Wednesday, 16 March 2016

Arogansi Film Amerika

  

M. Fathoni Mahsun

     Dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari Amerika, perang dan film. Keduanya nampak sebagai dua sisi dari satu keping mata uang. Perang adalah upaya menghegemoni bangsa lain melalui kekuatan militer. Sedangkan film merupakan upaya penghegemonian melalui pendekatan budaya massa. Konon hingga kini di Amerika investasi tertinggi digunakan untuk perang, dan tertinggi kedua investasi pada dunia hiburan, termasuk film di dalamnya.

     Sejarah perfilman Amerika dimulai jauh sebelum PD II, yaitu sekitar tahun 1920-an. Ditandai dengan munculnya studio-studio raksasa semacam Metro-Goldwyin-Mayer (MGM), Paramount, Universal, Warner Brothers dan Fox. Pada rentang waktu 1930 -1939 Sutradara Michael Curtiz mampu memproduksi 44 film, atau rata-rata 4 film dalam setahun. Mervyn Leroy mampu membesut 36 film, dan John Ford 26 film. Selain nama-nama tersebut, masih banyak lagi yang lainnya. Sehingga kalau diakumulasi, ada ratusan  film diproduksi setiap tahunnya.

     Film-film tersebut selanjutnya disebarkan ke seantereo jagad, termasuk ke Indonesia. Sampai kira-kira 20 tahun setelah dimulainya uforia produksi film besar-besaran di Amerika, Indonesia nampak sudah menjadi konsumen aktif yang lahap menyantap film-film buatan hollywood. Dalam reportasi Harian Rakjat yang terbit 23 Juni 1962, kurun antara tahun 1960-1961 ada 130 judul film Amerika yang beredar. Artinya, ada sepuluh lebih judul film Amerika yang beredar setiap bulannya. Dengan kata lain, paling sedikit tiga hari sekali ada film baru produk Amerika. Pada tahun-tahun berikutnya Harian Rakjat (13 September 1964) mengabarkan terjadinya tren penggelembungan jumlah film Amerika yang beredar di Indonesia. Pada tahun 1962 sebanyak 303 film, tahun 1963 sebanyak 145 film, Ini menggambarkan betapa mapannya industri perfilman Amerika ketika itu. Bandingkan dengan Indonesia yang ketika itu hanya mampu memproduksi tidak lebih dari 10  judul film.

     Mapannya industri perfilman itu mendapatkan momen yang berharga pada masa PD II. Karena pada masa-masa ini film bermetamarfosis menjadi agen diplomasi politik luar negeri yang populer dan efektif. Persetubuhan antara film dan perang pun dimulai. Nazi-Jerman yang ketika itu menjadi lawan sekutu dalam PD II, digambarkan dalam tokoh-tokoh antagonis. Ketika Amerika terlibat konflik pada perang dingin dengan Rusia, maka Rusia pun digambarkan sebagai negara sarang mafia.

     Negara-negara Timur Tengah pun tidak lepas dari proyek propaganda film-film Amerika. Mereka telah digambarkan sebagai teroris sejak jauh-jauh hari sebelum serangan 11 September. Teroris kemudian memang menjadi tema-tema film Amerika kekinian. Lihatlah, perilisan ulang film serial “Hawaii five O”, sebuah film serial televisi yang populer di era tahun 70-an hingga 80-an. Pada versi klasiknya, film ini selalu menyuguhkan cerita tentang kriminal, detektif, pantai yang indah, dan gadis-gadis seksi. Sedangkan dalam versi barunya, film yang disiarkan saluran AXN ini menyajikan cerita terorisme sebagai salah satu suguhan utamanya. Pada salah satu episode terbarunya, Hawaii Five O mengisahkan tentang terorisme dari Korea.

