M. Fathoni Mahsun
Dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari Amerika, perang dan film. Keduanya nampak sebagai dua sisi dari satu keping mata uang. Perang adalah upaya menghegemoni bangsa lain melalui kekuatan militer. Sedangkan film merupakan upaya penghegemonian melalui pendekatan budaya massa. Konon hingga kini di Amerika investasi tertinggi digunakan untuk perang, dan tertinggi kedua investasi pada dunia hiburan, termasuk film di dalamnya.
Sejarah perfilman Amerika dimulai jauh sebelum PD II, yaitu sekitar tahun 1920-an. Ditandai dengan munculnya studio-studio raksasa semacam Metro-Goldwyin-Mayer (MGM), Paramount, Universal, Warner Brothers dan Fox. Pada rentang waktu 1930 -1939 Sutradara Michael Curtiz mampu memproduksi 44 film, atau rata-rata 4 film dalam setahun. Mervyn Leroy mampu membesut 36 film, dan John Ford 26 film. Selain nama-nama tersebut, masih banyak lagi yang lainnya. Sehingga kalau diakumulasi, ada ratusan film diproduksi setiap tahunnya.
Film-film tersebut selanjutnya disebarkan ke seantereo jagad, termasuk ke Indonesia. Sampai kira-kira 20 tahun setelah dimulainya uforia produksi film besar-besaran di Amerika, Indonesia nampak sudah menjadi konsumen aktif yang lahap menyantap film-film buatan hollywood. Dalam reportasi Harian Rakjat yang terbit 23 Juni 1962, kurun antara tahun 1960-1961 ada 130 judul film Amerika yang beredar. Artinya, ada sepuluh lebih judul film Amerika yang beredar setiap bulannya. Dengan kata lain, paling sedikit tiga hari sekali ada film baru produk Amerika. Pada tahun-tahun berikutnya Harian Rakjat (13 September 1964) mengabarkan terjadinya tren penggelembungan jumlah film Amerika yang beredar di Indonesia. Pada tahun 1962 sebanyak 303 film, tahun 1963 sebanyak 145 film, Ini menggambarkan betapa mapannya industri perfilman Amerika ketika itu. Bandingkan dengan Indonesia yang ketika itu hanya mampu memproduksi tidak lebih dari 10 judul film.
Mapannya industri perfilman itu mendapatkan momen yang berharga pada masa PD II. Karena pada masa-masa ini film bermetamarfosis menjadi agen diplomasi politik luar negeri yang populer dan efektif. Persetubuhan antara film dan perang pun dimulai. Nazi-Jerman yang ketika itu menjadi lawan sekutu dalam PD II, digambarkan dalam tokoh-tokoh antagonis. Ketika Amerika terlibat konflik pada perang dingin dengan Rusia, maka Rusia pun digambarkan sebagai negara sarang mafia.
Negara-negara Timur Tengah pun tidak lepas dari proyek propaganda film-film Amerika. Mereka telah digambarkan sebagai teroris sejak jauh-jauh hari sebelum serangan 11 September. Teroris kemudian memang menjadi tema-tema film Amerika kekinian. Lihatlah, perilisan ulang film serial “Hawaii five O”, sebuah film serial televisi yang populer di era tahun 70-an hingga 80-an. Pada versi klasiknya, film ini selalu menyuguhkan cerita tentang kriminal, detektif, pantai yang indah, dan gadis-gadis seksi. Sedangkan dalam versi barunya, film yang disiarkan saluran AXN ini menyajikan cerita terorisme sebagai salah satu suguhan utamanya. Pada salah satu episode terbarunya, Hawaii Five O mengisahkan tentang terorisme dari Korea.
Perselingkuhan film Amerika dengan perang menyebabkan karakter film Amerika tak bisa lepas dengan kekerasan, konfrontasi, serta upaya menunjukkan superioritas dan arogansi. Ketegangan yang dibangun tak lepas dari pola relasi antara cow boy dan bandit, antara pahlawan pembela kebenaran dan penjahat. Tema demikianlah yang selalu dikembangkan. Sebenarnya tidak masalah kalau tidak mengusik pihak luar. Tetapi menjadi lain ceritanya kalau sampai melanggar batas-batas kemanusiaan dengan seenak hatinya menjadikan orang, kelompok, ras, dan bangsa lain sebagai pihak yang direndahkan martabatnya.
Tokoh Rambo mendadak menjadi terkenal pasca kebangkrutan Amerika di perang Vietnam. Rambo dijadikan sebagai duta atas kepentingan pemerintah merehabilitasi citra dirinya, pada perang yang menimbulkan trauma dan skeptisme rakyat Amerika itu. Tokoh Rambo digambarkan sebagai super hero, yang mampu menerjang dan membumihanguskan markas tentara Vietkong seorang diri. Tentara Vietkong selalu meleset ketika membidik Rambo. Tapi sebaliknya, sekali tembak, Rambo bisa merobohkan sekompi pasukan. Traumatik Amerika terhadap perang Vietnam nampaknya sangat besar, sampai begitu dramatisnya pelampiasan kekesalan mereka. Sebuah keintiman yang sempurna antara perang dan film.
