Di suatu sore yang cerah, pada 23 April 2012 di halaman kelenteng
Hong Sang Kiong Gudo, dihelat sebuah pertunjukan wayang Potehi. Menurut Sesomo,
sang sehu (dalang) lakon ketika itu menceritakan tentang seorang pejuang
bernama Kwee Coe Gie, yang hidup pada dinasti Tong di masa kaisar ke-5, sekitar
awal abad ke-8.
Kata Potehi berasal dari dialek Hokkian yaitu dari kata Poo
berarti kain, Tay (kantong), Hie (wayang). Secara lengkap istilah
Po Te Hi memiliki arti wayang kantong atau boneka kantong. Dilihat dari segi
bentuk, wayang Potehi mirip dengan bentuk wayang golek. Akan tetapi perbedaan
dari kedua wayang tersebut adalah, dalam hal cara menggerakkan wayang golek
melalui perantara sebuah gagang kayu yang terkait dengan kedua tangan dan badan
wayang. Sedangkan cara memainkan wayang Potehi adalah dengan memasukkan jari
tangan ke dalam kantong kain, dan menggerakkan boneka wayang sesuai dengan
jalan cerita, tanpa adanya perantara sebuah gagang kayu.
Sejarah dan
Perkembangannya
Pertunjukan wayang Potehi pertama kali diciptakan oleh lima orang
narapidana yang telah divonis mati. Salah satu dari kelima narapidana itu
berusaha menyemangati keempat temannya, dengan mengajak mereka bersenang-senang
untuk menghilangkan kesedihan dan kepenatan hidup dalam penjara, dengan cara
menciptakan pertunjukan boneka. Boneka-boneka yang digunakan dalam pertunjukan
itu terbuat dari kain-kain bekas (bu) yang mereka temukan di sekitar
penjara. Badan boneka tersebut menyerupai kantung (dai). Itulah sebabnya
pertunjukan boneka itu dinamakan bu dai xi, yang artinya pertunjukan boneka kantung yang
terbuat dari kain.
Suatu ketika, ada seorang pejabat sedang berkunjung ke penjara dan
mendengar suara musik gaduh dari pertunjukan boneka tersebut. Pejabat itu
mendatangi tempat pertunjukan, hingga pada akhirnya sang pejabat sangat
tertarik dan meminta mereka bermain di istana, kemudian memberikan seperangkat
musik kepada para tahanan itu. Akhirnya mereka memainkan pertunjukan boneka di
depan para pejabat. Sang kaisar yang ikut serta melihat pertunjukan tersebut
rupanya tertarik. Setelah pertunjukan di istana selesai, akhirnya kelima
tahanan tersebut dibebaskan dari hukuman mati, tetapi dengan syarat, kelima
tahanan tersebut harus menyebarkan pertunjukan boneka yang mereka ciptakan ke
seluruh negeri. Serta pertunjukan tersebut harus diperkenalkan sebagai suatu
kesenian tradisional negeri tersebut[1].
Sementara itu, masuknya Potehi ke Gudo menurut Toni Harsono, Ketua kelenteng Gudo, dibawa oleh kakeknya
yang bernama Tok Su Kwie langsung dari Cina. Sehu Tok ditemani beberapa
pemusiknya, salah satunya bernama Tan Hing Gie. Perkiraan tahun kedatangannya
sekitar medio pertama abad 20. Hal ini karena menurut Toni, panggung Potehi
telah dibuat tahun 1938. Ini berarti wayang Potehi datang ke Gudo setelah di tempat
tersebut sudah ada kelenteng dan kawasan Pecinan, yang berada di dusun
Petukangan, satu kilo meter dari
kelenteng. Konon kawasan pecinan itu terbangun sejak kolonial mendatangkan pekerja
dari Cina untuk dipekerjakan di dua pabrik gula di sekitar wilayah tersebut.
Menurut hasil penelitian, diperkirakan lokasi pabrik berada di dekat Koramil
Gudo dan di Desa Magersari Blimbing. Kapankah kelenteng Gudo dibangun? Toni
sendiri tidak bisa memastikan, karena tidak ada prasasti yang menjelaskan. Tapi
menurutnya, notulensi yang tercatat di kelenteng mulai tahun 1900-an. Lalu
kapankan kawasan pecinan di Petukangan mulai ada? Belum ada penelitian lebih
lanjut mengenai hal ini. Tapi yang jelas, makam Tionghoa yang berada di timur
kelenteng, ada yang bertahun 1700-an.
