Wednesday, 16 September 2015

Sejarah Perang Jombang: Rentetan Peristiwa 10 November
M. Fathoni Mahsun[1]

Sampai saat ini mungkin masyarakat Jombang tidak banyak yang tahu, kalau ada peristiwa perang yang tidak kalah pentingnya untuk diperingati, seperti halnya perang 10 November 1945, karena perang tersebut terjadi di Jombang, wilayah kita sendiri.
Awal mula Belanda bercokol kembali di Indonesia setelah terusir Jepang adalah, pada peristiwa 10 November itu, dengan taktik membonceng pada sekutu. Kemudian dilanjutkan pada agresi Belanda I pada 21 Juli 1947, lalu agresi Belanda II pada 18 Desember 1948. Perang di Jombang sendiri terjadi pada 29 Desember 1948 dan berakhir dengan perjanjian genjatan senjata di Gudo, sekitar Desember 1949.
Pada 7 Desember 1948 Mayjend Soengkono selaku Komandan Daerah Militer (KDM) Jawa Timur mengumpulkan anak buahnya dan memberitahu bahwa perundingan dengan pihak Belanda mengalami deadlock. Konsekuensinya, tidak lama lagi Belanda akan mengadakan agresi kembali..  Perkiraan agresi tersebut dilaksanakan sebelum hari natal dengan perhitungan seluruh operasi akan diselesaikan pada hari natal atau selambat-lambatnya sebelum tahun baru.
Menanggapi kondisi demikian, maka diperlukan antisipasi-antisipasi sesuai perintah siasat nomor 1 dari Panglima Sudirman. Yaitu bahwa diperintahkan kepada seluruh pasukan untuk ber-wingate (menyusup kembali) ke daerah-daerah yang sudah diduduki Belanda, untuk bergerilya dan membentuk pemerintahan militer di sana. Dalam hal ini di timur, Mojokerto merupakan daerah yang sudah jatuh ke tangan Belanda sejak tahun 1947. Sedang di daerah utara, Mantub merupakan daerah perbatasan dengan daerah Belanda.
Menyikapi perintah siasat nomor 1 tersebut, pada 20 Desember 1948, Kolonel Kretarto Komandan STC Surabaya di Jombang memerintahkan Batalyon Soetjipto dan Batalyon Isa Idris mengadakan wingate ke Mojokerto. Dua batalyon ini beberapa hari kemudian diperkuat oleh Batalyon Bambang Yuwono, yang tadinya berkedudukan di Mojoagung, untuk menyerang Pugeran dan Mojosari. Batalyon Mansur Solikhi, berasal dari laskar Hisbulloh, membantu menyerang Pacet.
Sedangkan untuk mengahadang pergerakan Belanda di utara ditempatkan kompi CTC di bawah pimpinan lettu M. Indon, bersama dengan kesatuan lain yaitu Batalyon Darmosoegondo, Kompi CPM, dan Kompi MBT. Perlu diketahui, Komandan Devisi I pada 20 Desember 1948 itu, telah mengirim pasukan dari Tulungagung, Pare, Nganjuk, dan Kediri menuju Ngimbang dan Mantub.