Publik dunia pernah dibuat jengkel dengan arogansi film-film Amerika, sehingga menimbulkan seruan boikot dimana-mana. Festival Film Asia Afrika (FFAA) III di Jakarta pada April 1964 menjadi momentum penyamaan missi untuk berperang melawan film-film Amerika yang penuh subfersif, diskriminasi rasial, politik agresi, melukai perasaan kesetiakawanan antar bangsa, cabul, dan beraroma imperialis menyengat. Negara-negara Asia-Afrika sepakat membatasi peredaran film-film Amerika di negara mereka masing-masing. Di dalam negeri pemboikotan dilakukan di beberapa tempat, Rembang, Kalsel, Palembang, Manado, Tegal, Brebes, Padang, Semarang, Solo, Jogja, Pekalongan, dan masih banyak lagi. Sampai-sampai organisasi keagamaan semacam NU pun ikut ambil bagian. Dalam hal ini Ketua NU Buleleng menyatakan bahwa film-film Amerika Serikat bertentangan dengan Concince of Man, atau hati nurani.
Bagaimana Amerika menyikapi ketegangan terbarunya dengan China? Film The Karate Kidbisa kita simak sebagai refrensi. Film debutan sutradara Harald Zwart ini mengisahkan seorang anak imigran Amerika di China, Dre (diperankan oleh Jaden Smith), yang karena suatu hal terlibat konflik dengan anak pribumi. Anak pribumi tersebut ternyata merupakan salah satu murid perguruan kung fu tersohor. Dalam usaha membela diri, dia bertemu dengan guru kung fu, Han (diperankan oleh Jacky Chan). Singkat cerita, setelah belajar kung fu beberapa saat, Dre akhirnya bisa memenangi kompetensi turnamen kung fu. Mengalahkan rivalnya, anak pribumi yang telah belajar kung fu bertahun-tahun, di kampung halamannya sendiri.
Sekedar informasi, film ini adalah repro dari film lama, yang digarap oleh orang-orang profesional. Tapi sayangnya menggunakan logika yang amburadul. Bagaimana tidak, film ini masih tetap menggunakan judul ‘Karate’ ( bela diri Jepang), walaupun mengeksploitasi kung fu. Sebuah bentuk kedungungan atau memang disengaja atas nama kepentingan angresi?.
Dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari Amerika, perang dan film. Keduanya nampak sebagai dua sisi dari satu keping mata uang. Perang adalah upaya menghegemoni bangsa lain melalui kekuatan militer. Sedangkan film merupakan upaya penghegemonian melalui pendekatan budaya massa. Konon hingga kini di Amerika investasi tertinggi digunakan untuk perang, dan tertinggi kedua investasi pada dunia hiburan, termasuk film di dalamnya.
Sejarah perfilman Amerika dimulai jauh sebelum PD II, yaitu sekitar tahun 1920-an. Ditandai dengan munculnya studio-studio raksasa semacam Metro-Goldwyin-Mayer (MGM), Paramount, Universal, Warner Brothers dan Fox. Pada rentang waktu 1930 -1939 Sutradara Michael Curtiz mampu memproduksi 44 film, atau rata-rata 4 film dalam setahun. Mervyn Leroy mampu membesut 36 film, dan John Ford 26 film. Selain nama-nama tersebut, masih banyak lagi yang lainnya. Sehingga kalau diakumulasi, ada ratusan film diproduksi setiap tahunnya.
Film-film tersebut selanjutnya disebarkan ke seantereo jagad, termasuk ke Indonesia. Sampai kira-kira 20 tahun setelah dimulainya uforia produksi film besar-besaran di Amerika, Indonesia nampak sudah menjadi konsumen aktif yang lahap menyantap film-film buatan hollywood. Dalam reportasi Harian Rakjat yang terbit 23 Juni 1962, kurun antara tahun 1960-1961 ada 130 judul film Amerika yang beredar. Artinya, ada sepuluh lebih judul film Amerika yang beredar setiap bulannya. Dengan kata lain, paling sedikit tiga hari sekali ada film baru produk Amerika. Pada tahun-tahun berikutnya Harian Rakjat (13 September 1964) mengabarkan terjadinya tren penggelembungan jumlah film Amerika yang beredar di Indonesia. Pada tahun 1962 sebanyak 303 film, tahun 1963 sebanyak 145 film, Ini menggambarkan betapa mapannya industri perfilman Amerika ketika itu. Bandingkan dengan Indonesia yang ketika itu hanya mampu memproduksi tidak lebih dari 10 judul film.
