Monday, 5 June 2017

Batik Jombang-an


M. Fathoni Mahsun *)

Pada awal 2008 lalu, penulis bertemu dengan salah satu perajin batik asal Jombang yang berpameran di Jakarta Convention Centre (JCC). Karena kenal dan kebetulan tetangga, saya ajak dia ngobrol panjang lebar. Tema yang dibicarakan tidak jauh-jauh dari batik, sampai suatu ketika penulis menanyakan, apa bedanya batik bernuansa Jombangan dengan batik lainnya. Kebetulan stand dia dekat dengan stand batik Cirebon, batik Jogja, batik Kudus, batik Pekalongan dan batik-batik daerah lain. Dia menjawab, yang membedakan adalah, batik Jombangan mengambil motif dari relif Candi Arimbi. Itu adalah informasi pertama yang penulis dengar tentang batik Jombangan.

Kapankah relif Arimbi mulai dieksplorasi menjadi motif batik? Menurut Ibu Maniati, perajin batik dari Desa Jatipelem Diwek Jombang, penggunaan relif Arimbi mulai digunakan sebagai motif batik pada sekitar 2005. Berarti sudah empat tahun batik Jombangan memasyarakat. Walaupun terbilang baru, langkah tersebut patut diapresiasi. Karena setidaknya Jombang tidak kedodoran dan latah ikut-ikutan demam batik, terutama pasca ditetapkannya batik sebagai warisan dunia non benda oleh UNESCO. Karena Jombang sudah mempunyai karya nyata jauh-jauh hari sebelumnya.

Didorong oleh keingintahuan yang besar, penulis ingin menyaksikan langsung, bagaimana sejatinya relif Arimbi yang menjadi inspirasi batik Jombangan tersebut. Penulis mendatangi candi yang terletak di desa Ngrimbi/Arimbi di Kecamatan Bareng Jombang. Lokasinya di samping jalan menuju arah Wonosalam. Candi Arimbi merupakan peninggalan Mojopahit. Tetapi candi ini berstruktur dari bahan batu kali, bukan dari batu bata seperti umumnya candi peninggalan Mojopahit yang kita bisa saksikan di Trowulan Mojokerto.

Bangunannya tidak begitu besar, sedikit lebih kecil dari Candi Bajangratu di Trowulan. Namun tampak sekali nuansa Hindunya. Bangunannya menjulang. Nah, relief yang digunakan sebagai motif batik itu sendiri ternyata tidak terletak di bangunan utamanya. Melainkan di potongan batu yang tergeletak di selatan candi utama. Barangkali dulunya juga bagian dari bangunan candi. Tetapi karena bencana alam atau sebab-sebab lain sehingga menjadi terpisah.

Walaupun tidak terletak di bangunan utama, akan tetapi relief yang dibuat sebagai motif batik tersebut memang menonjol. Bahkan lebih menonjol dibanding relief yang terdapat di candi utama. Berupa ukir-ukiran segitiga dengan lancip di bawah, mirip dengan motif batik Jombangan yang kita kenal selama ini. Namun, ketika diamati lebih teliti, motif batik yang digunakan tidak ada yang benar-benar sama dengan relif asli yang ada di Candi Arimbi. Para perajin batik nampaknya telah melakukan improvisasi-improvisasi. Dikatakan lebih menonjol karena bentuknya utuh. Sehingga masih terlihat jelas setiap detailnya, serta jumlahnya tidak hanya satu, tetapi ada dua relif yang sama.

Legendaris

Dibuatnya relif arimbi sebagai motif batik Jombangan memberikan kesan legendaris. Sebab bersumber dari akar budaya masa lalu. Hal ini menjadi istimewa karena tidak semua motif batik mempunyai akar budaya yang demikian kuat, terutama batik-batik kontemporer. Sehingga pemilihan relif arimbi sebagai identitas batik Jombangan cukup beralasan.

