Saturday, 31 December 2016

Resolusi 2017

1. Punya bisnis sendiri
2. Rumah layak ditempati
3.  Novel selesai
4.  Punya mobil
5. Nambah anak
6. Pembayaran haji sesuai target

Wednesday, 16 March 2016

Arogansi Film Amerika

  

M. Fathoni Mahsun

     Dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari Amerika, perang dan film. Keduanya nampak sebagai dua sisi dari satu keping mata uang. Perang adalah upaya menghegemoni bangsa lain melalui kekuatan militer. Sedangkan film merupakan upaya penghegemonian melalui pendekatan budaya massa. Konon hingga kini di Amerika investasi tertinggi digunakan untuk perang, dan tertinggi kedua investasi pada dunia hiburan, termasuk film di dalamnya.

     Sejarah perfilman Amerika dimulai jauh sebelum PD II, yaitu sekitar tahun 1920-an. Ditandai dengan munculnya studio-studio raksasa semacam Metro-Goldwyin-Mayer (MGM), Paramount, Universal, Warner Brothers dan Fox. Pada rentang waktu 1930 -1939 Sutradara Michael Curtiz mampu memproduksi 44 film, atau rata-rata 4 film dalam setahun. Mervyn Leroy mampu membesut 36 film, dan John Ford 26 film. Selain nama-nama tersebut, masih banyak lagi yang lainnya. Sehingga kalau diakumulasi, ada ratusan  film diproduksi setiap tahunnya.

     Film-film tersebut selanjutnya disebarkan ke seantereo jagad, termasuk ke Indonesia. Sampai kira-kira 20 tahun setelah dimulainya uforia produksi film besar-besaran di Amerika, Indonesia nampak sudah menjadi konsumen aktif yang lahap menyantap film-film buatan hollywood. Dalam reportasi Harian Rakjat yang terbit 23 Juni 1962, kurun antara tahun 1960-1961 ada 130 judul film Amerika yang beredar. Artinya, ada sepuluh lebih judul film Amerika yang beredar setiap bulannya. Dengan kata lain, paling sedikit tiga hari sekali ada film baru produk Amerika. Pada tahun-tahun berikutnya Harian Rakjat (13 September 1964) mengabarkan terjadinya tren penggelembungan jumlah film Amerika yang beredar di Indonesia. Pada tahun 1962 sebanyak 303 film, tahun 1963 sebanyak 145 film, Ini menggambarkan betapa mapannya industri perfilman Amerika ketika itu. Bandingkan dengan Indonesia yang ketika itu hanya mampu memproduksi tidak lebih dari 10  judul film.

     Mapannya industri perfilman itu mendapatkan momen yang berharga pada masa PD II. Karena pada masa-masa ini film bermetamarfosis menjadi agen diplomasi politik luar negeri yang populer dan efektif. Persetubuhan antara film dan perang pun dimulai. Nazi-Jerman yang ketika itu menjadi lawan sekutu dalam PD II, digambarkan dalam tokoh-tokoh antagonis. Ketika Amerika terlibat konflik pada perang dingin dengan Rusia, maka Rusia pun digambarkan sebagai negara sarang mafia.

     Negara-negara Timur Tengah pun tidak lepas dari proyek propaganda film-film Amerika. Mereka telah digambarkan sebagai teroris sejak jauh-jauh hari sebelum serangan 11 September. Teroris kemudian memang menjadi tema-tema film Amerika kekinian. Lihatlah, perilisan ulang film serial “Hawaii five O”, sebuah film serial televisi yang populer di era tahun 70-an hingga 80-an. Pada versi klasiknya, film ini selalu menyuguhkan cerita tentang kriminal, detektif, pantai yang indah, dan gadis-gadis seksi. Sedangkan dalam versi barunya, film yang disiarkan saluran AXN ini menyajikan cerita terorisme sebagai salah satu suguhan utamanya. Pada salah satu episode terbarunya, Hawaii Five O mengisahkan tentang terorisme dari Korea.

     Perselingkuhan film Amerika dengan perang menyebabkan karakter film Amerika tak bisa lepas dengan kekerasan, konfrontasi, serta upaya menunjukkan superioritas dan arogansi. Ketegangan yang dibangun tak lepas dari pola relasi antara cow boy dan bandit, antara pahlawan pembela kebenaran dan penjahat. Tema demikianlah yang selalu dikembangkan. Sebenarnya tidak masalah kalau tidak mengusik pihak luar. Tetapi menjadi lain ceritanya kalau sampai melanggar batas-batas kemanusiaan dengan seenak hatinya menjadikan orang, kelompok, ras, dan bangsa lain sebagai pihak yang direndahkan martabatnya.
   