Karir Tok Su Kwie menjadi sehu tidak lama, karena dia meninggal pada
usia 40-an. Untungnya sehu Tok sudah mengader anaknya yang bernama Tok Hong Kie
menekuni dunia. Eksistensi Potehi kemudian dilanjutkan oleh Tok Hong Kie. Tok
Hong Kie melakukan perkembangan baru dalam Potehi, yaitu dengan menuliskan
beberapa ringkasan lakon.
Ringkasan lakon yang dilakukan oleh Sehu Tok Hong Kie sudah memakai
bahasa Indonesia dialek Tionghoa peranakan, yang dulu lebih dikenal dengan
sebutan Melayu Rendah, yakni lingua franca atau bahasa pengantar dikalangan
komunitas Tionghoa di Indonesia, Jawa khususnya. Di Jawa, komunitas Tionghoa
peranakan berasal dari berbagai etnik di Tiongkok, yang memiliki bahasa
pengantar yang berbeda-beda, sehingga
untuk berkomunikasi mereka lebih memakai bahasa Melayu rendah. Para sehu
sebelum angkatan sehu Tok Hong Kie masih memakai bahasa Hokkian dalam
melakonkan cerita Potehi[2].
Menurut Dwi Woro Retno Mastuti, dkk (2009), Bahasa Indonesia digunakan sebagai
bahasa pengantar setelah dikeluarkan
PPN. 10/1959.
Pertunjukan wayang Potehi mengalami kegoncangan pada tahun 1967,
tepatnya setelah pemberontakan G 30 S/ PKI. Pemerintah Orde Baru mengeluarkan
Inpres Nomor 14 Tahun 1967, yang
melarang pelaksanaan berbau leluhur Cina secara mencolok. Akibatnya wayang Potehi
yang tadinya marak, kini terancam musnah. Para sehu tidak berani melakukan
pertunjukan secara terbuka, pertunjukan pun sudah jarang diadakan. Dampaknya,
regenerasi sehu pun terhambat. Namun menurut Toni, kelenteng Gudo ketika itu
masih rutin menyelenggarakan pertunjukan wayang Potehi setahun dua kali. Menurut perkiraan Toni hal tersebut bisa
terjadi karena posisi Gudo tidak di tengah kota. Larangan pertunjukan Potehi
baru dicabut pada masa Presiden Abdurrahman Wahid.
Pertunjukan
Pertunjukan wayang Potehi berbeda dengan wayang kulit yang dalam
semalam suntuk bisa selesai. Satu lakon dalam Potehi minimal memakan waktu 20
hari, dimana perharinya berdurasi empat jam, yaitu dari pukul 15.30-17.00 dan
dilanjutkan pada pukul 19.00-21.30. Bisa juga pertunjukan Potehi memakan waktu
berbulan-bulan, tergantung banyak tidaknya yang menanggap. Asumsi menanggap
tidak bisa kita samakan dengan menanggap wayang kulit, dimana tempatnya berada
di tempat sang penanggap. Wayang Potehi berbeda, tempat tanggapan berada di
kelenteng, sementara penanggapnya namanya hanya di daftar di papan yang
disediakan. Hal demikian karena sejatinya Potehi dimakasud sebagai persembahan
pada dewa, sehingga pertunjukannya harus menghadap ke kelenteng dimana dewa itu
berada. Namun saat ini Potehi dimainkan tidak hanya dalam rangka persembahan
saja, tapi juga sebagai pertunjukan murni. Untuk kepentingan pertunjukan,
terkadang Potehi ditanggap di mall-mall atau di kampus-kampus.
Dewa yang dipuja di kelenteng Hong Sang Kiong Gudo bernama Kong Tik
Cun Ong. Perlu diketahui bahwa setiap kelenteng mempunyai dewa pujaan yang
berbeda-beda. Di Indonesia, karena mayoritas orang Tionghoanya berasal dari
suku Hokkian, maka dewa yang dipuja walaupun berbeda-beda tapi tidak sebanyak
yang berada di negara asalnya, Cina. Di kelenteng Jombang dewa yang dipuja
berbeda lagi, yaitu dewa perempuan bernama Dien Sang Shing Bo. Dewa di
kelenteng Gudo berjenis kelamin laki-laki.