Selain itu, keberadaan batik ini langsung diterima secara masal. Semua instansi, baik negeri maupun swasta, sampai para siswa sekolah, seluruhnya mengenakan batik Jombangan dengan berbagai macam variasi motif. Dikalangan pegawai dan karyawan, setidaknya ada tiga variasi motif, masing-masing berwarna oranye, hijau, dan putih. Sedangkan di kalangan siswa, sedikitnya juga ada tiga, masing-masing berwarna biru, merah dan coklat. Motif arimbi yang terdapat di seragam siswa umumnya lebih kecil-kecil dan detail. Penerimaan yang nyaris tanpa syarat ini seakan-akan menunjukkan bahwa masyarakat Jombang sedang menemukan kembali identitas primitifnya yang lama menghilang. Sehingga begitu dia ditemukan, langsung hanya ada satu kata yang muncul, menerima.

Bentuk siluetnya yang segitiga dengan pucuk menghadap ke bawah, membuat motif arimbi tampak geometris. Apalagi motif itu umumnya digambar dalam jumlah yang banyak ketika diaplikasikan  ke kain batik. Sehingga bentuk siluet yang berisi ukir-ukiran yang rumit ini, menemukan persamaannya dengan batik-batik Jawa Tengahan, yang sebagiannya juga memiliki motif geometris; wajik, bulat, kotak dan garis-garis. Satu ciri umum lainnya adalah bentuknya yang simetris, kiri dan kanan sama, sesuai dengan filosofi Jawa yang mengedepankan keseimbangan.

Namun, apakah cukup mengandalkan arimbi sebagai satu-satunya motif batik Jombangan? Kalau jawabannya ya, maka perkembangan batik Jombangan terhenti. Daerah-daerah lain yang menjadikan batik sebagai maskotnya seperti Jogja, Pekalongan, dan Cirebon umumnya punya lebih dari satu motif. Bahkan Mojokerto sudah mempunyai beberapa macam motif. Antara lain Alas Mojopahit, Batik Mojo, Gedeg Roboh, Mrico Bolong, Sisik Krisik, Rawan Inggek, Pring Sedapur dan Koro renten (Radar Mojokerto 5/10/2009).

Dua Pola

Berangkat dari keresahan untuk mengembangkan batik Jombangan, maka mendesak untuk terus dilakukan penggalian motif-motif batik lainnya. Bila menginginkan motif yang legendaris dan berkarakter kuat sebagaimana arimbi, syaratnya ada dua. Pertama, harus ada unsur sakralnya. Kedua memenuhi unsur primitif, dalam artian mempunyai keterikatan kuat dengan akar budaya masa lalu. Namun, barangkali ini akan mengalami kendala, karena  di Jombang tidak banyak situs-situs serupa arimbi yang memenuhi dua syarat tersebut. Kabar baiknya, di arimbi ternyata masih ada beberapa relif lagi yang belum dimanfaatkan. Yaitu relief-relief yang terpahat di bangunan candi utama. Relief tersebut kira-kira bercerita tentang kehidupan di masa candi itu dibuat, yang terdiri dari relif cerita petani, kehidupan antara lelaki dan perempuan, gaya hidup, beberapa binatang, serta salur-salur dan bunga-bunga. Bila relief ini dieksplorasi untuk motif-motif baru, maka bisa dipastikan batik Jombangan akan semakin kaya.

Alternatif lainnya adalah meliarkan imajinasi dengan menggali keunikan-keunikan baru.  Seperti halnya yang pernah dilakukan oleh Ibu Maniati. ''Dahulu saya mengawali membatik dengan menggunakan motif jumputan," ungkapnya kepada penulis. Motif jumputan yang dimaksud Maniati berbentuk lingkaran yang lobang tengahnya, dengan diameter kurang lebih  dua centimeter. Motif yang demikian itu, menurut pengalamannya yang telah mengikuti berbagai even pameran, belum pernah ada di Indonesia. Motif lain yang pernah diciptakannya adalah motif ikan lele. Inspirasinya mungkin karena Maniati juga peternak lele. Dia membeberkan, bahwa batik dengan motif ikan lele ini pernah laku lima juta rupiah, dibeli oleh Menteri Perdagangan, Ibu Marie Elka Pangestu. Namun sayangnya, motif-motif demikian di masyarakat Jombang justru tidak populer.

