Muhammad Fathoni, S.Pd.[1]
Ketika pemerintah sedang gencar-gencarnya mengembangkan SMK, Jombang
sebagai suatu wilayah sebenarnya patut berbangga, karena mempunyai akar sejarah
kuat menyangkut sekolah berbasis vocational tersebut. Tentu dulu belum
menggenal istilah SMK, tapi sebutannya waktu itu adalah sekolah pertukangan.
Pada sebuah literatur yang ditulis pada 1959 oleh I Djumhur dan Danasuparta
disebutkan, bahwa sekolah pertukangan di Mojowarno merupakan sekolah
pertukangan pertama yang didirikan oleh zending, tepatnya didirikan pada 1893.
Tahun 1893 menjadi tahun menarik untuk kita amati dalam lapangan
pendidikan. Baik, sebelum kita berbicara lebih lanjut tentang sekolah
pertukangan di Mojowarno, kita akan lihat dulu konteks suana pendidikan di
Indonesia (baca: Hindia Belanda) pada masa-masa itu, di mana Indonesia masih di
bawah jajahan Belanda. Sejak abad ke 17 sampai 18 pendidikan formal sebenarnya
telah ada, namun masih sederhana dan terbatas. Sederhana karena pendidikan yang
diadakan kompeni waktu itu mempunyai dasar keagamaan. Terbatas karena hanya
anak-anak kompeni saja yang bisa masuk.
Memasuki abad ke 19 aneka program perbaikan pendidikan dilakukan.
Kemudian pada paruh kedua abad 19, sudah ada 30 sekolah yang didirikan Belanda.
Ketika itu pribumi sudah diberikan kesempatan masuk, namun masih terbatas
anak-anak kaum bangsawan saja. Sementara itu, anak-anak kaum jelata hanya
berkesempatan menikmati pendidikan di pesantren-pesantren. Di masa-masa ini
pesantren menjadi pendidikan alternatif, ketika sebagian besar anak-anak
pribumi tidak bisa masuk ke pendidikan formal yang diselenggarakan kompeni.
Setelah tahun 1850 sekolah-sekolah untuk Bumiputra baru mulai banyak dibuka,
yang kebanyakan bertempat di pendopo-pendopo kabupaten.
Pada 1893 pemerintah Belanda
merasa perlu melakukan deferensiasi pendidikan, karena memandang masyarakat
pribumi mempunyai dua kebutuhan di lapangan pendidikan. Pertama: lapisan atas membutuhkan pengajaran yang
dapat membawanya ke arah kemajuan sehingga bisa memenuhi syarat-syarat untuk
menjadi pegawai yang bertambah berat.
Kedua: lapisan rendah cukup hanya pendidikan yang memberikan pengetahuan
pokok baca, tulis, dan berhitung. Atas dasar pemikiran demikian maka muncullah
sekolah kelas I untuk lapisan atas dan sekolah kelas II (sekolah ongko loro)
untuk lapisan bawah.
Memasuki abad 20 kualitas pendidikan menjadi semakin tinggi. Hal ini
karena diberlakukannya politik etis
(1901), sebagai balas budi terhadap rakyat Indonesia yang telah menyumbangkan
keuntungan yang sedemikian melimpah terhadap kerajaan Belanda. Politik etis
bertujuan memberi kebahagiaan dan kemakmuran kepada bangsa Indonesia dengan
menyelenggarakan pendidikan, irigasi,
dan perpindahan penduduk (emigrasi). Salah satu langkah di dalam bidang
pendidikan adalah mendirikan sekolah teknik. Sekolah teknik pertama didirikan
pada 1906 di Jakarta, bernama Koningin Wilhelmina School (KWS).
Dari paparan di atas kita mulai dapat sisi menariknya, yaitu bahwa
sekolah pertukangan Mojowarno telah berdiri sebelum pemerintah kompeni
mendirikan sekolah teknik. Bahkan pendirian sekolah tersebut lebih dahulu dari
gereja Mojowarno yang mulai dibangun pada 1894. Sebagai perbandingan, KH.
Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng, yang kelak santrinya datang dari
segala penjuru di Indonesia, pada tahun 1899.
Ketika zaman terus berkembang, sekolah pertukangan pun harus menerima
konsekuensi zaman. Menurut Ibu Madoedari, sejarawan Mojowarno, sekolah
pertukangan Mojowarno pada 1918 harus tutup karena pemerintah kompeni sudah
mendirikan sekolah teknik formal. Kepala sekolah terakhirnya adalah Wirjono.
Ini berarti sekolah tersebut eksis selama 15 tahun. Namun di tahun-tahun
berikutnya ada upaya untuk menghidupkan kembali sekolah tersebut, Ibu Madoedari
misalnya, pernah ditunjuk sebagai kepala sekolah penjahitan, yang merupakan
turunan dari sekolah pertukangan, pada tahun 1967. Sekolah penjahitan ini
akhirnya ditutup pada tahun 80-an.