     Perselingkuhan film Amerika dengan perang menyebabkan karakter film Amerika tak bisa lepas dengan kekerasan, konfrontasi, serta upaya menunjukkan superioritas dan arogansi. Ketegangan yang dibangun tak lepas dari pola relasi antara cow boy dan bandit, antara pahlawan pembela kebenaran dan penjahat. Tema demikianlah yang selalu dikembangkan. Sebenarnya tidak masalah kalau tidak mengusik pihak luar. Tetapi menjadi lain ceritanya kalau sampai melanggar batas-batas kemanusiaan dengan seenak hatinya menjadikan orang, kelompok, ras, dan bangsa lain sebagai pihak yang direndahkan martabatnya.
   
     Tokoh Rambo mendadak menjadi terkenal pasca kebangkrutan Amerika di perang Vietnam. Rambo dijadikan sebagai duta atas kepentingan pemerintah merehabilitasi citra dirinya, pada perang yang menimbulkan trauma dan skeptisme rakyat Amerika itu. Tokoh Rambo digambarkan sebagai super hero, yang mampu menerjang dan membumihanguskan markas tentara Vietkong seorang diri. Tentara Vietkong selalu meleset ketika membidik Rambo. Tapi sebaliknya, sekali tembak, Rambo bisa merobohkan sekompi pasukan. Traumatik Amerika terhadap perang Vietnam nampaknya sangat besar, sampai begitu dramatisnya pelampiasan kekesalan mereka. Sebuah keintiman yang sempurna antara perang dan film.

     Publik dunia pernah dibuat jengkel dengan arogansi  film-film Amerika, sehingga menimbulkan seruan boikot dimana-mana. Festival Film Asia Afrika (FFAA) III di Jakarta pada April 1964 menjadi momentum penyamaan missi untuk berperang melawan film-film Amerika yang penuh subfersif, diskriminasi rasial, politik agresi, melukai perasaan kesetiakawanan antar bangsa, cabul, dan beraroma imperialis menyengat. Negara-negara Asia-Afrika sepakat membatasi peredaran film-film Amerika di negara mereka masing-masing. Di dalam negeri pemboikotan dilakukan di beberapa tempat, Rembang, Kalsel, Palembang, Manado, Tegal, Brebes, Padang, Semarang, Solo, Jogja, Pekalongan, dan masih banyak lagi. Sampai-sampai organisasi keagamaan semacam NU pun ikut ambil bagian. Dalam hal ini Ketua NU Buleleng menyatakan bahwa film-film Amerika Serikat bertentangan dengan Concince of Man, atau hati nurani.

     Bagaimana Amerika menyikapi ketegangan terbarunya dengan China? Film The Karate Kidbisa kita simak sebagai refrensi. Film debutan sutradara Harald Zwart ini mengisahkan seorang anak imigran Amerika di China, Dre (diperankan oleh Jaden Smith), yang karena suatu hal terlibat konflik dengan anak pribumi. Anak pribumi tersebut ternyata merupakan salah satu murid perguruan kung fu tersohor. Dalam usaha membela diri,  dia bertemu dengan guru kung fu, Han (diperankan oleh Jacky Chan). Singkat cerita, setelah belajar kung fu beberapa saat, Dre akhirnya bisa memenangi kompetensi turnamen kung fu. Mengalahkan rivalnya, anak pribumi yang telah belajar kung fu bertahun-tahun, di kampung halamannya sendiri.

     Sekedar informasi, film ini adalah repro dari film lama, yang digarap oleh orang-orang profesional. Tapi sayangnya menggunakan logika yang amburadul. Bagaimana tidak, film ini masih tetap menggunakan judul ‘Karate’ ( bela diri Jepang), walaupun mengeksploitasi kung fu. Sebuah bentuk kedungungan atau memang disengaja atas nama kepentingan angresi?.