Mapannya industri perfilman itu mendapatkan momen yang berharga pada masa PD II. Karena pada masa-masa ini film bermetamarfosis menjadi agen diplomasi politik luar negeri yang populer dan efektif. Persetubuhan antara film dan perang pun dimulai. Nazi-Jerman yang ketika itu menjadi lawan sekutu dalam PD II, digambarkan dalam tokoh-tokoh antagonis. Ketika Amerika terlibat konflik pada perang dingin dengan Rusia, maka Rusia pun digambarkan sebagai negara sarang mafia.
Negara-negara Timur Tengah pun tidak lepas dari proyek propaganda film-film Amerika. Mereka telah digambarkan sebagai teroris sejak jauh-jauh hari sebelum serangan 11 September. Teroris kemudian memang menjadi tema-tema film Amerika kekinian. Lihatlah, perilisan ulang film serial “Hawaii five O”, sebuah film serial televisi yang populer di era tahun 70-an hingga 80-an. Pada versi klasiknya, film ini selalu menyuguhkan cerita tentang kriminal, detektif, pantai yang indah, dan gadis-gadis seksi. Sedangkan dalam versi barunya, film yang disiarkan saluran AXN ini menyajikan cerita terorisme sebagai salah satu suguhan utamanya. Pada salah satu episode terbarunya, Hawaii Five O mengisahkan tentang terorisme dari Korea.
Perselingkuhan film Amerika dengan perang menyebabkan karakter film Amerika tak bisa lepas dengan kekerasan, konfrontasi, serta upaya menunjukkan superioritas dan arogansi. Ketegangan yang dibangun tak lepas dari pola relasi antara cow boy dan bandit, antara pahlawan pembela kebenaran dan penjahat. Tema demikianlah yang selalu dikembangkan. Sebenarnya tidak masalah kalau tidak mengusik pihak luar. Tetapi menjadi lain ceritanya kalau sampai melanggar batas-batas kemanusiaan dengan seenak hatinya menjadikan orang, kelompok, ras, dan bangsa lain sebagai pihak yang direndahkan martabatnya.
Tokoh Rambo mendadak menjadi terkenal pasca kebangkrutan Amerika di perang Vietnam. Rambo dijadikan sebagai duta atas kepentingan pemerintah merehabilitasi citra dirinya, pada perang yang menimbulkan trauma dan skeptisme rakyat Amerika itu. Tokoh Rambo digambarkan sebagai super hero, yang mampu menerjang dan membumihanguskan markas tentara Vietkong seorang diri. Tentara Vietkong selalu meleset ketika membidik Rambo. Tapi sebaliknya, sekali tembak, Rambo bisa merobohkan sekompi pasukan. Traumatik Amerika terhadap perang Vietnam nampaknya sangat besar, sampai begitu dramatisnya pelampiasan kekesalan mereka. Sebuah keintiman yang sempurna antara perang dan film.
Publik dunia pernah dibuat jengkel dengan arogansi film-film Amerika, sehingga menimbulkan seruan boikot dimana-mana. Festival Film Asia Afrika (FFAA) III di Jakarta pada April 1964 menjadi momentum penyamaan missi untuk berperang melawan film-film Amerika yang penuh subfersif, diskriminasi rasial, politik agresi, melukai perasaan kesetiakawanan antar bangsa, cabul, dan beraroma imperialis menyengat. Negara-negara Asia-Afrika sepakat membatasi peredaran film-film Amerika di negara mereka masing-masing. Di dalam negeri pemboikotan dilakukan di beberapa tempat, Rembang, Kalsel, Palembang, Manado, Tegal, Brebes, Padang, Semarang, Solo, Jogja, Pekalongan, dan masih banyak lagi. Sampai-sampai organisasi keagamaan semacam NU pun ikut ambil bagian. Dalam hal ini Ketua NU Buleleng menyatakan bahwa film-film Amerika Serikat bertentangan dengan Concince of Man, atau hati nurani.
Bagaimana Amerika menyikapi ketegangan terbarunya dengan China? Film The Karate Kidbisa kita simak sebagai refrensi. Film debutan sutradara Harald Zwart ini mengisahkan seorang anak imigran Amerika di China, Dre (diperankan oleh Jaden Smith), yang karena suatu hal terlibat konflik dengan anak pribumi. Anak pribumi tersebut ternyata merupakan salah satu murid perguruan kung fu tersohor. Dalam usaha membela diri, dia bertemu dengan guru kung fu, Han (diperankan oleh Jacky Chan). Singkat cerita, setelah belajar kung fu beberapa saat, Dre akhirnya bisa memenangi kompetensi turnamen kung fu. Mengalahkan rivalnya, anak pribumi yang telah belajar kung fu bertahun-tahun, di kampung halamannya sendiri.
Sekedar informasi, film ini adalah repro dari film lama, yang digarap oleh orang-orang profesional. Tapi sayangnya menggunakan logika yang amburadul. Bagaimana tidak, film ini masih tetap menggunakan judul ‘Karate’ ( bela diri Jepang), walaupun mengeksploitasi kung fu. Sebuah bentuk kedungungan atau memang disengaja atas nama kepentingan angresi?.