Wednesday, 2 March 2016

Kamus-kamus Arab dan Cerita Uniknya





                Bagi kalangan pesantren, atau orang yang mendalami Islam di perguruan tinggi pasti tidak asing dengan kamus bahasa arab, untuk membantu menemukan kosa kata yang tidak dipahami. Di Indonesia ada beberapa kamus yang beredar di pasaran.
Beberapa kamus yang beredar di pasaran itu diantaranya Munawwir karangan KH. A. Warson Munawwir Krapyak Yogyakarta. Kamus ini mempunyai dua versi yaitu versi Arab-Indonesia, dan versi Indonesia Arab, dimana masing-masing terbit sendiri-sendiri. Kamus ini saat ini merupakan kamus yang paling banyak digunakan di kalangan pesantren. Bahkan setiap tahunnya dicetak tak kurang dari 10 ribu - 15 ribu eksempar.
Adalagi kamus Idris Marbawi, yang dikarang oleh Muhammad Idris Abdul Rouf al-Marbawi, biasa disebut kamus Marbawi. Kamus ini berbahasa Arab-Melayu, keberadaannya sudah jarang ditemui. Padahal sampai tahun 70-an para santri banyak menggunakan kamus ini. Pengarangnya mengatakan ada 700 gambar untuk menunjukkan kata. Oleh karena melibatkan gambar demikian banyak, maka dia juga menjelaskan tentang hukum syar’i menggunakan gambar.
Kamus lain yang masih akrab di telinga adalah Misbahul Munir karya Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Muqri Al-Fayumi yang wafat tahun 770 H. Keistimewaan kamus ini adalah apabila berkenaan dengan kosa kata yang ada kaitannya dengan fiqh, maka diberi keterangan yang agak panjang. Kecenderungan fiqh nya adalah Syafi’iyah, sehingga kamus Misbahul Munir ini disebut dengan kamus madzhab Syafi’i.
Deretan nama kamus lain yang bisa kita paparkan di sini adalah kamus Mukhit. Kamus ini terbilang unik karena beda dengan kamus-kamus pada umumnya, jika kamus pada umumnya untuk mencari kosa kata patokannya adalah huruf awal, namun tidak dengan Mukhit. Patokan dalam Mukhit adalah huruf akhirnya. Sehingga ketika misalnya kita mencari arti kata ”وسل”, tidak akan ketemu kalau kita cari di kelompok kata berhuruf “و”, tetapi akan bisa ditemukan pada kelompok kata berhuruf "ل”. Namun demikian kamus ini kerap menjadi rujukan. Bahkan beberapa kitab kalau mengatakan                  كما في القا موس (sebagaimana terdapat dalam kamus), maka kamus yang dimaksud adalah Mukhit.
Sementara itu kamus yang terbilang paling terkenal, utamanya dikalangan pesantren adalah kamus Munjid. Kamus ini menjadi rujukan karena enak cara penyampaiannya, yaitu apabila ada kata-kata yang menimbulkan multi tafsir, atau sulit dijelaskan dengan kata-kata, maka dilengkapi dengan gambar. Penyertaan gambar dalam kamus ini terbilang pertama, karena kamus Marbawi yang disebut di atas juga menggunakan Munjid sebagai salah satu rujukannya. Misalkan jenis-jenis hewan, jenis tanaman, alat-alat, perabot, dan lain-lain. Selain berisi kosa kata, kamus Munjid juga berisi pepatah bahasa arab (faroidhul adab). Belakangan malah dalam kamus Munjid terbitan terbaru, juga ditambah dengan biografi tokoh-tokoh dunia, diantaranya Bung Karno, Kyai Nawawi al-Bantani, pengarang jurumiyah, pengarang al-fiyah, dan lain-lain. Selain itu juga berisi tentang tempat-tempat penting di dunia.
Kamus Munjid yang demikian lengkap tersebut pada kenyataannya dikarang oleh non muslim, bernama Luwis Ma'luf al-Yasu'I.  Hal ini menyebabkan beberapa ulama mengharamkan penggunaan kamus Munjid. Dalam sebuah kisah yang disampaikan KH. Aziz Masyhuri Denanyar Jombang, suatu saat, ketika KH. Ali Ma’shum sudah di Krapyak Yogyakarta -KH. Ali Ma’shum adalah putra KH. Ma’shum pengasuh pesantren di Lasem, dalam perjalanan hidupnya KH. Ali  yang tadinya membantu ayahnya menjadi pengasuh pesantren di Lasem, akhirnya diminta untuk menjadi pengasuh di pesantren mertuanya di Krapyak-, KH. Ma’shum ingin berkunjung ke Krapyak.
KH. Ma’shum adalah orang yang termasuk mengharamkan kamus Munjid, sedangkan KH. Ali, anaknya tidak. Mengetahui bahwa ayahnya akan ke Krapyak, maka santri-santri yang mempunyai kamus Munjid disuruh untuk menyembunyikan. Takut, kalau-kalau KH. Ma’shum sidak ke kamar-kamar santri. Demikianlah yang terjadi antara bapak dan anak ini, walaupun berbeda sikap terhadap kamus Munjid, namun rasa penghormatan kepada orang tua tetap dijaga.
Mungkin karena ada kalangan yang tidak menerima Munjid demikian, akhirnya KH. Ali mendorong salah satu santrinya yang juga keponakannya, untuk mengarang kamus. KH. Warson pengarang kamus Munawwir sebagaimana disebut di atas, tak lain adalah santri KH. Ali Ma’shum. Bahkan KH. Ali ikut menaskhih kamus Munawwir.



Oleh: M. Fathoni Mahsun

0 comments:

Post a Comment