Saturday, 5 March 2016

Pertempuran Kebon Rojo Jombang

Peristiwa Heroik 12 Januari 1949

M. Fathoni Mahsun*)

Kebon Rojo sebagaimana yang kita ketahui saat ini merupakan taman kota yang dilengkapi dengan tempat bermain dan pujasera. Namun tahukah Anda bahwa di Kebon Rojo juga pernah terjadi perang yang menewaskan banyak korban?
Perang Kebon Rojo sebenarnya merupakan serangan balasan oleh para pejuang kita pada Belanda, yang telah menduduki kota Jombang sejak 29 Januari 1948. Serangan ini telah direncanakan sedimikian matang, dan diangap sebagai serangan yang paling berhasil, sehingga mendapat apresiasi dari Kolonel Nasution selaku komandan Markas Besar Komando Djawa (MBKD).
Belanda ketika menduduki kota Jombang, menempati tempat-tempat strategis yang masih tersisa, yang terlewat tidak dibumihanguskan. Yang paling utama adalah di sekitar Kebon Rojo, disekitar rumah Haji Afandi Jagalan, serta sekitar pendopo kabupaten.
Serangan ini melibatkan beberapa anasir pasukan. Bertugas sebagai pasukan penusuk di dalam kota adalah 3  kompi pasukan Mobil Brigade (istilah saat ini Brimob) pimpinan Soetopo Ismono, Yusuf Jayengrono dan Kusnadi, pasukan TNI Kompi MBT pimpinan Letnan Budiman, dan 2 seksi pasukan TRIP pimpinan Sulaman dan Mukayat, serta 3 regu TRIP yaitu regu Gandu, regu Druju, dan regu Heru Soebandi. Yang menyerang dari timur Kebon Rojo adalah TNI-MBT kompi Budiman, Mobrig kompi Kusnadi, TRIP Seksi Mukayat, regu Heru Soebandi. Dari selatan TRIP Kompi Yusuf. Sedang Mobrig kompi Soetopo Ismono, dan Trip Seksi Sulaman kebagian di barat.
Kompi Soetopo sebenarnya kebagian menyergap Belanda di Jagalan dari arah selatan, yaitu daerah sekitar klenteng. Demikian juga seksi Sulaman juga bertugas menyergap jagalan dari arah utara, yaitu dari arah pasar legi. Namun karena di pasar banyak pengungsi yang terdiri dari orang tua, wanita, dan anak-anak, sedangkan Kompi Soetopo sendiri merasa kurang leluasa ruang geraknya, maka kedua pasukan tersebut bergeser ke Kebon Rojo.
Selain pasukan-pasukan di atas, ada juga pasukan penghadang yang bertugas di lingkar luar kota, yaitu 2 seksi TNI kompi 6002 Matosin yang dipimpin Letda A. Lodji dan dibantu oleh kompi AURI pimpinan Letnan Soeprantiyo. Mereka mengambil tempat di antara Kertosono-Perak, tepatnya di desa Kayen. Pasukan-pasukan tersebut bertugas menghadang bantuan Belanda dari barat. Upaya penghadangan tersebut tidak hanya dengan pasukan, tetapi juga dengan menebangi pohon sepanjang jalan antara Jabon- Cangkring Randu, yang dilakukan oleh penduduk. Sedangkan penghadangan datangnya bantuan Belanda dari timur diserahkan pada kompi Budiman.