Adapun kesejarahan dipakainya salah satu relif arimbi sebagai motif batik Jombangan, bukan berangkat dari ide perajin batik. Tetapi konon karena adanya keinginan elite pemerintahan Jombang untuk memperkenalkan keberadaan Candi Arimbi pada masyarakat luas. Bila demikian adanya, maka ada dua pola mengeksplorasi motif batik. Yaitu eksplorasi yang dilakukan pemerintah (top down) serta hasil kreasi masyarakat (bottom up). Dua pola ini nampaknya masih relevan untuk terus dilakukan.

Sambil melakukan eksplorasi tematik yang sifatnya besar itu, inovasi-inovasi kecil berupa penciptaan variasi- variasi baru motif  arimbi yang sudah kita punyai juga perlu dilakukan. Karena menurut hemat penulis, motif arimbi masih harus berkembang. Sebab terlalu sayang kalau berhenti hanya pada variasi-variasi yang sekarang ada. Semoga... (*)

Bahasa Njombang-an

Oleh : Fathoni Mahsun 

Dialek kebahasaan di Jombang sesungguhnya adalah sebuah fenomena yang menarik untuk dicermati, namun sayangnya fenomena ini kurang disadari. Pelaku budaya  di Jombang sendiri tidak menempatkan dialek bahasa sebagai salah satu garapannya, kebanyakan mereka masih cenderung memperhatikan seni ludruk, besutan, remo, jaran kepang, hadrah dan produk-produk budaya lain yang sudah lazim.

Padahal kalau ditelisik lebih jauh, dialek bahasa nJombang-an merupakan khazanah kekayaan budaya tersendiri. Sebab bahasa sejatinya adalah merupakan puncak dari gunung es kebudayaan. Dalam artian terdapat pijakan budaya yang cukup komplek yang melahirkan sebuah bahasa. Dan menariknya, di Jombang kita akan temukan puluhan dialek bahasa (baca;bahasa Jawa) yang digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Jumlah pastinya, minimal sejumlah kecamatan yang terdapat di Jombang, dan jumlah maksimalnya hampir sejumlah desa yang ada di Jombang.

Mengapa bisa demikian? Karena kita akan temukan bahwa bahasa Jawa diucapkan dengan cara yang berbeda-beda di Jombang. Perbedaan pengucapan tersebut setidaknya dalam dua hal, pada logatnya dan pada kosa kata yang digunakannya. Perbedaan logat ini akan tampak pada ‘masyarakat asli’ sebuah desa. Masyarakat asli dalam pengertian, masyarakat yang jarang berinteraksi dengan masyarakat desa lain. Atau dengan kata lain, masyarakat yang interaksinya lebih sering dengan sesama warga desanya sendiri.

Pada dua desa yang bertetangga, perbedaan tersebut mungkin tidak sebegitu menonjol, tetapi dengan desa  yang berada di lain kecamatan perbedaan pengucapan sudah mulai ditemukan. Perbedaan tersebut dimulai dari perbedaan pengucapan kosa kata. Misalnya, di kecamatan Jombang orang akan mengucapkan tak golék’i, untuk mengatakan ‘saya cari’, tapi di kecamatan Jogoroto –yang notabene bersebelahan- orang akan mengucapkannya dengan tak dolé’i. Selisih pengucapan antara ‘g’ dan ‘d’ ini ternyata tidak hanya terjadi pada kata di atas, namun juga pada beberapa kata yang lain, seperti: gok/ndok (di), nggilok/ndélok (lihat),gorong/durung (belum), dan lain sebagainnya.

