M. Fathoni Mahsun
Kalau kita
bertanya, apa ciri khas Jombang? Maka sebagian orang akan menjawab kota santri,
sebagian lagi menjawab kota kelahiran ludruk, sebagian menjawab Gus Dur, Cak
Nun, Cak Nur, Riyan, Ponari, dan lain-lain dan lain-lain. Artinya secara
kultural Jombang mempunyai ikon yang kuat.
Namun anehnya, ketika warga Jombang disuruh untuk
mengekspresikan ikon Jombang dalam bentuk visual yang sederhana, kesulitan. Kalau
identik dengan kota santri, apa ikonnya? Kalau dikatakan kota kelahiran ludruk,
apa ikonnya? Barangkali hanya Gus Dur, ikon Jombang yang sudah mendapat
perhatian maksimal. Tidak lama setelah Gus Dur wafat, diresmikanlah jalan Gus
Dur di timur ringin contong. Lalu makamnya pun dibangun sedemikian rupa, karena
gelombang peziarah juga tidak henti-hentinya sampai detik ini.
Masyarakat Jombang yang merasa bahwa kotanya perlu
mempunyai identitas lalu kemudian mencari-cari. Jangan sampai kota ini bertumbuh
tanpa status; identitas kultural tidak punya, tanggal lahir kabupaten pun tidak
tahu. Pencarian itu kemudian berlabuh pada ringin contong. Tidak mengecilkan
usaha kawan-kawan yang menggarap ringin contong sebagai ikon Jombang, penulis
berpikiran, ringin contong muncul sebagai ikon, tidak lebih karena tidak ada
yang lain.
Coba pikir, ringin contong itu bisa bercerita
tentang apa? Selain bahwa posisinya kebetulan strategis di tengah kota. Ringin contong
tak lebih dari menara air, yang entah saat ini masih berfungsi atau tidak. Bangunan
ini memang kelihatan unik, tapi nyatanya tidak satu-satunya, di Mojoagung ada, bahkan di Mojokerto juga ada. Barangkali kita
membayangkan ringin contong seperti menara eiffel kalau di Paris, atau menara
pisa di Italia.
Sekali lagi, kalau mau jujur, menara air yang
disebut ringin contong itu tidak mempunyai ikatan kultural dengan Jombang,
karena memang dibangun tidak atas pertimbangan kultural apa-apa. Tapi oke, di
tengah sulitnya menemukan ikon Jombang
yang pas, maka ringin contong menjadi ikon yang masuk akal untuk diterima.
Pencarian yang kedua berlabuh pada besut. Dibanding
dengan ringin contong, besut sebenarnya lebih menyimbulkan kultur Jombang. Besut
adalah tokoh pemeran utama dari kesenian pertunjukan besutan. Dimana besutan
sendiri dianggap sebagai cikal-bakal ludruk. Namun masalahnya,
popularitas besut kalah dengan ringin contong. Karena tidak semua warga Jombang
mengerti apa itu besut. Ludruk yang muncul belakangan bahkan lebih populer
dibanding besutan.
Namun popularitas sebenarnya bisa dibangun. Besut bisa
dibikin lebih terkenal, asalkan digarap secara serius. Apa salahnya, toh dia anak
kandung yang sah dari kebudayaan Jombang. Apalagi posisi besutan lebih “bersih”
dibanding ludruk. Ludruk, akibat peristiwa sejarah yang pernah sangat intim
berafiliasi dengan Lekra-nya PKI, membuat sebagian kalangan santri masih
resisten hingga saat ini. Sebenarnya resistensi demikian untuk saat sekarang
sudah tidak beralasan lagi, karena ludruk sekarang sudah berbeda dengan ludruk
masa-masa PKI. Namun pendirian sebagian masyarakat tidak bergeming, bahwa ada
catatan hitam dalam ludruk.
Ada lagi ikon Jombang yang pernah muncul, yaitu
batik Jombang-an. Batik Jombang-an ini pernah sangat populer, karena dijadikan
seragam anak-anak sekolah, guru, birokrasi, hingga perangkat desa. Motif batik
Jombang-an mempunyai ikatan yang kuat dengan kultur Jombang, karena diambil
dari salah satu relif di candi Arimbi, satu-satunya candi di Jombang, yang
terletak di Desa Pulosari Kecamatan Bareng. Walaupun ada perbedaan antara motif
seragam anak sekolah dan seragam birokrasi pemerintahan, namun keduanya tetap
menggunakan motif yang diambil dari candi Arimbi. Namun karena ganti pemerintahan,
batik Jombang-an saat ini sudah tidak digunakan lagi, sayang.