     Tokoh Rambo mendadak menjadi terkenal pasca kebangkrutan Amerika di perang Vietnam. Rambo dijadikan sebagai duta atas kepentingan pemerintah merehabilitasi citra dirinya, pada perang yang menimbulkan trauma dan skeptisme rakyat Amerika itu. Tokoh Rambo digambarkan sebagai super hero, yang mampu menerjang dan membumihanguskan markas tentara Vietkong seorang diri. Tentara Vietkong selalu meleset ketika membidik Rambo. Tapi sebaliknya, sekali tembak, Rambo bisa merobohkan sekompi pasukan. Traumatik Amerika terhadap perang Vietnam nampaknya sangat besar, sampai begitu dramatisnya pelampiasan kekesalan mereka. Sebuah keintiman yang sempurna antara perang dan film.

     Publik dunia pernah dibuat jengkel dengan arogansi  film-film Amerika, sehingga menimbulkan seruan boikot dimana-mana. Festival Film Asia Afrika (FFAA) III di Jakarta pada April 1964 menjadi momentum penyamaan missi untuk berperang melawan film-film Amerika yang penuh subfersif, diskriminasi rasial, politik agresi, melukai perasaan kesetiakawanan antar bangsa, cabul, dan beraroma imperialis menyengat. Negara-negara Asia-Afrika sepakat membatasi peredaran film-film Amerika di negara mereka masing-masing. Di dalam negeri pemboikotan dilakukan di beberapa tempat, Rembang, Kalsel, Palembang, Manado, Tegal, Brebes, Padang, Semarang, Solo, Jogja, Pekalongan, dan masih banyak lagi. Sampai-sampai organisasi keagamaan semacam NU pun ikut ambil bagian. Dalam hal ini Ketua NU Buleleng menyatakan bahwa film-film Amerika Serikat bertentangan dengan Concince of Man, atau hati nurani.

     Bagaimana Amerika menyikapi ketegangan terbarunya dengan China? Film The Karate Kidbisa kita simak sebagai refrensi. Film debutan sutradara Harald Zwart ini mengisahkan seorang anak imigran Amerika di China, Dre (diperankan oleh Jaden Smith), yang karena suatu hal terlibat konflik dengan anak pribumi. Anak pribumi tersebut ternyata merupakan salah satu murid perguruan kung fu tersohor. Dalam usaha membela diri,  dia bertemu dengan guru kung fu, Han (diperankan oleh Jacky Chan). Singkat cerita, setelah belajar kung fu beberapa saat, Dre akhirnya bisa memenangi kompetensi turnamen kung fu. Mengalahkan rivalnya, anak pribumi yang telah belajar kung fu bertahun-tahun, di kampung halamannya sendiri.

     Sekedar informasi, film ini adalah repro dari film lama, yang digarap oleh orang-orang profesional. Tapi sayangnya menggunakan logika yang amburadul. Bagaimana tidak, film ini masih tetap menggunakan judul ‘Karate’ ( bela diri Jepang), walaupun mengeksploitasi kung fu. Sebuah bentuk kedungungan atau memang disengaja atas nama kepentingan angresi?.