Manajemen dan Orientasi Sekolah Pertukangan
Mojowarno
Sekolah yang sedang kita bicarakan ini lokasinya berada di barat
pertigaan Mojowarno yang ke arah Cukir, tepatnya di barat kantor pos Mojowarno.
Namun bangunan sekolah tersebut saat ini sudah tidak ada, karena ikut
dibumihanguskan sewaktu agresi Belanda II tahun 1948-1949. Peninggalan berupa
benda fisik tidak bisa didapatkan lagi juga karena pada masa sebelumnya, yaitu
masa pendudukan Jepang, peralatan sekolah diangkut ke Jombang.
Sementara itu menurut Ibu Madoedari, sekolah pertukangan Mojowarno
ketika itu berangkat dari pemikiran sederhana, yaitu mengajarkan pada generasi
muda tentang sumber penghasilan di luar pertanian. Kemudian tentang apa yang
dipelajari berkaitan erat dengan kondisi alam dan situasi sosial ekonomi yang
sedang berkembang. Maka kemudian diajarkanlah pembuatan barang-barang dari
bahan kayu, bambu, dan besi. Dua yang pertama karena alam menyediakan
bahan-bahan tersebut secara berlimpah.
Sedangkan besi, selain untuk kepentingan membuat alat-alat pertanian seperti
cangkul, bajak, sabit, dan sebagainya, juga karena ketika itu di Jombang banyak
bermunculan pabrik gula, jumlahnya sekitar 10 pabrik.
Yang menarik adalah bagaimana sekolah ini ‘berkorespondesi’ dengan
lingkungan, setidaknya bisa dilihat pada dua hal. Pertama perekrutan guru,
tidak usah dibayangkan bahwa perekrutan guru melalui seleksi yang
berlapis-lapis seperti saat ini. Ketika itu hanya ditunjuk orang-orang di
sekitar yang pandai membuat barang-barang dari kayu, bambu, atau besi. Yang
penting terjadi proses belajar-pembelajaran. Kedua tentang waktu belajar,
sekolah ini tidak menggunakan waktu belajar seperti sekolah saat ini yang waktu
belajaranya dimulai jam 07.00 wib, tapi masuk sekitar jam 11.00 wib, yaitu
setelah bantu-bantu orang tua atau mengembala ternak.
Prinsip korespondensi dengan lingkungan demikian juga terlihat dari
materi pelajaran yang diberikan. Kelak setelah sekolah pertukangan Mojowarno
ini mempunyai turunan sekolah baru, yaitu sekolah menjahit, prinsip demikian
juga masih dipegang. Sekolah menjahit muncul atas pertimbangan bahwa Mojowarno
jauh dengan kota, sementara kendaraan juga masih sulit. Sehingga kebutuhan akan
pakaian susah didapatkan. Kalau kebutuhan pakaian bisa dipenuhi sendiri, maka
betapa efisiensinya pengeluaran keluarga, karena jauh lebih murah.
Semangat yang melandasi sekolah pertukangan juga sekolah menjahit
Mojowarno, selain untuk membuka alternatif sumber penghasilan baru, juga untuk mencetak individu-individu yang bisa
mengatasi problematika kehidupannya sendiri. Mereka bisa membuat alat-alat
rumah tangga sendiri dari bahan kayu, bambu, besi, dan juga bisa membuat
pakaian sendiri.
Sejarah nampaknya mengajarkan pada kita, bahwa sekolah kejuruan pada
zaman dahulu berusaha melakukan korespondensi secara intens dengan
lingkungannya. Dengan demikian bisa menghasilkan pribadi-pribadi mandiri,
karena telah memiliki bekal yang tepat untuk menjalani hidup keseharian mereka.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah sekolah kejuruan saat ini juga
melakukan korenspondensi dengan lingkungan yang kini problematikanya lebih
kompleks, secara intens? Baik lingkungan dalam skala kabupaten, lingkungan perkembangan
ekonomi global, atau lingkungan dalam pengertian yang lebih abstrak, seperti
perkembangan saint dan teknologi terkini? Sehingga menghasilkan pribadi-pribadi
mandiri karena bisa merespon perkembangan zaman secara tepat. Bukan semata-mata
menghasilkan pribadi-pribadi yang akan dipasok sebagai buruh pabrik.
Kalau hal ini belum tercapai, maka sekolah kejuruan yang ada saat ini,
walaupun dikelola secara lebih modern, kualitasnya masih tidak labih baik dari
sekolah kejuruan yang didirikan pada 1893, karena belum bisa memetakan zamannya
secara tepat.
Jombang, 30 Maret
2013
0 comments:
Post a Comment