M. Fathoni Mahsun
Kami sebenarnya hanya ingin mencari tempat yang nyaman untuk memakan mie kuah. Di ruang tamu, meja sudah penuh dengan hidangan, menikmati mie dengan piring yang disangga tangan akan sangat repot, karena oleng sedikit saja kuah di piring bisa tumpah. Bu Munjidah lalu mengajak kami ke ruang makan. Kami pun menyusuri ruang demi ruang di rumah dinas Wakil Bupati Jombang tersebut. “Ini dulu teras belakang, lalu kami jadikan ruang makan,” terang perempuan berusia 67 tahun yang masih terlihat energik tersebut, membantu kami beradaptasi singkat di ruang yang kami tuju itu.
Bu Munjidah tanpa canggung mengajak kami masuk, lalu duduk mengelilingi meja yang sama, dan makan bersama-sama. Suasana kekeluargaan pun menyeruak dan kedekatan segera terasa. Di banding ketika kami berempat mewawancarai beliau di ruang tamu tadi, di sini suasana formalitas sudah tidak terasa. Ya..., meski berada di Rumah dinas, namun kami tidak mewawancarai baliau dalam kapasitas sebagai Wabup, tapi atas posisi beliau sebagai ketua Muslimat NU.
Dalam suasana demikian, Bu Munjidah lambat laun berbicara semakin lepas. “Saya ingat dulu waktu masih kecil, pernah diajak Abah ke Istana menghadiri perayaan 17-an, bersama Hasib (Pak Hasib, adik Bu Munjidah)” kenang salah satu putri Kyai Wahab ini. Perayaan 17-an diisi dengan berbagai acara, sampai kemudian tiba giliran acara hiburan yang diisi dengan tari-tarian oleh anak-anak Bung Karno. Ketika acara tari-tarian, Kyai Wahab bilang ke anak-anaknya “Aku tak pamit nang jeding, awakmu ngko tututono aku yo.” Dengan taktik demikian mereka bertiga kemudian meninggalkan istana.
Bu Munjidah kemudian mengungkapkan kenangannya, ketika diajak mendatangi Muktamar NU di Solo. “Kyai dulu kalau ikut muktamar tidak dapat penginapan satu rumah begitu, seperti kyai sekarang, tapi satu kamar di hotel. Sehingga Ibu membawakan kami tikar sama bantal, untuk dipakai tidur di bawah.” Nah, pada suatu saat Ibu Nyai Sholihah, Ibu Gus Dur mengetuk pintu kamar hotel, untuk menemui Kyai Wahab. “Pak De, tolong Dek Yusuf dimasukkan ke kepengurusan PBNU.” Dek Yusuf yang dimaksud adalah Kyai Yusuf Hasyim. Kyai Wahab tanpa pikir panjang mengabulkan permintaan tersebut.
Setelah Bu Nyai Sholihah pamit, Bu Nyai Wahab kemudian berkata pada suaminya “Lho kalau gitu Najib ya masukkan PBNU, wong dia juga sudah besar.” Najib yang dimaksud adalah Kyai Najib putra Kyai Wahab, pernah menjadi calon ketua PBNU, tapi gagal karena keburu meninggal. Jawaban kyai Wahab ternyata berbeda. “Ya itu terserah orang-orang nanti.”
Pola asuh Kyai Wahab yang tidak mengedepankan anaknya itu ternyata tidak hanya terjadi satu kali saja. Pernah suatu ketika Kyai Wahab datang dari Jakarta, bagasi mobilnya dipenuhi oleh-oleh. Namun begitu bagasi tersebut dibuka, sebelum masuk ke rumah, beliau memanggil santri untuk membagi-bagi oleh tersebut ke keponakan-keponakannya. Adik-adik Kyai Wahab, seperti Kyai Hamid, Kyai Abdurrahim, dan abahnya Kyai Fattah secara kebetulan ditakdirkan meninggal lebih dahulu, sehingga meninggalkan anak yang masih kecil-kecil. Baru setelah semuanya dapat, Kyai Wahab memberikan sisanya ke anak-anaknya.
Apakah ini tidak menimbulkan protes dari anak-anak Kyai Wahab? Tentu saja. Setidaknya kejadian berikut menggambarkan hal itu. Pada waktu bulan puasa sekitar tanggal 10, Kyai Wahab datang dari Jakarta dengan membawa beberapa koper kain. Lagi-lagi kain-kain itu bukan untuk anak-anaknya, tapi untuk keponakannya sebagai persiapan hari raya. Anak-anak beliau pun protes “Lho Bah lha kulo pundi?,” Kyai Wahab kemudian menjawab “Engko ae lek enek maneh.” Biasanya baru ada lagi sekitar tangal 20 romadhon.
Mobilitas Kyai Wahab memang terbilang tinggi, sehingga sering meninggalkan rumah. Namun ketika berada di rumah, beliau tidak lantas santai-santai untuk melepas lelah. Pernah suatu saat beliau pulang, dan didapati lampu petromak di rumahnya mati. Keesokan harinya dengan tangannya sendiri Kyai Wahab membenahi lampu tersebut, “bekakase lampu dipreteli kabeh sampai dadi sak mejo.” Cerita Bu Munjidah.
Selain itu Kyai Wahab juga masih peduli dengan pembangunan pondok. Ketika itu pondok memang sedang melakukan peluasan dengan membangun kamar-kamar di sekitar masjid. Pengawasan pembangunannya dipasrahkan pada keponakannya, Kyai Malik. Pada waktu di rumah, Kyai Wahab selalu menyempatkan untuk memantau jalannya pembangunan, serta memberikan petunjuk yang diperlukan. Demikianlah Kyai Wahab sosok Kyai yang multi tasking. Selain harus berpikir bagaimana membesarkan NU, dan membangun negara yang masih baru merdeka, beliau juga tidak abai terhadap hal-hal yang sifatnya domestik.
Merenungkan sepak terjang dan kebesaran sosok Kyai Wahab, kami pun tergelitik untuk bertanya, sebagai kyai NU yang tidak bisa terlepas dari wirid, tentunya beliau juga mempunyai amalan andalan. Mengingat, melalui santri-santrinya, beredar cerita bahwa Kyai Wahab royal memberikan aneka hisib dan do’a-do’a. Apalagi pada saat-saat genting seperti masa perang revolusi, dan pemberontakan PKI. Bu Munjidah ternyata menjawab singkat “Burdah”. Menurut beliau, kalau kondisi sedang genting, maka ngaji santri diliburkan, dan mereka diminta mewiridkan sholawat burdah.
“Sampai saat ini pun saya selalu mengamalkan burdah kalau sedang ada masalah, atau hajat tertentu.” Terang Bu Mun. Kami juga diberitahu bagaimana cara mengamalkannya.
Kami pun pulang dengan perut kenyang dan membawa pengalaman berkesam malam ini.
Wawancara dengan Bu Munjidah, Rabu, 25 Januari 2017
0 comments:
Post a Comment