M. Fathoni
Mahsun[1]
Pertama
kali perjumpaan saya dengan Fahrudin pada 2 oktober 2009, ketika itu kami
sama-sama mengikuti pelatihan menulis yang diselenggarakan di kediaman Cak Nun,
Menturo Sumobito Jombang. Itu perjumpaan secara fisik, kami ketika itu baru
menyadari bahwa kami sudah saling tahu melalui tulisan-tulisan kami yang di
muat di Radar Mojokerto. Saya mengetahui dia dari tulisan-tulisannya tentang
ludruk, sedangkan dia mengetahui saya dari tulisan “Bahasa nJombang-an”.
Saya
sengaja mencantumkan tanggal perjumpaan pertama kami, karena saya ingin
mengimbangi gaya Fahrudin yang selalu detail dalam pencatatan waktu. Ketika
ngobrol-ngobrol (sering terjadi di warung kopi), Fahrudin acapkali mengeluarkan
buku catatannya sambil berkata “sek-sek.., gak enak rasane lek gak di tolis.” Suatu saat saya pernah
melirik catatannya. Ternyata berupa buku jilidan tebal dari kertas HVS polos.
Setiap kali mencatat dia tidak lupa mencantumkan tanggalnya.
Yang
saya tahu kemudian ternyata Fahrudin memang sangat getol di dunia budaya dan
sastra. Jaringannya banyak, baik yang tersebar di seputar Jawa Timur maupun di
seputaran Jogja, tempatnya dulu kuliah. Lewat interaksi-interaksi dengannya
saya bisa merasakan bahwa dia sudah sangat settle dengan pilihannya pada
dunia sastra. Sebuah pilihan yang sebenarnya terbilang “Murtad” atau subversif
untuk ukuran tujuan hidup yang telah digariskan oleh keluarganya untuknya.
Bagaimana tidak, Fahrudin sendiri pernah mengatakan bahwa oleh keluarganya dia tidak
boleh neko-neko, kuliah jurusan syariah di IAIN (baca: UIN), lalu pulang-pulang jadi penghulu seperti
pamannya. Demikian yang diinginkan keluarganya.
Intensitas
di dunia sastra dia mulai sejak kuliah di UIN Jogja. Ketika pulang ke Jombang
dia kemudian mengalamai semacam kegalauan, karena sastra di Jombang begitu
kering. Maka dia pun kemudian mendirikan Komunitas sastra Lembah Pring. Tidak
puas hanya berkegiatan di Lembah Pring, dia pun kemudian juga terlibat di
Komite Sastra Dewan Kesenian Jombang (Dekajo), yang ketika itu baru berdiri. Di
Komite Sastra Dekajo saya bukan pengurus, namun komunitas saya (Sanggar Kata)
pernah di undang rapat membicarakan tentang penerbitan jurnal sastra dan budaya
'Jombangana'.
Sementara
itu Lembah Pring kemudian menggagas helatan sastra yang dilabeli 'Geladak
Sastra', yang agendanya berkisar pada bedah novel, bedah karya sastra, atau obrolan
sastra lainnya. Saya tidak tahu menahu
tentang acara ini, tapi tiba-tiba pada 16 Mei 2010 saya disuruh jadi moderator
pada Geladak Sastra #3. Ketika itu temanya adalah "Gairah Menulis Menembus
Koran". Dari acara ini saya tidak membahas tentang apa yang dibicarakan
ketika itu, tapi tentang personifikasi Fahrudin. Saya merasakan bahwa Fahrudin
adalah orang yang gampang percaya pada orang. Dalam artian dia selalu ber-positif
thinking bahwa orang lain punya potensi. Saya ketika itu belum lama kenal
Fahrudin, tapi dia sudah meminta saya jadi moderator. Maka wajar saja dengan
karakter demikian, jaringannya cepat meluas.
