Bagi kalangan
pesantren, atau orang yang mendalami Islam di perguruan tinggi pasti tidak
asing dengan kamus bahasa arab, untuk membantu menemukan kosa kata yang tidak
dipahami. Di Indonesia ada beberapa kamus yang beredar di pasaran.
Beberapa kamus yang beredar di pasaran itu
diantaranya Munawwir karangan KH. A. Warson Munawwir Krapyak Yogyakarta. Kamus
ini mempunyai dua versi yaitu versi Arab-Indonesia, dan versi Indonesia Arab,
dimana masing-masing terbit sendiri-sendiri. Kamus ini saat ini merupakan kamus
yang paling banyak digunakan di kalangan pesantren. Bahkan setiap tahunnya
dicetak tak kurang dari 10 ribu - 15 ribu eksempar.
Adalagi kamus Idris Marbawi, yang dikarang oleh
Muhammad Idris Abdul Rouf al-Marbawi, biasa disebut kamus Marbawi. Kamus ini
berbahasa Arab-Melayu, keberadaannya sudah jarang ditemui. Padahal sampai tahun
70-an para santri banyak menggunakan kamus ini. Pengarangnya mengatakan ada 700
gambar untuk menunjukkan kata. Oleh karena melibatkan gambar demikian banyak,
maka dia juga menjelaskan tentang hukum syar’i menggunakan gambar.
Kamus lain yang masih akrab di telinga adalah
Misbahul Munir karya Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Muqri Al-Fayumi yang wafat tahun 770 H.
Keistimewaan kamus ini adalah apabila berkenaan dengan kosa kata yang ada
kaitannya dengan fiqh, maka diberi keterangan yang agak panjang. Kecenderungan fiqh
nya adalah Syafi’iyah, sehingga kamus Misbahul Munir ini disebut dengan kamus
madzhab Syafi’i.
Deretan nama kamus lain yang bisa kita paparkan di
sini adalah kamus Mukhit. Kamus ini terbilang unik karena beda dengan
kamus-kamus pada umumnya, jika kamus pada umumnya untuk mencari kosa kata
patokannya adalah huruf awal, namun tidak dengan Mukhit. Patokan dalam Mukhit
adalah huruf akhirnya. Sehingga ketika misalnya kita mencari arti kata ”وسل”, tidak akan
ketemu kalau kita cari di kelompok kata berhuruf “و”, tetapi akan bisa
ditemukan pada kelompok kata berhuruf "ل”. Namun demikian kamus ini kerap menjadi rujukan.
Bahkan beberapa kitab kalau mengatakan كما في القا موس (sebagaimana terdapat dalam kamus), maka kamus yang dimaksud
adalah Mukhit.
Sementara itu kamus yang terbilang paling
terkenal, utamanya dikalangan pesantren adalah kamus Munjid. Kamus ini menjadi
rujukan karena enak cara penyampaiannya, yaitu apabila ada kata-kata yang
menimbulkan multi tafsir, atau sulit dijelaskan dengan kata-kata, maka
dilengkapi dengan gambar. Penyertaan gambar dalam kamus ini terbilang pertama,
karena kamus Marbawi yang disebut di atas juga menggunakan Munjid sebagai salah
satu rujukannya. Misalkan jenis-jenis hewan, jenis tanaman, alat-alat, perabot,
dan lain-lain. Selain berisi kosa kata, kamus Munjid juga berisi pepatah bahasa
arab (faroidhul adab). Belakangan malah dalam kamus Munjid terbitan
terbaru, juga ditambah dengan biografi tokoh-tokoh dunia, diantaranya Bung
Karno, Kyai Nawawi al-Bantani, pengarang jurumiyah, pengarang al-fiyah, dan lain-lain.
Selain itu juga berisi tentang tempat-tempat penting di dunia.
Kamus Munjid yang demikian lengkap tersebut pada
kenyataannya dikarang oleh non muslim, bernama Luwis Ma'luf
al-Yasu'I. Hal ini menyebabkan
beberapa ulama mengharamkan penggunaan kamus Munjid. Dalam sebuah kisah yang
disampaikan KH. Aziz Masyhuri Denanyar Jombang, suatu saat, ketika KH. Ali Ma’shum
sudah di Krapyak Yogyakarta -KH. Ali Ma’shum adalah putra KH. Ma’shum pengasuh pesantren
di Lasem, dalam perjalanan hidupnya KH. Ali yang tadinya membantu ayahnya menjadi pengasuh
pesantren di Lasem, akhirnya diminta untuk menjadi pengasuh di pesantren
mertuanya di Krapyak-, KH. Ma’shum ingin berkunjung ke Krapyak.
KH. Ma’shum adalah orang yang termasuk mengharamkan
kamus Munjid, sedangkan KH. Ali, anaknya tidak. Mengetahui bahwa ayahnya akan
ke Krapyak, maka santri-santri yang mempunyai kamus Munjid disuruh untuk
menyembunyikan. Takut, kalau-kalau KH. Ma’shum sidak ke kamar-kamar santri. Demikianlah
yang terjadi antara bapak dan anak ini, walaupun berbeda sikap terhadap kamus Munjid,
namun rasa penghormatan kepada orang tua tetap dijaga.
Mungkin karena ada kalangan yang tidak menerima
Munjid demikian, akhirnya KH. Ali mendorong salah satu santrinya yang juga
keponakannya, untuk mengarang kamus. KH. Warson pengarang kamus Munawwir
sebagaimana disebut di atas, tak lain adalah santri KH. Ali Ma’shum. Bahkan KH.
Ali ikut menaskhih kamus Munawwir.
Oleh: M. Fathoni Mahsun
0 comments:
Post a Comment