Wednesday, 16 August 2017

Wayang Potehi Gudo Jombang









Di suatu sore yang cerah, pada 23 April 2012 di halaman kelenteng Hong Sang Kiong Gudo, dihelat sebuah pertunjukan wayang Potehi. Menurut Sesomo, sang sehu (dalang) lakon ketika itu menceritakan tentang seorang pejuang bernama Kwee Coe Gie, yang hidup pada dinasti Tong di masa kaisar ke-5, sekitar awal abad ke-8.
Kata Potehi berasal dari dialek Hokkian yaitu dari kata Poo berarti kain, Tay (kantong), Hie (wayang). Secara lengkap istilah Po Te Hi memiliki arti wayang kantong atau boneka kantong. Dilihat dari segi bentuk, wayang Potehi mirip dengan bentuk wayang golek. Akan tetapi perbedaan dari kedua wayang tersebut adalah, dalam hal cara menggerakkan wayang golek melalui perantara sebuah gagang kayu yang terkait dengan kedua tangan dan badan wayang. Sedangkan cara memainkan wayang Potehi adalah dengan memasukkan jari tangan ke dalam kantong kain, dan menggerakkan boneka wayang sesuai dengan jalan cerita, tanpa adanya perantara sebuah gagang kayu.

Sejarah dan Perkembangannya
Pertunjukan wayang Potehi pertama kali diciptakan oleh lima orang narapidana yang telah divonis mati. Salah satu dari kelima narapidana itu berusaha menyemangati keempat temannya, dengan mengajak mereka bersenang-senang untuk menghilangkan kesedihan dan kepenatan hidup dalam penjara, dengan cara menciptakan pertunjukan boneka. Boneka-boneka yang digunakan dalam pertunjukan itu terbuat dari kain-kain bekas (bu) yang mereka temukan di sekitar penjara. Badan boneka tersebut menyerupai kantung (dai). Itulah sebabnya pertunjukan boneka itu dinamakan bu dai xi,  yang artinya pertunjukan boneka kantung yang terbuat dari kain.
Suatu ketika, ada seorang pejabat sedang berkunjung ke penjara dan mendengar suara musik gaduh dari pertunjukan boneka tersebut. Pejabat itu mendatangi tempat pertunjukan, hingga pada akhirnya sang pejabat sangat tertarik dan meminta mereka bermain di istana, kemudian memberikan seperangkat musik kepada para tahanan itu. Akhirnya mereka memainkan pertunjukan boneka di depan para pejabat. Sang kaisar yang ikut serta melihat pertunjukan tersebut rupanya tertarik. Setelah pertunjukan di istana selesai, akhirnya kelima tahanan tersebut dibebaskan dari hukuman mati, tetapi dengan syarat, kelima tahanan tersebut harus menyebarkan pertunjukan boneka yang mereka ciptakan ke seluruh negeri. Serta pertunjukan tersebut harus diperkenalkan sebagai suatu kesenian tradisional negeri tersebut[1].