Selepas
acara itu kami memang lebih intens berkomunikasi. Tulisan-tulisan Fahrudin
masih sering berhamburan di Radar Mojokerto, sedangkan saya hanya beberapa kali
saja. Memang kalau urusan militansi di dunia sastra saya kalah jauh dengan
Fahrudin. Bahkan suatu kali Fahrudin pernah mengabari saya bahwa tulisannya
dimuat di Kompas. Ketika saya tanya kapan mengirimnya, dia menjawab sudah
sekitar satu bulanan sebelumnya.
Satu
pertemuan yang masih saya ingat adalah ketika kita janjian ketemu di
perpustakaan Tebuireng. Ketika itu perpustakaan Tebuireng masih menempati
bangunan lama sebelum dibongkar. Setelah urusan di perpustakaan selesai,
Fahrudin kemudian berkata pada saya
"Ayo
ngopi!!"
"Dimana?,"
Jawab saya.
"Di
teman saya, dekat kok."
Kemudian
kami meluncur ke arah barat dengan mengendarai sepeda motor masing-masing. Saya
mengira dekat yang dimaksud Fahrudin di seputar Tebuireng, tapi ternyata masih
terus meluncur melewati Kwaron, menuju Desa Keras. Ketika itu saya kemudian
berpikiran bahwa ternyata Fahrudin masih menjadi sosok misterius bagi saya.
Selanjutnya saya pikir saya diajak ke warung kopi, tapi ternyata ke rumah
temannya. Kesan kemisteriusan menjadi semakin menguat di kepala saya.
Tuan
rumah ketika itu menemui kami berdua mengenakan sarung dan (seingat saya)
berkaos oblong hitam. Namanya Arif. Saya kemudian tahu bahwa Arif ini adalah
'mitra' Fahrudin dalam hal penjilidan. Kuat dugaan saya, bahwa buku catatan
Fahrudin yang saya ceritakan di depan juga dijilid di sini. Fahrudin ketika itu
sedang menanyakan apakah jilidannya sudah selesai atau belum. Dua orang ini
tampaknya sudah akrab, beberapa teman Fahrudin yang saya kenal ternyata juga
dikenal Arif. Keahlian Arif tidak hanya menjilid buku, tapi juga Koran.
Sepertinya Fahrudin ketika itu menjilidkan Koran-koran yang
didokumentasikannya. Tak lama kemudian, hidangan kopi hitam kental keluar
menyambut kami. Saya baru sadar, o…, ternyata begini cara unik Fahrudin ngopi.
Namun
yang terjadi kemudian adalah, ngopi bukan lagi menjadi hal yang paling penting,
tapi upaya Fahrudin untuk memperkenalkan teman-temannya pada jaringan yang
dipunyainya adalah hal yang jauh lebih penting. Fahrudin tidak eman
membuka jaringan-jaringannya untuk teman-temannya. Dia sangat tulus melakukan
hal itu. Sampai saat ini beberapa jaringan sastra yang saya punyai adalah
karena dibukakan Fahrudin.
Kelak
di kemudian hari ketika saya dikejar dead line mengirimkan naskah buku
yang saya ikutkan dalam sayembara penulisan buku indie, saya dilanda
kebingungan hebat. Karena waktu itu hari minggu, tempat foto copy-an banyak
yang tutup, apalagi hari sudah berangsur malam. Tempat foto copy yang buka hanya yang berada di sekitar pondok, karena
aktifitas mereka biasanya libur hari jum'at. Maka saya kemudian meluncur ke
tempat foto copy di seputaran Tebuireng. Perlu diketahui, bahwa naskah buku
harus dikirim rangkap tiga dan harus dalam kondisi terjilid, sehingga sudah menyerupai
buku. Karena setting dan lay out juga mempengaruhi penilaian.
Setelah
naskah selesai di foto copy, saya kemudian meminta dijilid seperti bentuk buku,
bukan berbentuk jilidan yang menggunakan lakban seperti umumnya jilidan foto
copy. Ternyata di luar dugaan saya, tempat foto copy itu tidak bisa menjilid
sesuai permintaan saya. Saya pun semakin bingung. Dalam kondisi kepepet tersebut,
di ingatan saya langsung meloncat-lancat nama Arif. Dan akhirnya Arif lah yang
kemudian bisa menjilid sesuai yang saya inginkan. Alhamdulillah akhirnya buku
itu menjadi salah satu juara. Sayangnya, tidak lama kemudian Arif meninggal
karena penyakit yang dideritanya.