Identitas Kultural untuk Apa?
Ini adalah
pertanyaan mendasar yang perlu diselesaikan. Sederhanannya identitas kultural
itu harus ada, ya… dari pada tidak punya identitas. Identitas kultural adalah
karakter sebuah daerah, yang dengan basis karakter tersebut pembangunan
diarahkan. Tanpa mengenali karakter, pembangunan akan berjalan tanpa arah.
Sehingga membangun identitas kultural tidak hanya
berhenti pada menemukan ikon-ikon. Kita ambil contoh Ponorogo. Semua orang tahu
kalau Ponorogo punya reog, reog ini kemudian dijadikan identitas kultural. Hampir
di setiap perempatan di Ponorogo ada patung reog, kesenian reog hidup sampai ke
desa-desa. Walhasil reog menjadi ikon pariwisata yang kuat, mulai dari
pertunjukannya hingga aneka marcendise bertemakan reog, dimana itu semua bisa
menghasilkan perputaran ekonomi yang tidak kecil.
Di Bali apalagi, setiap hari banyak turis baik
lokal maupun asing yang berbondong-bondong ke Bali. Mereka tidak hanya
mengunjungi keindahan alamnya, tapi juga kebudayaan masyarakatnya yang sangat
etnis. Kalau kita ke Bali maka akan kita saksikan rumah-rumah, perkantoran,
pure, altar-altar persembahan, sampai gapura-gapura, semuanya mempunyai bentuk
arsitek yang unik. Belum lagi upacara-upacara keagamaan yang masih dipegang
masyarakat Bali, yang itu mengundang daya tarik tersendiri.
Itu semua menunjukkan bahwa konsistensi pada
budaya akan berdampak pada perputaran ekonomi yang tidak kecil. Dalam hal
menggarap budaya dan pariwisata, kita tidak boleh melewatkan Banyuwangi. PAD dan
pendapatan perkapita Banyuwangi meningkat setelah pemerintah menggarap sektor
pariwisata secara serius, mulai dari eco tourism, sampai Banyuwangi festival
yang terdiri: Banyuwangi ethno carnival, Banyuwangi Jazz festival,
dan tour de Ijen.
Memang masing-masing daerah tidak bisa disamakan
dalam hal potensi, baik potensi alam potensi budaya, maupun potensi sumber daya
manusianya. Namun penyadaran terhadap potensi yang dipunyai, lalu kemudian
mengelolanya hingga mendapatkan hasil maksimal, adalah penting dan tidak ada
salahnya kalau kita menengok pada daerah sebelah. Dalam hal ini, keberhasilan pengolahan
sosok Gus Dur sebagai salah satu ikon Jombang, patut diapresiasi.
Diam-diam saya membayangkan menonton ludruk yang mnggunakan
iringan musik pop, jazz, blues, country,
atau musik klasik. Pasti menjadi tontonan yang banyak dinanti. Membayangkan mendengarkan
kampanye seorang calon kepala dearah dengan berpakain besut, lalu dalam orasinya
dia selipi dengan parik’an dan sanepan. Membayangkan Kyai-Kyai
pesantren berceramah memberikan pencerahan terhadap fenomena di masyarakat, dengan
mengutip data-data yang ia dapat dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten,
atau dari data-data yang lainnya, tidak melulu hanya mengutip dalil. Alangkah
fantastiknya.
Saya membayangkan bahwa Islam tidak hanya di
pesantren-pesantren, atau di masjid-masjid, tapi Islam juga hadir di
pemerintahan, di sekolah-sekolah, di pusat-pusat hiburan rayat, di pertokoan,
di pom bensin, di terminal, dan di tempat-tempat lain. Sehingga kesantrian kota
Jombang, bukan hanya karena kuantitas jumlah santri, tapi juga kualitas
kehidupannya. Sebab kalau hanya ditentukan kuantitas jumlah santri maka di
pasuruan, di Gresik, bahkan di Brebes juga banyak pesantren yng mempunyai
ribuan santri.
Saya membayangkan apa lagi ya…..