Setelah semua persiapan dilakukan hampir sepanjang malam, dan masing-masing pasukan menempati pos-posnya, serta waktunya pun telah matang, maka genderang perang ditabuh. Tepat pukul 04.00 dini hari tanggal 12 Januari 1949, kududukan Belanda di Kebon Rojo ditembaki dengan mortir, sebagai tanda bahwa serangan telah dimulai. Lalu diikuti dengan tembakan gencar dari seluruh pasukan yang mengepung Kebon Rojo. Momen ketika Belanda lengah demikian sangat menguntungkan, sehingga pasukan yang mengepung Kebon Rojo leluasa untuk merangsek ke jarak yang sangat dekat. Tembak-menembak bahkan terjadi hanya dalam jarak setengah meter.
Belanda tentunya sangat terkejut, dan tidak berani keluar dari sarangnya. Tembak- menembak jarak dekat itu terjadi hingga siang hari. Pukul 10.00 pesawat musuh datang, terbang di atas kota Jombang. Tapi pesawat tersebut tidak berani mengeluarkan tembakan, karena pandangannya terganggu. Selain itu batas antara lawan dan kawan tidak jelas. Pada pukul 10.00 itu juga di barat Kebon Rojo, disebuah ladang jagung yang sudah patah-patah batangnya terkena tembakan, mendadak puluhan penduduk muncul sambil merayap, menyerahkan bungkusan-bungkusan makanan pada pejuang. Mereka adalah penduduk sekitar Kebon Rojo, Kauman, dan selatan Rel.
Sementara itu, pasukan yang menghalau musuh di Kayen juga terlibat kontak senjata. Prediksi  mereka benar, bahwa akan datang bantuan musuh dari arah Kertosono. Beberapa orang gugur di pertempuran sekitar Perak ini. Namun para pejuang juga berhasil menghancurkan kendaraan lapis baja musuh, berikut yang di dalamnya. Sekitar pukul 12.00 dapat laporan dari penduduk, bahwa buldoser Belanda berhasil menyingkirkan pohon-pohon yang ada di jalan Jabon-Ngrandu.
Beberapa kompi TRIP kemudian mundur ke arah Jabon untuk mengantisipasi datangnya Belanda dari barat. Ternyata jumlah pasukan Belanda yang datang cukup besar, ada 13 brencarriers, dan 7 truk yang masing-masing berisi sekitar 40 pasukan. Di tikungan Jabon, jalan yang berjajar dengan rel, akhirnya para pejuang menembaki kendaraan yang paling belakang dari selatan rel. Tiga orang tewas seketika. Namun akibatnya pasukan pejuang tersebut akhirnya kocar-kacir karena kalah jumlah dan senjata. Mereka masuk ke kampung Beyan, lalu terus keselatan.
Iring-iringan pasukan Belanda tadi kemudian melanjutkan perjalanannya menuju Kebon Rojo. Walhasil, posisi Belanda di Kebon Rojo kembali menguat, sehingga seluruh pejuang harus ditarik pada sekitar pukul 15.00. Dari kesaksian penduduk, ada 6 truk berisi mayat serdadu Belanda yang diangkut menuju Mojokerto.  Sebuah pertempuran yang patut dikenang.