Pertunjukan Potehi di kelenteng Gudo adalah dalam rangka persembahan
pada Dewa Kong Tik Cun Ong. Ada dua momen rutin, yaitu pada saat kelahiran dewa
tanggal 22 bulan kedua tahun imlek, dan pada saat dewa mencapai kesempurnaan
pada tanggal 22 bulan kedelapan tahun imlek. Karena pertunjukan tersebut
bersifat persembahan kepada dewa, maka penyelenggaraannya tidak bergantung pada
ada atau tidak adanya penonton. Ketika penulis melakukan kunjungan ke lokasi
pertunjukan, penonton hanya dari orang-orang yang berkepentingan melakukan
dokumentasi, serta beberapa masyarakat yang numpang lewat. Bahkan sang
penanggap pun tidak terlihat berada di tempat. Tentang lakon apa yang akan
dimainkan, biasanya dimintakan persetujuan dulu pada dewa bersangkutan. Caranya
dengan melempar dua bilah kacang. Di posisi tertentu kacang yang dilempar bisa
diartikan persetujuan dewa terhadap lakon yang diusulkan. Sedangkan posisi yang
lain bisa berarti ketidaksetujuan.
Perbedaan lain Potehi dengan wayang kulit adalah pada dalang. Dalang
pada Potehi ada dua, satu dalang utama, dan satu dalang asisten. Dalang asisten
perannya tidak hanya memasok boneka-boneka yang akan dimainkan, tetapi dia juga
memainkan boneka, terutama ketika jalan cerita membutuhkan penampilan lebih
dari satu boneka. Dua dalang tersebut saling bersebelahan. Dalang utama berada
di sebelah kiri, sedang dalang asisten di sebelah kanannya. Selain itu dalang
potehi pakaiannya seadanya bahkan kadang tidak berpakaian, sedangkan dalang
wayang kulit berpakaian beskap lengkap. Hal tersebut karena dalang Potehi
berada di balik layar.
Posisi dalang Potehi sebagaimana dalang wayang golek, tidak terlihat
oleh penonton. Berlainan dengan dalang wayang kulit yang membelakangi penonton.
Selain dua dalang, ada tiga pemain musik yang mengiringi sepanjang pertunjukan Potehi.
Karena durasi pertunjukan Potehi berpuluh-puluh hari, bahkan berbulan-bulan,
keberadaan dalang bisa digantikan dalang lain, dengan catatan jalan ceritanya
masih sama. Di Indonesia jumlah sehu Potehi kira-kira hanya 12 orang, 3 di
antaranya berdomisili di Jombang, yaitu Sesomo, Purwanto, dan Widodo. Tidak ada
sekolah khusus untuk sehu Potehi, seperti halnya sekolah pedalangan untuk
wayang kulit.
Tentang panggung Potehi, menurut Dwi Woro Retno Mastuti, dkk (2009),
berdasarkan pengamatan di sejumlah kelenteng di Jakarta, Semarang, Yogyakarta,
Kediri, dan Surabaya, hanya kelenteng Gudo yang mempunyai panggung pertunjukan Potehi
paling bagus. Panggung tersebut dibuat pada tahun 1938. Di kelenteng Dukuh
(Surabaya), terdapat juga panggung Potehi permanen, tetapi tidak seindah
panggung di Gudo. Panggung di Dukuh dibuat dari batu bata, berbentuk seperti
rumah kecil dengan jendela yang berfungsi sebagai pertunjukan wayang, di Gudo
panggung pertunjukan Potehi didesain cantik dari kayu, dicat warna merah dengan
hiasan warna-warni khas Cina.
Upaya Reproduksi
Boneka Potehi yang sekarang dimainkan di Gudo, juga di beberapa
kelenteng lain di Jawa banyak merupakan hasil reproduksi yang dilakukan Toni.
Pada 2001 Toni melakukan usaha reproduksi bentuk boneka Potehi sedemikian rupa.
Hal ini karena dia merasa boneka-boneka Potehi yang selama ini dipakai, sudah
tidak seperti aslinya lagi. Kondisi tersebut tak lepas dari pengaruh sosial
politik ketika itu, dimana Potehi dilarang tampil secara terbuka selama 32
tahun, sehingga sehu-sehu yang masih bertahan tampil mendaur ulang boneka Potehi
dengan kemampuan seadanya.