Jombang Jatuh
Dengan antisipasi-antisipasi demikian, nyatanya pasukan kita tidak mampu membendung pergerakan pasukan Belanda. Beberapakali pengalaman menunjukkan, bahwa  perang terbuka selalu saja membuat kita kalah. Hal ini karena persenjataan Belanda jauh lebih lengkap. Dari udara mereka menggunakan pesawat. Sedang dari daratan mereka menggunakan tank-tank, beberapa diantaranya tank berukuran raksasa. Dengan tank-tank ini pasukan Belanda bisa terus merengsek mendekati pertahanan pasukan republik. Padahal, jembatan di utara Ploso hingga ke Lamongan sudah dibom oleh TNI.
Walhasil, pada 23 Desember 1948 pasukan Belanda telah menduduki Ploso. Pasukan Darmosoegondo yang tadinya bermarkas di pasar Kabuh akhirnya harus mundur ke arah barat, melintasi hutan jati menuju Jipurapah, Pojok Klitik, dan sekitarnya. Demikian juga pasukan-pasukan TNI yang lain. Pada tanggal 29 Desember 1948 Belanda akhirnya mampu menjangkau kota Jombang. Pasukan TNI yang tadinya di kota, kini merengsek ke selatan menuju Gudo, dan menjadikan daerah ini sebagai daerah pertempuran Jombang selatan.
Ketika Belanda masih berada di Ploso, di kota Jombang pasukan TNI melakukan bumi hangus terhadap tempat-tempat penting, agar tidak dimanfaatkan Belanda. Antara lain, pendopo kabupaten, pasar-pasar, kantor-kantor pemerintahan, rumah sakit, dan beberapa rumah orang Tionghoa di sekitar ringin contong. Ketika daerah kota sudah direbut, maka pasukan TNI masuk ke pedalaman untuk mengatur strategi dan membentuk kantong-kantong gerilya.
Maka peperangan yang terjadi kemudian berubah pola dari konfrontatif secara terbuka, manjadi perang gerilya. Pasukan kita dalam kelompok-kelompok kecil sering mengadakan gangguan ke kedudukan Belanda. Perang tidak lagi terjadi di satu titik, tapi terjadi di semua titik di seantereo Jombang. Waktu perang pun bisa pagi, siang, terutama selepas tengah malam. Karakter peperangan biasanya adalah TNI melakukan gangguan di kedudukan Belanda yang ada di kota. Lalu Belanda mengadakan pengejaran sampai ke desa-desa. Atau Belanda mengadakan patroli ke kantong-kantong gerilya, dan pasukan TNI melakukan penghadangan. Beberapa di antaranya Belanda yang mempunyai inisiatif menyerang.
 Tempat-tempat perang gerilya itu diantaranya adalah sepanjang jalan raya lintas propinsi, mulai dari Mojoagung sampai Perak sebelah barat (sekarang Bandar Kedungmulyo), karena jalur ini merupakan ‘jalur AS’ yang harus dikawal. Juga di Cukir, Ngoro, Diwek, Wonosalam, Jatipelem, Kabuh, Pundong, Ploso, Tanjung Wadung, Balong Biru, Plandaan, Sumobito,dan lain sebagainya.
Salah satu hasil perang gerilya yang terbilang sukses adalah, serangan ke kota Jombang pada dini hari tanggal 13 januari 1949. Dimana pasukan TNI melakukan penyergapan ke  sekitar Kebon Rojo dan sekitar rumah H. Efendi di Jagalan. Pertempuran yang terjadi hingga siang hari ini mengakibatkan korban tewas dipihak Belanda hingga 6 truk. Serangan ini bahkan diapresiasi oleh Nasution yang ketika itu menjabat sebagai Panglima Komando Djawa, sebagai serangan yang efektif.

