerakan yang dinamakan dengan  Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia DI/TII. Gerakan ini dimotori oleh Kartosuwirjo pada 1949. Wilayahnya diawali dari daerah Pasundan kemudian menyebar ke wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Sebagai umat Islam dan warga Negara yang baik, tentunya kita tidak boleh berperilaku ekstrim sebagaimana PKI yang ekstrim kiri, dan DI/ TII yang ekstrim kanan. Akan tetapi kita harus menjadi ummatan wasathon, sebagaimana dalam surah al-Baqoroh 143:
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang tengah-tengah, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (per buatan) kamu.
 Yaitu komunitas yang moderat (tengah-tengah). Dalam istilah yang lazim digunakan dikalangan NU, harus tawashut, tahu kapan saatnya berdiri dan mendukung pemerintah, dan kapan saatnya mengkritisi pemerintah. Para Kyai-kyai NU mengajarkan kepada kita untuk menjadi umat yang lentur, tapi tetap tegas bersikap.
Dua model gangguan terhadap kedaulatan NKRI sebagaimana yang disebut di atas, nampaknya masih hidup hingga saat ini. Keluarga PKI kini kembali menghimpun diri, beberapa kader PKI bahkan ditengarahi sudah menjadi bagian dari petinggi bangsa. Bahkan beberapa tahun lalu, keluarga eks PKI mengajukan permohonan ke pengadilan internasional, agar pemerintah Indonesia minta maaf pada keluarga PKI atas peristiwa yang terjadi pada 1965.
Sementara itu gagasan mendirikan Negara Islam, saat ini menemukan bentuk baru yaitu khilafah yang diusung oleh HTI. Gerakannya begitu massif, mereka masuk ke kampus-kampus dan mempengaruhi para intelektual, yang ketika pada tahapan berikutnya sudah bisa memegang posisi-posisi strategis, mereka akan berpotensi melakukan makar. Untungnya upaya pembubaran HTI sudah dilakukan.
Merenungi kemerdekaan bukan saja tentang melihat sejarah di belakang, tapi juga kesigapan menghadapi tantangan di depan, terhadap terus munculnya upaya-upaya mengganti kesepakatan agung bernama NKRI. Tugas para pendiri bangsa dan para pahlawan sudah selesai. Bagaimana mengatasi tantangan di depan yang terus bermunculan, itu adalah tugas kita. Wallahu a’lam.

Jombang,  14 Agustus 2017




0 comments:

Post a Comment