Sementara itu, masuknya Potehi ke Gudo menurut Toni Harsono,  Ketua kelenteng Gudo, dibawa oleh kakeknya yang bernama Tok Su Kwie langsung dari Cina. Sehu Tok ditemani beberapa pemusiknya, salah satunya bernama Tan Hing Gie. Perkiraan tahun kedatangannya sekitar medio pertama abad 20. Hal ini karena menurut Toni, panggung Potehi telah dibuat tahun 1938. Ini berarti wayang Potehi datang ke Gudo setelah di tempat tersebut sudah ada kelenteng dan kawasan Pecinan, yang berada di dusun Petukangan, satu kilo meter  dari kelenteng. Konon kawasan pecinan itu terbangun sejak kolonial mendatangkan pekerja dari Cina untuk dipekerjakan di dua pabrik gula di sekitar wilayah tersebut. Menurut hasil penelitian, diperkirakan lokasi pabrik berada di dekat Koramil Gudo dan di Desa Magersari Blimbing. Kapankah kelenteng Gudo dibangun? Toni sendiri tidak bisa memastikan, karena tidak ada prasasti yang menjelaskan. Tapi menurutnya, notulensi yang tercatat di kelenteng mulai tahun 1900-an. Lalu kapankan kawasan pecinan di Petukangan mulai ada? Belum ada penelitian lebih lanjut mengenai hal ini. Tapi yang jelas, makam Tionghoa yang berada di timur kelenteng, ada yang bertahun 1700-an.
Karir Tok Su Kwie menjadi sehu tidak lama, karena dia meninggal pada usia 40-an. Untungnya sehu Tok sudah mengader anaknya yang bernama Tok Hong Kie menekuni dunia. Eksistensi Potehi kemudian dilanjutkan oleh Tok Hong Kie. Tok Hong Kie melakukan perkembangan baru dalam Potehi, yaitu dengan menuliskan beberapa ringkasan lakon.
Ringkasan lakon yang dilakukan oleh Sehu Tok Hong Kie sudah memakai bahasa Indonesia dialek Tionghoa peranakan, yang dulu lebih dikenal dengan sebutan Melayu Rendah, yakni lingua franca atau bahasa pengantar dikalangan komunitas Tionghoa di Indonesia, Jawa khususnya. Di Jawa, komunitas Tionghoa peranakan berasal dari berbagai etnik di Tiongkok, yang memiliki bahasa pengantar yang berbeda-beda,   sehingga untuk berkomunikasi mereka lebih memakai bahasa Melayu rendah. Para sehu sebelum angkatan sehu Tok Hong Kie masih memakai bahasa Hokkian dalam melakonkan cerita Potehi[2]. Menurut Dwi Woro Retno Mastuti, dkk (2009), Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar setelah dikeluarkan  PPN. 10/1959.
Pertunjukan wayang Potehi mengalami kegoncangan pada tahun 1967, tepatnya setelah pemberontakan G 30 S/ PKI. Pemerintah Orde Baru mengeluarkan Inpres Nomor 14  Tahun 1967, yang melarang pelaksanaan berbau leluhur Cina secara mencolok. Akibatnya wayang Potehi yang tadinya marak, kini terancam musnah. Para sehu tidak berani melakukan pertunjukan secara terbuka, pertunjukan pun sudah jarang diadakan. Dampaknya, regenerasi sehu pun terhambat. Namun menurut Toni, kelenteng Gudo ketika itu masih rutin menyelenggarakan pertunjukan wayang Potehi setahun dua kali.  Menurut perkiraan Toni hal tersebut bisa terjadi karena posisi Gudo tidak di tengah kota. Larangan pertunjukan Potehi baru dicabut pada masa Presiden Abdurrahman Wahid.