Seiring
berjalannya waktu, Fahrudin masih deras berkarya. Selama ini saya mengenal Fahrudin
hanya melalui artikel-artikelnya, serta beberapa cerpen yang terpampang di Blog
Lembah Pring. Namun suatu ketika saya berkunjung ke rumah teman saya di
Komunitas Sanggar Kata, Lutfi. Dia meminjami saya buku antologi cerpen terbitan
Jurnal Cerpen Indonesia yang ternyata di dalamnya ada karya Fahrudin. Tidak
hanya itu, ketika saya mengunjungi bazar buku pada tanggal 23 Januari 2011 yang
diselenggarakan oleh teman-teman PMII komisariat Pattimura, ternyata di sana
juga ada buku Fahrudin yang berjudul Syeh Branjang Abang. Kira-kira tiga bulan
menjelang kepergian Fahrudin, dia sms ke saya menanyakan apakah saya sudah
punya bukunya yang berjudul Syeh Branjang Abang, saya jawab kalau saya sudah
punya. Buku Fahrudin bagi saya merupakan motifasi tersendiri, karena sepanjang
yang saya ketahui ketika itu, belum ada teman-teman komunitas sastra Jombang
yang bukunya sudah diterbitkan oleh penerbit tenar: Pustaka Pesantren yang
merupakan anak perusahaan LKiS. Hal ini lah yang menjadi pendorong bagi saya
untuk tidak sekedar berkarya dalam skala artikel atau cerpen, tapi harus bisa
bikin buku.
Perguliran
kedekatan kami pun berlanjut. Lembah Pring pada 17 juni 2011 kembali lagi
mengadakan Geladak Sastra. Kali ini membedah novel “Tarian di Ranjang Kyai”.
Yan Zavin Auzand si penulis, ketika itu hadir. Saya diminta menjadi salah satu
pembicaranya. Saya tidak tahu pasti kenapa saya yang ditunjuk menjadi salah
satu pembicaranya. Padahal keilmuan saya tentang teori sastra lemah, bagaimana
tidak, wong back ground pendidikan saya matematika. Barangkali
pertimbangannya adalah saya ketika itu telah merampungkan penulisan novel
“Metamorfosis telur sambal terasi”. Tetapi saya enjoy saja karena Fahrudin
serta Jabbar Abdullah selaku lurah Lembah Pring, tidak pernah meremehkan orang.
Setiap orang punya potensi dan perlu dikasih kesempatan berkembang, begitu
kira-kira pemikiran mereka.
Kesempatan
tersebut menjadi kesempatan pertama saya menjadi pembicara dalam forum sastra.
Sebuah dunia yang menuntut saya untuk belajar lebih banyak lagi. Saya harus
membaca lebih banyak buku sastra, baik teori sastra maupun karya sastranya. Saya
harus mengenal tokoh-tokoh sastra, baik dari dalam negeri maupun dari luar
negeri. Saya harus mengetahui perkembangan sastra terkini, dan saya pun harus
mengenal aliran-aliran sastra. Kesemuanya itu tidak mungkin saya lakoni kalau
saya tidak berjumpa dengan orang-orang seperti Fahrudin ini.
Suatu
ketika kami kembali lagi bertemu dalam forum sastra, yaitu pada momen
musikalisasi puisi dan bedah antologi puisi “Barisan Awan Tempur” oleh
mahasiswa STKIP PGRI Jombang, pada 7 Januari 2012. Ketika itu Fahrudin sebagai
salah satu pembicaranya. Diskusi berjalan sebagaimana umumnya diskusi, ada
pembicara yang menyampaikan pandangannya, ada audience yang
menanggapi. Sebagai salah satu audience,
saya juga turut menanggapi. Pada waktu bertemu Fahrudin, dia tidak tidak
berbicara apa-apa yang sifatnya pribadi dengan saya. Tapi sesaat setelah
berpisah, Fahrudin sms saya. Intinya mengapresiasi tanggapan yang saya
sampaikan dan mengatakan bahwa saya semakin berisi dalam mengapresiasi sastra.