Contoh yang lain, di Kecamatan Jombang kita tidak akan temukan orang yang mengucapkan kata kaduan (harus) sebagaimana diucapkan di beberapa desa di kecamatan Diwek, yang ada adalah diucapkan dengan kata kudu.Biasanya pengucapan kata kudu ini intonasinya berfariatif, semakin tinggi intonasinya maka sesuatu yang dimaksud pun semakin mendesak untuk dilakukan. Sedangkan kaduan intonasinya biasanya datar-datar saja, namun lebih sering diucapkan. Bila diinventarisir lebih lanjut, perbedaan-perbedaan tersebut semakin banyak kita temukan. Misalnya, di daerah Ploso dan sekitarnya kita akan temukan kata ték (bila/kalau), sedangkan di daerah lain kata tersebut diucapkan dengan lék. Begitu juga dengan orang Mojoagung yang biasa memakai kata gèméi (beri), dan dimèk((di)dahulukan), sedangkan di daerah lain dua kata tersebut diucapkan dengan wèi dan disék. Di Perak orang biasa mengucapkan kata cipa’ è (bekas), sedang di daerah lain kata tersebut diucapkan dengan ica’è ataucipété.

    Pada tataran selanjutnya, perbedaan tersebut bukan hanya pada pengucapan kata, namun sudah pada perbedaan kosa kata. Ini biasanya terjadi pada wilayah-wilayah geografis yang berjauhan -untuk menghindari menggunakan kata terpencil-. Semisal di Sumobito dan sebagian Mojoagung, masyarakatnya terbiasa mengucapkan kata gak tayo sebagai bagian dari dialek mereka. Orang yang tidak pernah bersentuhan dengan masyarakat pengguna kata ini, mungkin akan merasa asing mendengar kata tersebut. Padahal kalau mengerti artinya, kata tersebut kurang lebih semakna dengan katagak maén.

Masih di Sumobito, lebih masuk lagi ke arah utara kita akan temukan ungkapan riko untuk menyebut ‘kamu’. Sebuah kata yang selama ini mungkin hanya kita temukan pada pertunjukan ludruk, ternyata di daerah tersebut menjadi perbendaharaan kata sehari-hari. Sementara itu di Jombang sebelah utara, Ploso, Kabuh dan sekitarnya kita akan temukan penggunaan kata cah. Kata ini lebih dekat maknanya dengan kata yang sama yang digunakan masyarakat Lamongan. Bukan katacah/bocah yang digunakan di wilayah Matraman (Kediri, Tulungagung, Nganjuk, dll). Contoh penggunaan kata tersebut pada kalimat berikut ‘cuuah.., aku gak lapo-lapo kok diarani’, atau ‘cah..cah, ngunu aé kok murèng-murèng’.

Penyebab

        Apa gerangan sehingga menyebabkan perbedaan-perbedaan tersebut terjadi? Adalah pertanyaan yang menggelitik dan mendesak untuk segera dicarikan jawabannya. Menurut pembacaan penulis, hal tersebut tidak terlepas dari kondisi geografis Jombang yang notabene wilayah agraris. Perbedaan logat biasanya akan terjadi pada desa-desa yang dipisahkan oleh hamparan sawah yang luas, sehingga menyebabkan komunikasi antar desa menjadi terhambat. Hal inilah yang menyebabkan masing-masing desa secara natural membangun keunikan logatnya sendiri-sendiri.

        Keunikan logat yang sudah terbangun tersebut dikemudian hari tidak lekang oleh waktu, meskipun komunikasi dan transportasi antar desa sudah tidak menjadi masalah lagi. Malah sebaliknya, keunikan logat tersebut menjadi identitas primitif dari kultur yang terbentuk secara turun temurun, serta menjadi identitas yang sudah mendarah daging.

Selain itu daerah-daerah perbatasan juga mempunyai problematika tersendiri. Daerah-daerah ini umumnya mempunyai logat sekaligus perbendaharaan kosa kata yang tidak dimiliki di daerah pusat kota. Daerah yang berbatasan dengan Mojokerto misalkan, mempunyai logat yang mirip dengan logat Mojokerto, begitu juga daerah yang berbatasan dengan Lomongan, Nganjuk, dan Kediri.

Budaya di Balik Bahasa

Berdasarkan dari pembacaan tersebut, maka asumsi yang menganggap bahwa Jombang mempunyai satu logat yang sama tidak bisa dibenarkan, meskipun kita juga tidak bisa menganggap bahwa dialek-dialek yang digunakan di masing-masing daerah sama sekali tidak sama.