Saturday, 5 March 2016

Pertempuran Kebon Rojo Jombang

Peristiwa Heroik 12 Januari 1949

M. Fathoni Mahsun*)

Kebon Rojo sebagaimana yang kita ketahui saat ini merupakan taman kota yang dilengkapi dengan tempat bermain dan pujasera. Namun tahukah Anda bahwa di Kebon Rojo juga pernah terjadi perang yang menewaskan banyak korban?
Perang Kebon Rojo sebenarnya merupakan serangan balasan oleh para pejuang kita pada Belanda, yang telah menduduki kota Jombang sejak 29 Januari 1948. Serangan ini telah direncanakan sedimikian matang, dan diangap sebagai serangan yang paling berhasil, sehingga mendapat apresiasi dari Kolonel Nasution selaku komandan Markas Besar Komando Djawa (MBKD).
Belanda ketika menduduki kota Jombang, menempati tempat-tempat strategis yang masih tersisa, yang terlewat tidak dibumihanguskan. Yang paling utama adalah di sekitar Kebon Rojo, disekitar rumah Haji Afandi Jagalan, serta sekitar pendopo kabupaten.
Serangan ini melibatkan beberapa anasir pasukan. Bertugas sebagai pasukan penusuk di dalam kota adalah 3  kompi pasukan Mobil Brigade (istilah saat ini Brimob) pimpinan Soetopo Ismono, Yusuf Jayengrono dan Kusnadi, pasukan TNI Kompi MBT pimpinan Letnan Budiman, dan 2 seksi pasukan TRIP pimpinan Sulaman dan Mukayat, serta 3 regu TRIP yaitu regu Gandu, regu Druju, dan regu Heru Soebandi. Yang menyerang dari timur Kebon Rojo adalah TNI-MBT kompi Budiman, Mobrig kompi Kusnadi, TRIP Seksi Mukayat, regu Heru Soebandi. Dari selatan TRIP Kompi Yusuf. Sedang Mobrig kompi Soetopo Ismono, dan Trip Seksi Sulaman kebagian di barat.
Kompi Soetopo sebenarnya kebagian menyergap Belanda di Jagalan dari arah selatan, yaitu daerah sekitar klenteng. Demikian juga seksi Sulaman juga bertugas menyergap jagalan dari arah utara, yaitu dari arah pasar legi. Namun karena di pasar banyak pengungsi yang terdiri dari orang tua, wanita, dan anak-anak, sedangkan Kompi Soetopo sendiri merasa kurang leluasa ruang geraknya, maka kedua pasukan tersebut bergeser ke Kebon Rojo.
Selain pasukan-pasukan di atas, ada juga pasukan penghadang yang bertugas di lingkar luar kota, yaitu 2 seksi TNI kompi 6002 Matosin yang dipimpin Letda A. Lodji dan dibantu oleh kompi AURI pimpinan Letnan Soeprantiyo. Mereka mengambil tempat di antara Kertosono-Perak, tepatnya di desa Kayen. Pasukan-pasukan tersebut bertugas menghadang bantuan Belanda dari barat. Upaya penghadangan tersebut tidak hanya dengan pasukan, tetapi juga dengan menebangi pohon sepanjang jalan antara Jabon- Cangkring Randu, yang dilakukan oleh penduduk. Sedangkan penghadangan datangnya bantuan Belanda dari timur diserahkan pada kompi Budiman.
Setelah semua persiapan dilakukan hampir sepanjang malam, dan masing-masing pasukan menempati pos-posnya, serta waktunya pun telah matang, maka genderang perang ditabuh. Tepat pukul 04.00 dini hari tanggal 12 Januari 1949, kududukan Belanda di Kebon Rojo ditembaki dengan mortir, sebagai tanda bahwa serangan telah dimulai. Lalu diikuti dengan tembakan gencar dari seluruh pasukan yang mengepung Kebon Rojo. Momen ketika Belanda lengah demikian sangat menguntungkan, sehingga pasukan yang mengepung Kebon Rojo leluasa untuk merangsek ke jarak yang sangat dekat. Tembak-menembak bahkan terjadi hanya dalam jarak setengah meter.
Belanda tentunya sangat terkejut, dan tidak berani keluar dari sarangnya. Tembak- menembak jarak dekat itu terjadi hingga siang hari. Pukul 10.00 pesawat musuh datang, terbang di atas kota Jombang. Tapi pesawat tersebut tidak berani mengeluarkan tembakan, karena pandangannya terganggu. Selain itu batas antara lawan dan kawan tidak jelas. Pada pukul 10.00 itu juga di barat Kebon Rojo, disebuah ladang jagung yang sudah patah-patah batangnya terkena tembakan, mendadak puluhan penduduk muncul sambil merayap, menyerahkan bungkusan-bungkusan makanan pada pejuang. Mereka adalah penduduk sekitar Kebon Rojo, Kauman, dan selatan Rel.
Sementara itu, pasukan yang menghalau musuh di Kayen juga terlibat kontak senjata. Prediksi  mereka benar, bahwa akan datang bantuan musuh dari arah Kertosono. Beberapa orang gugur di pertempuran sekitar Perak ini. Namun para pejuang juga berhasil menghancurkan kendaraan lapis baja musuh, berikut yang di dalamnya. Sekitar pukul 12.00 dapat laporan dari penduduk, bahwa buldoser Belanda berhasil menyingkirkan pohon-pohon yang ada di jalan Jabon-Ngrandu.
Beberapa kompi TRIP kemudian mundur ke arah Jabon untuk mengantisipasi datangnya Belanda dari barat. Ternyata jumlah pasukan Belanda yang datang cukup besar, ada 13 brencarriers, dan 7 truk yang masing-masing berisi sekitar 40 pasukan. Di tikungan Jabon, jalan yang berjajar dengan rel, akhirnya para pejuang menembaki kendaraan yang paling belakang dari selatan rel. Tiga orang tewas seketika. Namun akibatnya pasukan pejuang tersebut akhirnya kocar-kacir karena kalah jumlah dan senjata. Mereka masuk ke kampung Beyan, lalu terus keselatan.
Iring-iringan pasukan Belanda tadi kemudian melanjutkan perjalanannya menuju Kebon Rojo. Walhasil, posisi Belanda di Kebon Rojo kembali menguat, sehingga seluruh pejuang harus ditarik pada sekitar pukul 15.00. Dari kesaksian penduduk, ada 6 truk berisi mayat serdadu Belanda yang diangkut menuju Mojokerto.  Sebuah pertempuran yang patut dikenang.