Dalam hati saya berkata, ternyata Fahrudin diam-diam memperhatikan perkembangan
teman-teman sastranya. Cara penyampaian lewat sms itu entah mengapa berasa
sangat tulus bagi saya. Dan sms tersebut masih tersimpan di HP saya 1,5 tahun
terakhir ini.
Motivasi
dan apresiasi dari Fahrudin pada saya tidak sekali saja datangnya. Namun perlu
saya garisbawahi dulu, fokus pembicaraan ini bukan di sayanya, tapi di
Fahrudinnya. Bahwa ada orang yang tidak capek-capek memberi dorongan pada orang
lain untuk terus berkembang. Kok cek kobere.Hari gini masih ada orang
yang telaten memikirkan kemajuan orang lain. Tapi itulah Fahrudin.
Ketulusannya berbanding lurus dengan keceplas-ceplosannya, sehingga dia banyak
dikenang orang
Salah
satu apresiasi lain Fahrudin pada saya adalah pada puisi yang tergabung dalam
antologi puisi 17 Pijaran, yang diperuntukkan Aang Fatihul Islam sebagai
cindera mata pernikahannya. Untuk menetralisir agar saya tidak ke-GR-an,
ternyata Fahrudin memang royal sekali dalam mengapresiasi karya orang. Ini saya
ketahui dari sambutan Cak Nas waktu pemakamannya. Bahwa Fahrudin pernah
jauh-jauh dari Surabaya ke Jombang hanya untuk memberikan kliping koran Kompas
yang sudah dipigora, kapada anak Mas Iin. Sebagai simbol turut berbangga karena
anak yang masih SD, tulisannya sudah masuk Kompas.
Suatu
saat saya sedang janjian ketemu dengan Fahrudin. Ketika itu saya memesan buku
kumpulan artikel sastra. Dia sebutkan beberapa buku. Tapi yang saya pilih buku
berjudul “Asep Samboja Menulis”. Buku ini merupakan kumpulan artikel Asep
Samboja, yang dihimpun teman-temannya untuk mengenang Asep Samboja yang telah
dipanggil Sang Kholiq. Entah apakah ini sebagai isyarat. Pertemuan tersebut
terjadi pada hari jum’at, 29 maret 2013 sekitar pukul 11.00. Yang jelas, dua
bulan lebih satu hari setelah pertemuan itu, Fahrudin juga dipanggal Sang
Kholiq, menyusul Asep Samboja. Pertemuan yang terjadi di teras belakang Warnet
Turbo itu walau sangat singkat, tapi masih sangat jelas diingatan saya. Pada
kesempatan itu saya juga menunjukkan novel terbaru karya saya yang akan saya
jadikan sebagai mahar.
“Wah
lux banget, gak boleh dipengang ini, nanti kotor.” Kata Fahrudin. Dia
berkata demikian mengingat sampul novel itu memang berwarna putih sehingga
rawan kotor. Tapi saya tetap sodorkan saja ke dia agar dia memberikan
tanggapannya. Dia pun menerimanya, dengan terlebih dahulu mengelap tangannya ke
celananya.
“Sudah
kamu cetak berapa banyak ini?”
“Belum
banyak, masih satu, karena ini memang edisi eksklusif. Makanya saya cetak hard
cover.”
Tak
lama setelah itu, kami buru-buru berpisah, karena adzan jum’at sebentar lagi
berkumandang. Ketika saya tanya kemana setelah sholat jum’at. Fahrudin berkata
kalau mau ke markas Tombo Ati, melihat teman-teman yang sedang proses latihan
Semar Gugat.
Tak
disangka itu adalah perpisahan yang mengakhiri perjumpaan kami selama 3,5
tahun.
Surabaya, 10 Juni 2013