Namun yang terpenting dan perlu disadari adalah bahwa terdapat keanekaragaman kultur yang banyak di Jombang, di mana hal tersebut di simbolkan dengan banyaknya dialek yang berbeda-beda tersebut. Sebab sebagaimana yang terjadi di Indonesia, kelompok yang berbahasa Jawa tentunya mempunyai budaya yang berbeda dengan kelompok masyarakat yang menggunakan bahasa Sunda, bahasa Bali, bahasa Melayu, dan lain sebagainya. Begitu juga yang terjadi di Jombang, dialek-dialek yang berbeda-beda membawa budaya sendiri-sendiri.

Ketika keanekaragaman tersebut sudah disadari, maka tinggal langkah penyikapannya. Setidaknya keanekaragaman budaya yang ada di balik dialek-dialek bahasa yang berbeda-beda tersebut bisa ditempatkan sebagai salah satu khazanah kebudayaan lokal yang tidak boleh dikesampingkan keberadaannya.

Lebih Dekat Bersama Mbah Wahab Hasbulloh

M. Fathoni Mahsun

 

Kami sebenarnya hanya ingin mencari tempat yang nyaman untuk memakan mie kuah. Di ruang tamu, meja sudah penuh dengan hidangan, menikmati mie dengan piring yang disangga tangan akan sangat repot, karena oleng sedikit saja kuah di piring bisa tumpah. Bu Munjidah lalu mengajak kami ke ruang makan. Kami pun menyusuri ruang demi ruang di rumah dinas Wakil Bupati Jombang tersebut. “Ini dulu teras belakang, lalu kami jadikan ruang makan,” terang perempuan berusia 67 tahun yang masih terlihat energik tersebut, membantu kami beradaptasi singkat di ruang yang kami tuju itu.

Bu Munjidah tanpa canggung mengajak kami masuk, lalu duduk mengelilingi meja yang sama, dan makan bersama-sama. Suasana kekeluargaan pun menyeruak dan kedekatan segera terasa. Di banding ketika kami berempat mewawancarai beliau di ruang tamu tadi, di sini suasana formalitas sudah tidak terasa. Ya..., meski berada di Rumah dinas, namun kami tidak mewawancarai baliau dalam kapasitas sebagai Wabup, tapi atas posisi beliau sebagai ketua Muslimat NU.

                Dalam suasana demikian, Bu Munjidah lambat laun berbicara semakin lepas. “Saya ingat dulu waktu masih kecil, pernah diajak Abah ke Istana menghadiri perayaan 17-an, bersama Hasib (Pak Hasib, adik Bu Munjidah)” kenang salah satu putri Kyai Wahab ini. Perayaan 17-an diisi dengan berbagai acara, sampai kemudian tiba giliran acara hiburan yang diisi dengan tari-tarian oleh anak-anak Bung Karno. Ketika acara tari-tarian, Kyai Wahab bilang ke anak-anaknya “Aku tak pamit nang jeding, awakmu ngko tututono aku yo.” Dengan taktik demikian mereka bertiga kemudian meninggalkan istana.

Bu Munjidah  kemudian mengungkapkan kenangannya, ketika diajak mendatangi Muktamar NU di Solo. “Kyai dulu kalau ikut muktamar tidak dapat penginapan satu rumah begitu, seperti kyai sekarang, tapi satu kamar di hotel. Sehingga Ibu membawakan kami tikar sama bantal, untuk dipakai tidur di bawah.” Nah, pada suatu saat Ibu Nyai Sholihah, Ibu Gus Dur mengetuk pintu kamar hotel, untuk menemui Kyai Wahab. “Pak De, tolong Dek Yusuf dimasukkan ke kepengurusan PBNU.” Dek Yusuf yang dimaksud adalah Kyai Yusuf Hasyim. Kyai Wahab tanpa pikir panjang mengabulkan permintaan tersebut.