*) Sedang menulis novel “Perang Jombang”

Wednesday, 2 March 2016

Kamus-kamus Arab dan Cerita Uniknya





                Bagi kalangan pesantren, atau orang yang mendalami Islam di perguruan tinggi pasti tidak asing dengan kamus bahasa arab, untuk membantu menemukan kosa kata yang tidak dipahami. Di Indonesia ada beberapa kamus yang beredar di pasaran.
Beberapa kamus yang beredar di pasaran itu diantaranya Munawwir karangan KH. A. Warson Munawwir Krapyak Yogyakarta. Kamus ini mempunyai dua versi yaitu versi Arab-Indonesia, dan versi Indonesia Arab, dimana masing-masing terbit sendiri-sendiri. Kamus ini saat ini merupakan kamus yang paling banyak digunakan di kalangan pesantren. Bahkan setiap tahunnya dicetak tak kurang dari 10 ribu - 15 ribu eksempar.
Adalagi kamus Idris Marbawi, yang dikarang oleh Muhammad Idris Abdul Rouf al-Marbawi, biasa disebut kamus Marbawi. Kamus ini berbahasa Arab-Melayu, keberadaannya sudah jarang ditemui. Padahal sampai tahun 70-an para santri banyak menggunakan kamus ini. Pengarangnya mengatakan ada 700 gambar untuk menunjukkan kata. Oleh karena melibatkan gambar demikian banyak, maka dia juga menjelaskan tentang hukum syar’i menggunakan gambar.
Kamus lain yang masih akrab di telinga adalah Misbahul Munir karya Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Muqri Al-Fayumi yang wafat tahun 770 H. Keistimewaan kamus ini adalah apabila berkenaan dengan kosa kata yang ada kaitannya dengan fiqh, maka diberi keterangan yang agak panjang. Kecenderungan fiqh nya adalah Syafi’iyah, sehingga kamus Misbahul Munir ini disebut dengan kamus madzhab Syafi’i.
Deretan nama kamus lain yang bisa kita paparkan di sini adalah kamus Mukhit. Kamus ini terbilang unik karena beda dengan kamus-kamus pada umumnya, jika kamus pada umumnya untuk mencari kosa kata patokannya adalah huruf awal, namun tidak dengan Mukhit. Patokan dalam Mukhit adalah huruf akhirnya. Sehingga ketika misalnya kita mencari arti kata ”وسل”, tidak akan ketemu kalau kita cari di kelompok kata berhuruf “و”, tetapi akan bisa ditemukan pada kelompok kata berhuruf "ل”. Namun demikian kamus ini kerap menjadi rujukan. Bahkan beberapa kitab kalau mengatakan                  كما في القا موس (sebagaimana terdapat dalam kamus), maka kamus yang dimaksud adalah Mukhit.
Sementara itu kamus yang terbilang paling terkenal, utamanya dikalangan pesantren adalah kamus Munjid. Kamus ini menjadi rujukan karena enak cara penyampaiannya, yaitu apabila ada kata-kata yang menimbulkan multi tafsir, atau sulit dijelaskan dengan kata-kata, maka dilengkapi dengan gambar. Penyertaan gambar dalam kamus ini terbilang pertama, karena kamus Marbawi yang disebut di atas juga menggunakan Munjid sebagai salah satu rujukannya. Misalkan jenis-jenis hewan, jenis tanaman, alat-alat, perabot, dan lain-lain. Selain berisi kosa kata, kamus Munjid juga berisi pepatah bahasa arab (faroidhul adab). Belakangan malah dalam kamus Munjid terbitan terbaru, juga ditambah dengan biografi tokoh-tokoh dunia, diantaranya Bung Karno, Kyai Nawawi al-Bantani, pengarang jurumiyah, pengarang al-fiyah, dan lain-lain. Selain itu juga berisi tentang tempat-tempat penting di dunia.
Kamus Munjid yang demikian lengkap tersebut pada kenyataannya dikarang oleh non muslim, bernama Luwis Ma'luf al-Yasu'I.  Hal ini menyebabkan beberapa ulama mengharamkan penggunaan kamus Munjid. Dalam sebuah kisah yang disampaikan KH. Aziz Masyhuri Denanyar Jombang, suatu saat, ketika KH. Ali Ma’shum sudah di Krapyak Yogyakarta -KH. Ali Ma’shum adalah putra KH. Ma’shum pengasuh pesantren di Lasem, dalam perjalanan hidupnya KH. Ali  yang tadinya membantu ayahnya menjadi pengasuh pesantren di Lasem, akhirnya diminta untuk menjadi pengasuh di pesantren mertuanya di Krapyak-, KH. Ma’shum ingin berkunjung ke Krapyak.
KH. Ma’shum adalah orang yang termasuk mengharamkan kamus Munjid, sedangkan KH. Ali, anaknya tidak. Mengetahui bahwa ayahnya akan ke Krapyak, maka santri-santri yang mempunyai kamus Munjid disuruh untuk menyembunyikan. Takut, kalau-kalau KH. Ma’shum sidak ke kamar-kamar santri. Demikianlah yang terjadi antara bapak dan anak ini, walaupun berbeda sikap terhadap kamus Munjid, namun rasa penghormatan kepada orang tua tetap dijaga.
Mungkin karena ada kalangan yang tidak menerima Munjid demikian, akhirnya KH. Ali mendorong salah satu santrinya yang juga keponakannya, untuk mengarang kamus. KH. Warson pengarang kamus Munawwir sebagaimana disebut di atas, tak lain adalah santri KH. Ali Ma’shum. Bahkan KH. Ali ikut menaskhih kamus Munawwir.