Situs Penting dan Penghargaan Jasa Pahlawan
Saat ini pelaku sejarah yang menjadi veteran perang sudah semakin sedikit yang tersisa. Yang tersisa itu pun ingatannya pada masa-masa perang tersebut sudah tidak utuh lagi. Seiring dengan itu, ingatan publik terhadap perjuangan pahlawan di Jombang juga hampir tidak ada.
  Lebih parahnya lagi monumen-monumen peringatan peristiwa kepahlawanan yang pernah dibangun di Jombang, tersingkir dengan sistematis, terstruktur, dan masif. Contohnya patung Letkol Kretarto yang merintis KDM Jombang, sekaligus pemimpin perang ketika itu, yang semula dipasang di pertigaan terminal lama, kini digeser ke tempat yang tidak strategis, yaitu pertigaan PG Djombang Baru arah ke Ploso. Beberapa masyarakat barangkali bahkan tidak tahu kalau disitu ada patung pahlawan. Atau kalau sempat melihat, mereka barangkali tidak tahu itu patung siapa.
Kejadian serupa juga terjadi di pertigaan Mojoagung, Monumen Bambu Runcing sempat berganti menjadi monumen lain, walaupun saat ini kembali lagi menjadi Monumen Bambu Runcing. Kuat dugaan, monumen ini dibangun untuk memperingati peristiwa masuknya Belanda ke Jombang dari arah timur.
Yang tidak kalah tragis adalah jembatan Sebani di Sumobito. Disini pernah terjadi perang besar. Mengetahui Belanda akan mendatangi markas TNI di sekitar Menturo, jembatan Sebani kemudian dibom. Akibatnya ketika mau melintasi sungai, akses Belanda terhambat. Sehingga terpaksa mereka harus masuk ke dalam sungai. Nah, pada saat mereka berada di sungai itulah, pasukan TNI yang sudah siap siaga, melepaskan tembakan. Akibatnya 32 orang musuh tewas. Untuk memperingati peristiwa ini, di sebelah puing-puing jembatan Sebani, dibangun sebuah monumen oleh Ikatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Sejarah. Namun sayangnya monumen tersebut baru setengah jadi, dan saat ini teronggok menjadi bangunan yang tidak jelas akibat ditumbuhi semak belukar.
Situs-situs penting yang menjadi saksi sejarah pun banyak yang sudah musnah atau beralih rupa. Misalnya markas Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang pertama, yang berada di sebelah gedung kejaksaan Jombang,  sekarang kantor  Plasa Telkom. Markas tersebut kemudian pindah ke gedung  berderet empat di depan RSUD Jombang, sekarang sudah benar-benar berubah wujud. Markas Hisbulloh devisi I yang berada di Jl. A. Yani, dulu pernah menjadi apotek Bayu Farma, entah sekarang. Gedung SMAN 3 Jombang, dulu adalah rumah sakit untuk merawat para pejuang.
Kabar baiknya, beberapa situs yang lain masih seperti sedia kala, meski ada yang terawat dan ada yang tidak. Misal, perumahan utara PG. Djombang baru, yang pernah menjadi tempat pelatihan calon-calon anggota Hisbulloh yang kemudian menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Kompleks pabrik gula Tjoekir yang pernah menjadi tempat latihan gabungan pasukan. Bangunan selatan bank BCA, dulu garasi mobil pasukan TNI.  
Namun kalau tidak ada kebijakan dari pihak berwenang, bangunan-bangunan penting tersebut akan beralih rupa,dan kita tidak akan mempunyai kenangan sejarah lagi. Ingatan kolektif kita pada sejarah akan semakin tergerus zaman. Na’udhubillah.

Jombang, 8 November 2014










[1] Guru SMK Negeri Wonosalam, dan Anggota Ansor Jombang. Sedang menulis novel PERANG JOMBANG

Menelusur Jejak SMK (lama) di Mojowarno


Muhammad Fathoni, S.Pd.[1]