*) Sedang menulis novel “Perang Jombang”

Wednesday, 2 March 2016

Kamus-kamus Arab dan Cerita Uniknya





                Bagi kalangan pesantren, atau orang yang mendalami Islam di perguruan tinggi pasti tidak asing dengan kamus bahasa arab, untuk membantu menemukan kosa kata yang tidak dipahami. Di Indonesia ada beberapa kamus yang beredar di pasaran.
Beberapa kamus yang beredar di pasaran itu diantaranya Munawwir karangan KH. A. Warson Munawwir Krapyak Yogyakarta. Kamus ini mempunyai dua versi yaitu versi Arab-Indonesia, dan versi Indonesia Arab, dimana masing-masing terbit sendiri-sendiri. Kamus ini saat ini merupakan kamus yang paling banyak digunakan di kalangan pesantren. Bahkan setiap tahunnya dicetak tak kurang dari 10 ribu - 15 ribu eksempar.
Adalagi kamus Idris Marbawi, yang dikarang oleh Muhammad Idris Abdul Rouf al-Marbawi, biasa disebut kamus Marbawi. Kamus ini berbahasa Arab-Melayu, keberadaannya sudah jarang ditemui. Padahal sampai tahun 70-an para santri banyak menggunakan kamus ini. Pengarangnya mengatakan ada 700 gambar untuk menunjukkan kata. Oleh karena melibatkan gambar demikian banyak, maka dia juga menjelaskan tentang hukum syar’i menggunakan gambar.
Kamus lain yang masih akrab di telinga adalah Misbahul Munir karya Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Muqri Al-Fayumi yang wafat tahun 770 H. Keistimewaan kamus ini adalah apabila berkenaan dengan kosa kata yang ada kaitannya dengan fiqh, maka diberi keterangan yang agak panjang. Kecenderungan fiqh nya adalah Syafi’iyah, sehingga kamus Misbahul Munir ini disebut dengan kamus madzhab Syafi’i.
Deretan nama kamus lain yang bisa kita paparkan di sini adalah kamus Mukhit. Kamus ini terbilang unik karena beda dengan kamus-kamus pada umumnya, jika kamus pada umumnya untuk mencari kosa kata patokannya adalah huruf awal, namun tidak dengan Mukhit. Patokan dalam Mukhit adalah huruf akhirnya. Sehingga ketika misalnya kita mencari arti kata ”وسل”, tidak akan ketemu kalau kita cari di kelompok kata berhuruf “و”, tetapi akan bisa ditemukan pada kelompok kata berhuruf "ل”. Namun demikian kamus ini kerap menjadi rujukan. Bahkan beberapa kitab kalau mengatakan                  كما في القا موس (sebagaimana terdapat dalam kamus), maka kamus yang dimaksud adalah Mukhit.
Sementara itu kamus yang terbilang paling terkenal, utamanya dikalangan pesantren adalah kamus Munjid. Kamus ini menjadi rujukan karena enak cara penyampaiannya, yaitu apabila ada kata-kata yang menimbulkan multi tafsir, atau sulit dijelaskan dengan kata-kata, maka dilengkapi dengan gambar. Penyertaan gambar dalam kamus ini terbilang pertama, karena kamus Marbawi yang disebut di atas juga menggunakan Munjid sebagai salah satu rujukannya. Misalkan jenis-jenis hewan, jenis tanaman, alat-alat, perabot, dan lain-lain. Selain berisi kosa kata, kamus Munjid juga berisi pepatah bahasa arab (faroidhul adab). Belakangan malah dalam kamus Munjid terbitan terbaru, juga ditambah dengan biografi tokoh-tokoh dunia, diantaranya Bung Karno, Kyai Nawawi al-Bantani, pengarang jurumiyah, pengarang al-fiyah, dan lain-lain. Selain itu juga berisi tentang tempat-tempat penting di dunia.
Kamus Munjid yang demikian lengkap tersebut pada kenyataannya dikarang oleh non muslim, bernama Luwis Ma'luf al-Yasu'I.  Hal ini menyebabkan beberapa ulama mengharamkan penggunaan kamus Munjid. Dalam sebuah kisah yang disampaikan KH. Aziz Masyhuri Denanyar Jombang, suatu saat, ketika KH. Ali Ma’shum sudah di Krapyak Yogyakarta -KH. Ali Ma’shum adalah putra KH. Ma’shum pengasuh pesantren di Lasem, dalam perjalanan hidupnya KH. Ali  yang tadinya membantu ayahnya menjadi pengasuh pesantren di Lasem, akhirnya diminta untuk menjadi pengasuh di pesantren mertuanya di Krapyak-, KH. Ma’shum ingin berkunjung ke Krapyak.
KH. Ma’shum adalah orang yang termasuk mengharamkan kamus Munjid, sedangkan KH. Ali, anaknya tidak. Mengetahui bahwa ayahnya akan ke Krapyak, maka santri-santri yang mempunyai kamus Munjid disuruh untuk menyembunyikan. Takut, kalau-kalau KH. Ma’shum sidak ke kamar-kamar santri. Demikianlah yang terjadi antara bapak dan anak ini, walaupun berbeda sikap terhadap kamus Munjid, namun rasa penghormatan kepada orang tua tetap dijaga.
Mungkin karena ada kalangan yang tidak menerima Munjid demikian, akhirnya KH. Ali mendorong salah satu santrinya yang juga keponakannya, untuk mengarang kamus. KH. Warson pengarang kamus Munawwir sebagaimana disebut di atas, tak lain adalah santri KH. Ali Ma’shum. Bahkan KH. Ali ikut menaskhih kamus Munawwir.



Oleh: M. Fathoni Mahsun