Oleh: M. Fathoni Mahsun

Sunday, 28 February 2016

Menangkal Radikalisme dari Rumah



Oleh M Fathoni Mahsun
Sebagian orang tua yang mempunyai anak usia SMA barangkali merasakan bahwa ibadah sang anak semakin khusuk, tapi anehnya lebih senang menyendiri. Ketika diajak berdiskusi dia tidak mau sepenuhnya berterus terang. Hingga suatu ketika anaknya tersebut mengkritik cara beribadah orang tuanya yang dinilai tidak benar, entah shalatnya, cara mua’malah-nya atau paradigma beragamanya.
Gejala demikian akhir-akhir ini berkembang di masyarakat. Bahwa agama, dalam hal ini Islam, menurut sebagian kalangan, perlu dilakukan pemurnian, karena dianggap tidak sesuai dengan tuntunan yang diajarkan Nabi. Upaya pemurnian tersebut secara otomatis harus dikonfrontasikan dengan pemahaman ber-Islam yang sudah mapan di kalangan masyarakat. Pada tahap yang lebih serius kita menyebutnya radikal.
Terlepas mana yang benar, apakah cara ber-Islam “model baru” atau ber-Islam dengan cara yang sudah mapan, konfrontasi di masyarakat semakin meluas. Islam model baru mengusung pemahaman untuk kembali ke Al-Qur’an dan Hadits Nabi sebagai wujud memurnikan Islam. Sehingga ketika terdapat bentuk ibadah yang tidak ditemukannya dalam Al-Qur’an dan Hadits, dianggap salah. Kesalahan tersebut kalau jaraknya masih tipis dianggap bid’ah, kalau jaraknya sudah jauh dianggap kafir.
Pemahaman seperti ini sudah merasuk kepada anak-anak sekolah dan mahasiswa. Bayangkan! Anak-anak sekolah itu tengah belajar pemahaman Islam yang keras, dengan melestarikan konfrontasi dalam cara dakwahnya, bukan Islam yang damai dan lembut, sebagaimana dipahami oleh orang tuanya. Mereka menerima doktrin pemurnian begitu saja tanpa ada kesempatan men-tabayuni dengan melakukan kajian ilmiah, apakah benar cara ber-Islam yang sudah mapan itu keluar dari koridor Al-Qur’an dan Hadits, sehingga harus ada gerakan kembali pada Al-Qur’an dan Hadits.
Pada kenyataannya, Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dipimpin Prof. Dr. Bambang Pranowo, pada Oktober 2010 hingga Januari 2011, mengungkapkan hampir 50 persen pelajar setuju tindakan radikal. Data itu menyebutkan 25 persen siswa dan 21persen guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8 persen siswa dan 76,2 persen guru setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia. Jumlah yang menyatakan setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3 persen siswa dan 14,2 persen membenarkan serangan bom.
Sementara itu, peneliti LIPI Anas Saidi mengatakan, paham radikalisme ini terjadi karena proses Islamisasi yang dilakukan di kalangan anak muda berlangsung secara tertutup, dan cenderung tidak terbuka pada pandangan Islam lainnya, apalagi yang berbeda keyakinannya. Dia mengatakan jika pemahaman ini dibiarkan, bisa menyebabkan disintegrasi bangsa karena mereka menganggap ideologi pancasila tidak lagi penting. Radikalisme di kalangan pelajar dan mahasiswa itu terjadi pasca reformasi, dengan menyebar melalui Jamaah Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin), termasuk HTI dan salafi yang merupakan bagian dari gerakan Islam trans nasional (BBC Indonesia, 18/2/2016).