Setelah Bu Nyai Sholihah pamit, Bu Nyai Wahab kemudian berkata pada suaminya “Lho kalau gitu Najib ya masukkan PBNU, wong dia juga sudah besar.” Najib yang dimaksud adalah Kyai Najib putra Kyai Wahab, pernah menjadi calon ketua PBNU, tapi gagal karena keburu meninggal. Jawaban kyai Wahab ternyata berbeda. “Ya itu terserah orang-orang nanti.”

Pola asuh Kyai Wahab yang tidak mengedepankan anaknya itu ternyata tidak hanya terjadi satu kali saja. Pernah suatu ketika Kyai Wahab datang dari Jakarta, bagasi mobilnya dipenuhi oleh-oleh. Namun begitu bagasi tersebut dibuka, sebelum masuk ke rumah, beliau memanggil santri untuk membagi-bagi oleh tersebut ke keponakan-keponakannya. Adik-adik Kyai Wahab, seperti Kyai Hamid, Kyai Abdurrahim, dan abahnya Kyai Fattah secara kebetulan ditakdirkan meninggal lebih dahulu, sehingga meninggalkan anak yang masih kecil-kecil. Baru setelah semuanya dapat, Kyai Wahab memberikan sisanya ke anak-anaknya.

Apakah ini tidak menimbulkan protes dari anak-anak Kyai Wahab? Tentu saja. Setidaknya kejadian berikut menggambarkan hal itu. Pada waktu bulan puasa sekitar tanggal 10, Kyai Wahab datang dari Jakarta dengan membawa beberapa koper kain. Lagi-lagi kain-kain itu bukan untuk anak-anaknya, tapi untuk keponakannya sebagai persiapan hari raya. Anak-anak beliau pun protes “Lho Bah lha kulo pundi?,” Kyai Wahab kemudian menjawab “Engko ae lek enek maneh.” Biasanya baru ada lagi sekitar tangal 20 romadhon.

Mobilitas Kyai Wahab memang terbilang tinggi, sehingga sering meninggalkan rumah. Namun ketika berada di rumah, beliau tidak lantas santai-santai untuk melepas lelah. Pernah suatu saat beliau pulang, dan didapati lampu petromak di rumahnya mati. Keesokan harinya dengan tangannya sendiri Kyai Wahab membenahi lampu tersebut, “bekakase lampu dipreteli kabeh sampai dadi sak mejo.” Cerita Bu Munjidah.

Selain itu Kyai Wahab juga masih peduli dengan pembangunan pondok. Ketika itu pondok memang sedang melakukan peluasan dengan membangun kamar-kamar di sekitar masjid.  Pengawasan pembangunannya dipasrahkan pada keponakannya, Kyai Malik. Pada waktu di rumah, Kyai Wahab selalu menyempatkan untuk memantau jalannya pembangunan, serta memberikan petunjuk yang diperlukan. Demikianlah Kyai Wahab sosok Kyai yang multi tasking. Selain harus berpikir bagaimana membesarkan NU, dan membangun negara yang masih baru merdeka, beliau juga tidak abai terhadap hal-hal yang sifatnya domestik.

Merenungkan sepak terjang dan kebesaran sosok Kyai Wahab, kami pun tergelitik untuk bertanya, sebagai kyai NU yang tidak bisa terlepas dari wirid, tentunya beliau juga mempunyai amalan andalan. Mengingat, melalui santri-santrinya, beredar cerita bahwa Kyai Wahab royal memberikan aneka hisib dan do’a-do’a. Apalagi pada saat-saat genting seperti masa perang revolusi, dan pemberontakan PKI. Bu Munjidah ternyata menjawab singkat “Burdah”. Menurut beliau, kalau kondisi sedang genting, maka ngaji santri diliburkan, dan mereka diminta mewiridkan sholawat burdah.

 “Sampai saat ini pun saya selalu mengamalkan burdah kalau sedang ada masalah, atau hajat tertentu.” Terang Bu Mun. Kami juga diberitahu bagaimana cara mengamalkannya.

Kami pun pulang dengan perut kenyang dan membawa pengalaman berkesam malam ini.

 

Wawancara dengan Bu Munjidah, Rabu, 25 Januari 2017