Pertunjukan
Pertunjukan wayang Potehi berbeda dengan wayang kulit yang dalam semalam suntuk bisa selesai. Satu lakon dalam Potehi minimal memakan waktu 20 hari, dimana perharinya berdurasi empat jam, yaitu dari pukul 15.30-17.00 dan dilanjutkan pada pukul 19.00-21.30. Bisa juga pertunjukan Potehi memakan waktu berbulan-bulan, tergantung banyak tidaknya yang menanggap. Asumsi menanggap tidak bisa kita samakan dengan menanggap wayang kulit, dimana tempatnya berada di tempat sang penanggap. Wayang Potehi berbeda, tempat tanggapan berada di kelenteng, sementara penanggapnya namanya hanya di daftar di papan yang disediakan. Hal demikian karena sejatinya Potehi dimakasud sebagai persembahan pada dewa, sehingga pertunjukannya harus menghadap ke kelenteng dimana dewa itu berada. Namun saat ini Potehi dimainkan tidak hanya dalam rangka persembahan saja, tapi juga sebagai pertunjukan murni. Untuk kepentingan pertunjukan, terkadang Potehi ditanggap di mall-mall atau di kampus-kampus.
Dewa yang dipuja di kelenteng Hong Sang Kiong Gudo bernama Kong Tik Cun Ong. Perlu diketahui bahwa setiap kelenteng mempunyai dewa pujaan yang berbeda-beda. Di Indonesia, karena mayoritas orang Tionghoanya berasal dari suku Hokkian, maka dewa yang dipuja walaupun berbeda-beda tapi tidak sebanyak yang berada di negara asalnya, Cina. Di kelenteng Jombang dewa yang dipuja berbeda lagi, yaitu dewa perempuan bernama Dien Sang Shing Bo. Dewa di kelenteng Gudo berjenis kelamin laki-laki.
Pertunjukan Potehi di kelenteng Gudo adalah dalam rangka persembahan pada Dewa Kong Tik Cun Ong. Ada dua momen rutin, yaitu pada saat kelahiran dewa tanggal 22 bulan kedua tahun imlek, dan pada saat dewa mencapai kesempurnaan pada tanggal 22 bulan kedelapan tahun imlek. Karena pertunjukan tersebut bersifat persembahan kepada dewa, maka penyelenggaraannya tidak bergantung pada ada atau tidak adanya penonton. Ketika penulis melakukan kunjungan ke lokasi pertunjukan, penonton hanya dari orang-orang yang berkepentingan melakukan dokumentasi, serta beberapa masyarakat yang numpang lewat. Bahkan sang penanggap pun tidak terlihat berada di tempat. Tentang lakon apa yang akan dimainkan, biasanya dimintakan persetujuan dulu pada dewa bersangkutan. Caranya dengan melempar dua bilah kacang. Di posisi tertentu kacang yang dilempar bisa diartikan persetujuan dewa terhadap lakon yang diusulkan. Sedangkan posisi yang lain bisa berarti ketidaksetujuan.
Perbedaan lain Potehi dengan wayang kulit adalah pada dalang. Dalang pada Potehi ada dua, satu dalang utama, dan satu dalang asisten. Dalang asisten perannya tidak hanya memasok boneka-boneka yang akan dimainkan, tetapi dia juga memainkan boneka, terutama ketika jalan cerita membutuhkan penampilan lebih dari satu boneka. Dua dalang tersebut saling bersebelahan. Dalang utama berada di sebelah kiri, sedang dalang asisten di sebelah kanannya. Selain itu dalang potehi pakaiannya seadanya bahkan kadang tidak berpakaian, sedangkan dalang wayang kulit berpakaian beskap lengkap. Hal tersebut karena dalang Potehi berada di balik layar.
Posisi dalang Potehi sebagaimana dalang wayang golek, tidak terlihat oleh penonton. Berlainan dengan dalang wayang kulit yang membelakangi penonton. Selain dua dalang, ada tiga pemain musik yang mengiringi sepanjang pertunjukan Potehi. Karena durasi pertunjukan Potehi berpuluh-puluh hari, bahkan berbulan-bulan, keberadaan dalang bisa digantikan dalang lain, dengan catatan jalan ceritanya masih sama. Di Indonesia jumlah sehu Potehi kira-kira hanya 12 orang, 3 di antaranya berdomisili di Jombang, yaitu Sesomo, Purwanto, dan Widodo. Tidak ada sekolah khusus untuk sehu Potehi, seperti halnya sekolah pedalangan untuk wayang kulit.