Kalau sudah jelas seperti ini, maka kita semua termasuk orang tua harus waspada, bahwa ada gerakan yang serius yang ingin mengubah tatanan berbangsa melalui kedok agama. Doktrin pemurnian agama kepada anak-anak sekolah, yang mengkritik bahkan cenderung menyalah-nyalahkan cara beribadah orang tuanya itu, ternyata tidak hanya menghendaki diubahnya cara beribadah, tapi juga diubahnya sendi-sendi kehidupan dalam cara bernegara.
Menurut survei The Pew Research Center pada 2015 lalu mengungkapkan, di Indonesia, sekitar 4 persen atau sekitar 10 juta orang warga Indonesia mendukung ISIS – sebagian besar dari mereka merupakan anak-anak muda. Fakta demikian harus menjadi alarm bagi orang tua untuk lebih memperhatikan anak-anaknya. Anak-anak usia remaja adalah anak-anak yang masih dalam tahapan pencarian jati diri. Siapa yang bisa merebut cara berpikirnya, maka dia akan menjadi pengendali masa depan anak tersebut.
Karena pentingnya merekrut anak-anak muda dalam menanamkan ideologinya, maka HTI sebagai salah satu organisasi yang disebut diatas, telah menyiapkan upaya pengkaderan yang dijamin bisa mengikat sedemikian kuat para kadernya. Sehingga wajar, ketika anak-anak muda itu sudah masuk, maka akan sulit baginya untuk keluar. Karena keluar dari jama’ah mempunyai dampak yang tidak enteng. Kita memang terpaksa menyebutkan merk (baca: HTI), karena ini memang sudah menjadi gerakan terbuka. Buletin mereka bahkan sudah beredar secara gratis di masjid-masjid seluruh Indonesia setiap hari Jum’at.
Dr. Ainur Rofiq Al-Amin dalam bukunya (2015) mengatakan bahwa, tahapan pertama pengkaderan di Hizbu Tahrir adalah melakukan pengkaderan terkonsentrasi. Selanjutnya, tahap kedua terdapat ruang kajian yang bernamahalaqah ‘amm. Setelah beberapa bulan atau sesuai dengan pengamatan, mereka akan dinaikkan statusnya sebagai darisin (pesertahalaqah yang lebih intensif). Selanjutya, darisinyang masa pembinaannya dalam jangka waktu tertentu (basanya sekitar 3 tahun) dinilai telah layak mereka bisa menawarkan diri atau ditawarkan untuk menjadi hizbiyyin.
Jika telah siap menjadi hizbiyyin, mereka akan disumpah (qasam) agar setia pada Hizbu Tahrir. Muatan qasam inilah yang membuat kader semakin militan. Qasam juga menahan seseorang untuk keluar dari HTI, karena setelah melakukan qasam apabila menarik diri dari jama’ah hukumnya haram, sekalipun telah membayar denda atau kaffarat.
Apabila ada anak yang terindikasikan mengikuti gerakan demikian maka kehadiran orang tua sangat dbutuhkan. Hal ini sesuai dengan Permendikbud No. 23 tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti, yaitu dalam rangkamenumbuhkembangkan kebiasaan baik sebagai bentuk pendidikan karakter.
Orang tua harus sering-sering mengajak anak bicara dari hati ke hati. Jangan biarkan anak tumbuh dengan pikirannya sendiri. Kebiasaan menyampaikan kehendak harus dikembangkan dalam keluarga, sebagai bentuk keterbukaan dan pengakuan eksistensi. Ketika ada kehendak baik dari anak, maka orang tua wajib menguatkan. Tapi ketika ada kehendak tidak baik, maka kewajiban orang tua mengarahkan. Dengan demikian rumah menjadi surga dan tempat menyemaikan nilai-nilai kebaikan, serta menangkal radikalisme.