Upaya reproduksi teruma dengan memperhatikan kembali bentuk-bentuk
boneka Potehi yang dibawa kakek Toni langsung dari Cina. Boneka-boneka tersebut
diyakini telah berusia lebih dari 100 tahun, dan merupakan boneka Potehi tertua
yang ditemukan di Indonesia. Selain itu Toni juga melakukan observasi ke
Semarang dan ke Hotel Tugu, Malang. Bahkan dia juga mendatangkan boneka Potehi
dari Cina. Itu semua dilakukan demi mendapatkan bentuk ukiran serta karakter
tokoh, serta pewarnaan yang pas.
Setelah mendapat banyak refrensi, Toni meminta bantuan ahli pembuat
boneka kayu. Pada tahap-tahap awal dia meminta bantuan pada Tan Soen Bing,
seorang pengerajin boneka Potehi yang tinggal di depan kelenteng Gudo. Setelah
Tan Soen Bing meninggal, Toni melakukan pencarian tukang pengganti yang
keahliannya setaraf dengan Tan Soen Bing. Akhirnya bertemulah dengan Supangat,
seorang pengukir asal Jepara. Sedangkan untuk membuat kostum boneka dia
menyuruh penjahit khusus. Pekerjaan yang tersisa seperti pengecatan, memasang
rambut, jambang, kumis, dan janggut, Toni sendiri yang melakukan. Boneka-boneka
hasil reproduksi Toni tersebut kemudian dipinjamkan secara gratis kepada
sehu-sehu yang mendapat tanggapan main Potehi. Biasanya para sehu yang tidak mempunyai
boneka sendiri harus sewa.
Akulturasi
Senyatanya Potehi bukan sekedar pertunjukan, juga bukan sekedar
ritual persembahan, tapi juga merupakan media akulturasi antara budaya Cina
dengan budaya setempat. Akulturasi tersebut termanifestasi pada beberapa aspek.
Pertama sehu, tiga orang sehu yang bermain di Gudo sebagaimana disebut di atas,
semuanya beretnis Jawa. Mayoritas sehu Potehi saat ini adalah orang-orang Jawa.
Bahkan menurut penelitian yang dilakukan Dwi Woro Retno Mastuti, dkk (2009)
mengatakan sehu Potehi yang merupakan keturunan Cina-Jawa hanya satu, bernama
Thio Tiong Gie. Namun bukan berarti sehu beretnik Jawa harus menjadi penganut
agama Tridarma, mereka tetap dibebaskan memeluk agamanya masing-masing.
Fenomena demikian membawa dampak turunan, yang sekaligus merupakan
aspek akulturasi kedua, yaitu bahasa. Bahasa selain menggunakan bahasa
Indonesia sebagaimana yang dimulai pada generasi Sehu Tok Hong Kie, juga
menggunakan bahasa Jawa. Justru saat ini menurut Toni Harsono tidak ada sehu
yang bisa mendalang dengan menggunakan bahasa Hokkian.
Dari catatan sehu Sesomo sebagaimana yang dikutip Dwi Woro Retno
Mastuti, bahasa Indonesia dan bahasa Jawa selain digunakan sebagai pengantar
pada keseluruhan cerita, juga seringkali digunakan untuk membuat pantun,
diantaranya sebagai berikut:
Naik perahu sambil berdayung
Menyeberang sungai cari kepiting
Waktu pacaran ku sayang sanjung
Setelah kawin pikiran pusing
Malam minggu malam yang panjang
Jalan-jalan ke tepi lautan
Jangan ragu atau bimbang
Meskipun hidup serba pas-pasan
Buah durian gedhene sak gerdu
Piye carane kepingin mangan
Abote duwe gendhakan ayu
Saben dino nyukit celengan
Golek semut, semut pelang joang
Durung nyekel terus dicokoti
Aku semaput ditagih utang
Cicilane kok gak mari-mari
Demikianlah, dari dua aspek tersebut menyebabkan munculnya aspek
ketiga, yaitu bahwa orang Jawa pun bisa menikmati pertunjukan Potehi.
[1] Dwi Woro Retno Mastuti, dkk. 2009. Wayang Po Te Hie dan Wayang
Kulit Cina-Jawa: Katalogisasi, Makna, dan Fungsi Sebagai Wujud Bela Negara Non
Militer. Depok. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
[2] Hirwan Kwardhani. 2011. Toni Harsono Maecenas Potehi dari Gudo.
Yogyakarta. Isac Book.
|
|||||||||
Wednesday, 16 August 2017
Wayang Potehi Gudo Jombang
Posted by
fathoni mahsun
at
03:13