 
Tentang panggung Potehi, menurut Dwi Woro Retno Mastuti, dkk (2009), berdasarkan pengamatan di sejumlah kelenteng di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Kediri, dan Surabaya, hanya kelenteng Gudo yang mempunyai panggung pertunjukan Potehi paling bagus. Panggung tersebut dibuat pada tahun 1938. Di kelenteng Dukuh (Surabaya), terdapat juga panggung Potehi permanen, tetapi tidak seindah panggung di Gudo. Panggung di Dukuh dibuat dari batu bata, berbentuk seperti rumah kecil dengan jendela yang berfungsi sebagai pertunjukan wayang, di Gudo panggung pertunjukan Potehi didesain cantik dari kayu, dicat warna merah dengan hiasan warna-warni khas Cina.

Upaya Reproduksi
Boneka Potehi yang sekarang dimainkan di Gudo, juga di beberapa kelenteng lain di Jawa banyak merupakan hasil reproduksi yang dilakukan Toni. Pada 2001 Toni melakukan usaha reproduksi bentuk boneka Potehi sedemikian rupa. Hal ini karena dia merasa boneka-boneka Potehi yang selama ini dipakai, sudah tidak seperti aslinya lagi. Kondisi tersebut tak lepas dari pengaruh sosial politik ketika itu, dimana Potehi dilarang tampil secara terbuka selama 32 tahun, sehingga sehu-sehu yang masih bertahan tampil mendaur ulang boneka Potehi dengan kemampuan seadanya.
Upaya reproduksi teruma dengan memperhatikan kembali bentuk-bentuk boneka Potehi yang dibawa kakek Toni langsung dari Cina. Boneka-boneka tersebut diyakini telah berusia lebih dari 100 tahun, dan merupakan boneka Potehi tertua yang ditemukan di Indonesia. Selain itu Toni juga melakukan observasi ke Semarang dan ke Hotel Tugu, Malang. Bahkan dia juga mendatangkan boneka Potehi dari Cina. Itu semua dilakukan demi mendapatkan bentuk ukiran serta karakter tokoh, serta pewarnaan yang pas.
Setelah mendapat banyak refrensi, Toni meminta bantuan ahli pembuat boneka kayu. Pada tahap-tahap awal dia meminta bantuan pada Tan Soen Bing, seorang pengerajin boneka Potehi yang tinggal di depan kelenteng Gudo. Setelah Tan Soen Bing meninggal, Toni melakukan pencarian tukang pengganti yang keahliannya setaraf dengan Tan Soen Bing. Akhirnya bertemulah dengan Supangat, seorang pengukir asal Jepara. Sedangkan untuk membuat kostum boneka dia menyuruh penjahit khusus. Pekerjaan yang tersisa seperti pengecatan, memasang rambut, jambang, kumis, dan janggut, Toni sendiri yang melakukan. Boneka-boneka hasil reproduksi Toni tersebut kemudian dipinjamkan secara gratis kepada sehu-sehu yang mendapat tanggapan main Potehi. Biasanya para sehu yang tidak mempunyai boneka sendiri harus sewa.


 



















Akulturasi
Senyatanya Potehi bukan sekedar pertunjukan, juga bukan sekedar ritual persembahan, tapi juga merupakan media akulturasi antara budaya Cina dengan budaya setempat. Akulturasi tersebut termanifestasi pada beberapa aspek. Pertama sehu, tiga orang sehu yang bermain di Gudo sebagaimana disebut di atas, semuanya beretnis Jawa. Mayoritas sehu Potehi saat ini adalah orang-orang Jawa. Bahkan menurut penelitian yang dilakukan Dwi Woro Retno Mastuti, dkk (2009) mengatakan sehu Potehi yang merupakan keturunan Cina-Jawa hanya satu, bernama Thio Tiong Gie. Namun bukan berarti sehu beretnik Jawa harus menjadi penganut agama Tridarma, mereka tetap dibebaskan memeluk agamanya masing-masing.
Fenomena demikian membawa dampak turunan, yang sekaligus merupakan aspek akulturasi kedua, yaitu bahasa. Bahasa selain menggunakan bahasa Indonesia sebagaimana yang dimulai pada generasi Sehu Tok Hong Kie, juga menggunakan bahasa Jawa. Justru saat ini menurut Toni Harsono tidak ada sehu yang bisa mendalang dengan menggunakan bahasa Hokkian.
Dari catatan sehu Sesomo sebagaimana yang dikutip Dwi Woro Retno Mastuti, bahasa Indonesia dan bahasa Jawa selain digunakan sebagai pengantar pada keseluruhan cerita, juga seringkali digunakan untuk membuat pantun, diantaranya sebagai berikut:

Naik perahu sambil berdayung
Menyeberang sungai cari kepiting
Waktu pacaran ku sayang sanjung
Setelah kawin pikiran pusing

Malam minggu malam yang panjang
Jalan-jalan ke tepi lautan
Jangan ragu atau bimbang
Meskipun hidup serba pas-pasan

Buah durian gedhene sak gerdu
Piye carane kepingin mangan
Abote duwe gendhakan ayu
Saben dino nyukit celengan

Golek semut, semut pelang joang
Durung nyekel terus dicokoti
Aku semaput ditagih utang
Cicilane kok gak mari-mari
Demikianlah, dari dua aspek tersebut menyebabkan munculnya aspek ketiga, yaitu bahwa orang Jawa pun bisa menikmati pertunjukan Potehi.

Jombang, 25 April 2012


[1] Dwi Woro Retno Mastuti, dkk. 2009. Wayang Po Te Hie dan Wayang Kulit Cina-Jawa: Katalogisasi, Makna, dan Fungsi Sebagai Wujud Bela Negara Non Militer. Depok. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
[2] Hirwan Kwardhani. 2011. Toni Harsono Maecenas Potehi dari Gudo. Yogyakarta. Isac Book.