Penulis adalah Pengurus Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor Jombang
http://www.nu.or.id/post/read/66114/menangkal-radikalisme-dari-rumah

Tuesday, 16 February 2016

Jombang dan Pembangunan Identitas Kultural


M. Fathoni Mahsun

                Kalau kita bertanya, apa ciri khas Jombang? Maka sebagian orang akan menjawab kota santri, sebagian lagi menjawab kota kelahiran ludruk, sebagian menjawab Gus Dur, Cak Nun, Cak Nur, Riyan, Ponari, dan lain-lain dan lain-lain. Artinya secara kultural Jombang mempunyai ikon yang kuat.
Namun anehnya, ketika warga Jombang disuruh untuk mengekspresikan ikon Jombang dalam bentuk visual yang sederhana, kesulitan. Kalau identik dengan kota santri, apa ikonnya? Kalau dikatakan kota kelahiran ludruk, apa ikonnya? Barangkali hanya Gus Dur, ikon Jombang yang sudah mendapat perhatian maksimal. Tidak lama setelah Gus Dur wafat, diresmikanlah jalan Gus Dur di timur ringin contong. Lalu makamnya pun dibangun sedemikian rupa, karena gelombang peziarah juga tidak henti-hentinya sampai detik ini.
Masyarakat Jombang yang merasa bahwa kotanya perlu mempunyai identitas lalu kemudian mencari-cari. Jangan sampai kota ini bertumbuh tanpa status; identitas kultural tidak punya, tanggal lahir kabupaten pun tidak tahu. Pencarian itu kemudian berlabuh pada ringin contong. Tidak mengecilkan usaha kawan-kawan yang menggarap ringin contong sebagai ikon Jombang, penulis berpikiran, ringin contong muncul sebagai ikon, tidak lebih karena tidak ada yang lain.
Coba pikir, ringin contong itu bisa bercerita tentang apa? Selain bahwa posisinya kebetulan strategis di tengah kota. Ringin contong tak lebih dari menara air, yang entah saat ini masih berfungsi atau tidak. Bangunan ini memang kelihatan unik, tapi nyatanya tidak satu-satunya, di Mojoagung  ada, bahkan di Mojokerto juga ada. Barangkali kita membayangkan ringin contong seperti menara eiffel kalau di Paris, atau menara pisa di Italia.
Sekali lagi, kalau mau jujur, menara air yang disebut ringin contong itu tidak mempunyai ikatan kultural dengan Jombang, karena memang dibangun tidak atas pertimbangan kultural apa-apa. Tapi oke, di tengah sulitnya menemukan  ikon Jombang yang pas, maka ringin contong menjadi ikon yang masuk akal untuk diterima.
Pencarian yang kedua berlabuh pada besut. Dibanding dengan ringin contong, besut sebenarnya lebih menyimbulkan kultur Jombang. Besut adalah tokoh pemeran utama dari kesenian pertunjukan besutan. Dimana besutan sendiri dianggap sebagai cikal-bakal ludruk. Namun masalahnya, popularitas besut kalah dengan ringin contong. Karena tidak semua warga Jombang mengerti apa itu besut. Ludruk yang muncul belakangan bahkan lebih populer dibanding besutan.
Namun popularitas sebenarnya bisa dibangun. Besut bisa dibikin lebih terkenal, asalkan digarap secara serius. Apa salahnya, toh dia anak kandung yang sah dari kebudayaan Jombang. Apalagi posisi besutan lebih “bersih” dibanding ludruk. Ludruk, akibat peristiwa sejarah yang pernah sangat intim berafiliasi dengan Lekra-nya PKI, membuat sebagian kalangan santri masih resisten hingga saat ini. Sebenarnya resistensi demikian untuk saat sekarang sudah tidak beralasan lagi, karena ludruk sekarang sudah berbeda dengan ludruk masa-masa PKI. Namun pendirian sebagian masyarakat tidak bergeming, bahwa ada catatan hitam dalam ludruk.
Ada lagi ikon Jombang yang pernah muncul, yaitu batik Jombang-an. Batik Jombang-an ini pernah sangat populer, karena dijadikan seragam anak-anak sekolah, guru, birokrasi, hingga perangkat desa. Motif batik Jombang-an mempunyai ikatan yang kuat dengan kultur Jombang, karena diambil dari salah satu relif di candi Arimbi, satu-satunya candi di Jombang, yang terletak di Desa Pulosari Kecamatan Bareng. Walaupun ada perbedaan antara motif seragam anak sekolah dan seragam birokrasi pemerintahan, namun keduanya tetap menggunakan motif yang diambil dari candi Arimbi. Namun karena ganti pemerintahan, batik Jombang-an saat ini sudah tidak digunakan lagi, sayang.

Identitas Kultural untuk Apa?
                Ini adalah pertanyaan mendasar yang perlu diselesaikan. Sederhanannya identitas kultural itu harus ada, ya… dari pada tidak punya identitas. Identitas kultural adalah karakter sebuah daerah, yang dengan basis karakter tersebut pembangunan diarahkan. Tanpa mengenali karakter, pembangunan akan berjalan tanpa arah.
Sehingga membangun identitas kultural tidak hanya berhenti pada menemukan ikon-ikon. Kita ambil contoh Ponorogo. Semua orang tahu kalau Ponorogo punya reog, reog ini kemudian dijadikan identitas kultural. Hampir di setiap perempatan di Ponorogo ada patung reog, kesenian reog hidup sampai ke desa-desa. Walhasil reog menjadi ikon pariwisata yang kuat, mulai dari pertunjukannya hingga aneka marcendise bertemakan reog, dimana itu semua bisa menghasilkan perputaran ekonomi yang tidak kecil.
Di Bali apalagi, setiap hari banyak turis baik lokal maupun asing yang berbondong-bondong ke Bali. Mereka tidak hanya mengunjungi keindahan alamnya, tapi juga kebudayaan masyarakatnya yang sangat etnis. Kalau kita ke Bali maka akan kita saksikan rumah-rumah, perkantoran, pure, altar-altar persembahan, sampai gapura-gapura, semuanya mempunyai bentuk arsitek yang unik. Belum lagi upacara-upacara keagamaan yang masih dipegang masyarakat Bali, yang itu mengundang daya tarik tersendiri.
Itu semua menunjukkan bahwa konsistensi pada budaya akan berdampak pada perputaran ekonomi yang tidak kecil. Dalam hal menggarap budaya dan pariwisata, kita tidak boleh melewatkan Banyuwangi. PAD dan pendapatan perkapita Banyuwangi meningkat setelah pemerintah menggarap sektor pariwisata secara serius, mulai dari eco tourism, sampai Banyuwangi festival yang terdiri: Banyuwangi ethno carnival, Banyuwangi Jazz festival, dan tour de Ijen.
Memang masing-masing daerah tidak bisa disamakan dalam hal potensi, baik potensi alam potensi budaya, maupun potensi sumber daya manusianya. Namun penyadaran terhadap potensi yang dipunyai, lalu kemudian mengelolanya hingga mendapatkan hasil maksimal, adalah penting dan tidak ada salahnya kalau kita menengok pada daerah sebelah. Dalam hal ini, keberhasilan pengolahan sosok Gus Dur sebagai salah satu ikon Jombang, patut diapresiasi.
Diam-diam saya membayangkan menonton ludruk yang mnggunakan iringan  musik pop, jazz, blues, country, atau musik klasik. Pasti menjadi tontonan yang banyak dinanti. Membayangkan mendengarkan kampanye seorang calon kepala dearah  dengan berpakain besut, lalu dalam orasinya dia selipi dengan parik’an dan sanepan. Membayangkan Kyai-Kyai pesantren berceramah memberikan pencerahan terhadap fenomena di masyarakat, dengan mengutip data-data yang ia dapat dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten, atau dari data-data yang lainnya, tidak melulu hanya mengutip dalil. Alangkah fantastiknya.
Saya membayangkan bahwa Islam tidak hanya di pesantren-pesantren, atau di masjid-masjid, tapi Islam juga hadir di pemerintahan, di sekolah-sekolah, di pusat-pusat hiburan rayat, di pertokoan, di pom bensin, di terminal, dan di tempat-tempat lain. Sehingga kesantrian kota Jombang, bukan hanya karena kuantitas jumlah santri, tapi juga kualitas kehidupannya. Sebab kalau hanya ditentukan kuantitas jumlah santri maka di pasuruan, di Gresik, bahkan di Brebes juga banyak pesantren yng mempunyai ribuan santri.
             Saya membayangkan apa lagi ya…..

Tuesday, 2 February 2016

Resum sarasehan dalam rangka konferensi PMII Cabang Jombang ke XXV. Unwaha Tambak Beras, 29 Jan 2016


1. Aswaja tidak bisa dijadikan ideologi untuk merebut kekuasaan. Karena ini adalah faham keagamaan. Sehingga dalam relasinya dengan kekuasaan, Aswaja hanya bisa menjadi inspirasi manakala kekuasaan itu sudah direbut.
2. Kader PMII harus 'alima' tahu dalam porsi maksimalis, bukan sekedar 'arofa' tahu dalam porsi minimalis. Pendek kata harus pintar
3. Kembali nya PMII ke pangkuan NU karena dipandang nilai baik di PMII sudah banyak yg terkikis, sehingga harus dikembalikan lagi ke NU agar baik lagi. Selain itu kalau mau ngotot independen, maka memaknainya harus konsisten. Independen tapi minta sumbangan nya ke orang NU, berarti tidak konsisten.
4. Harus dilakukan konsolidasi umat agar menjadi kuat. Dalam hal ini yg sama-sama mempunyai faham Aswaja, antara NU, banom-banom, RSNU, partai (PKB), dll. Dalam konteks ini juga ditariknya PMII kembali ke NU, harus dipahami.
5. Dalam konteks MEA, orang-orang di luar NU, bahkan diluar Islam, yg sudah melakukan reaksi, seperti taipan-taipan yg mengkonsolidasi para investor untuk masuk ke Indonesia, dan MNC Grup yg telah merambah bisnis finansial.
6. Akibat tidak adanya kesepahaman berkonsolidasi untuk menguatkan bangunan keumatan, maka hal-hal real yg dilakukan sebagian pihak tidak didukung oleh sebagian yg lain, seperti: pesimistis pihak-pihak tertentu ketika mendirikan RSNU. LAZIZNU yang kalah dengan LPUQ yg saat ini omsetnya sudah miliaran. PKB yg tidak didukung oleh orang NU, padahal dilahirkan NU. Sedangkan PKB masih menjaga komitmen untuk mengabdi ke NU, dalam bentuk: berusaha mendirikan BMT NU dan membangun kantor MWC di 8 kecamatan.