           
Ketika pemerintah sedang gencar-gencarnya mengembangkan SMK, Jombang sebagai suatu wilayah sebenarnya patut berbangga, karena mempunyai akar sejarah kuat menyangkut sekolah berbasis vocational tersebut. Tentu dulu belum menggenal istilah SMK, tapi sebutannya waktu itu adalah sekolah pertukangan. Pada sebuah literatur yang ditulis pada 1959 oleh I Djumhur dan Danasuparta disebutkan, bahwa sekolah pertukangan di Mojowarno merupakan sekolah pertukangan pertama yang didirikan oleh zending, tepatnya didirikan pada 1893.
Tahun 1893 menjadi tahun menarik untuk kita amati dalam lapangan pendidikan. Baik, sebelum kita berbicara lebih lanjut tentang sekolah pertukangan di Mojowarno, kita akan lihat dulu konteks suana pendidikan di Indonesia (baca: Hindia Belanda) pada masa-masa itu, di mana Indonesia masih di bawah jajahan Belanda. Sejak abad ke 17 sampai 18 pendidikan formal sebenarnya telah ada, namun masih sederhana dan terbatas. Sederhana karena pendidikan yang diadakan kompeni waktu itu mempunyai dasar keagamaan. Terbatas karena hanya anak-anak kompeni saja yang bisa masuk.
Memasuki abad ke 19 aneka program perbaikan pendidikan dilakukan. Kemudian pada paruh kedua abad 19, sudah ada 30 sekolah yang didirikan Belanda. Ketika itu pribumi sudah diberikan kesempatan masuk, namun masih terbatas anak-anak kaum bangsawan saja. Sementara itu, anak-anak kaum jelata hanya berkesempatan menikmati pendidikan di pesantren-pesantren. Di masa-masa ini pesantren menjadi pendidikan alternatif, ketika sebagian besar anak-anak pribumi tidak bisa masuk ke pendidikan formal yang diselenggarakan kompeni. Setelah tahun 1850 sekolah-sekolah untuk Bumiputra baru mulai banyak dibuka, yang kebanyakan bertempat di pendopo-pendopo kabupaten.
 Pada 1893 pemerintah Belanda merasa perlu melakukan deferensiasi pendidikan, karena memandang masyarakat pribumi mempunyai dua kebutuhan di lapangan pendidikan. Pertama:  lapisan atas membutuhkan pengajaran yang dapat membawanya ke arah kemajuan sehingga bisa memenuhi syarat-syarat untuk menjadi pegawai yang bertambah berat.  Kedua: lapisan rendah cukup hanya pendidikan yang memberikan pengetahuan pokok baca, tulis, dan berhitung. Atas dasar pemikiran demikian maka muncullah sekolah kelas I untuk lapisan atas dan sekolah kelas II (sekolah ongko loro) untuk lapisan bawah.
Memasuki abad 20 kualitas pendidikan menjadi semakin tinggi. Hal ini karena  diberlakukannya politik etis (1901), sebagai balas budi terhadap rakyat Indonesia yang telah menyumbangkan keuntungan yang sedemikian melimpah terhadap kerajaan Belanda. Politik etis bertujuan memberi kebahagiaan dan kemakmuran kepada bangsa Indonesia dengan menyelenggarakan pendidikan,  irigasi, dan perpindahan penduduk (emigrasi). Salah satu langkah di dalam bidang pendidikan adalah mendirikan sekolah teknik. Sekolah teknik pertama didirikan pada 1906 di Jakarta, bernama Koningin Wilhelmina School (KWS).
Dari paparan di atas kita mulai dapat sisi menariknya, yaitu bahwa sekolah pertukangan Mojowarno telah berdiri sebelum pemerintah kompeni mendirikan sekolah teknik. Bahkan pendirian sekolah tersebut lebih dahulu dari gereja Mojowarno yang mulai dibangun pada 1894. Sebagai perbandingan, KH. Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng, yang kelak santrinya datang dari segala penjuru di Indonesia, pada tahun 1899.
Ketika zaman terus berkembang, sekolah pertukangan pun harus menerima konsekuensi zaman. Menurut Ibu Madoedari, sejarawan Mojowarno, sekolah pertukangan Mojowarno pada 1918 harus tutup karena pemerintah kompeni sudah mendirikan sekolah teknik formal. Kepala sekolah terakhirnya adalah Wirjono. Ini berarti sekolah tersebut eksis selama 15 tahun. Namun di tahun-tahun berikutnya ada upaya untuk menghidupkan kembali sekolah tersebut, Ibu Madoedari misalnya, pernah ditunjuk sebagai kepala sekolah penjahitan, yang merupakan turunan dari sekolah pertukangan, pada tahun 1967. Sekolah penjahitan ini akhirnya ditutup pada tahun 80-an.

Manajemen dan Orientasi Sekolah Pertukangan Mojowarno
Sekolah yang sedang kita bicarakan ini lokasinya berada di barat pertigaan Mojowarno yang ke arah Cukir, tepatnya di barat kantor pos Mojowarno. Namun bangunan sekolah tersebut saat ini sudah tidak ada, karena ikut dibumihanguskan sewaktu agresi Belanda II tahun 1948-1949. Peninggalan berupa benda fisik tidak bisa didapatkan lagi juga karena pada masa sebelumnya, yaitu masa pendudukan Jepang, peralatan sekolah diangkut ke Jombang.
Sementara itu menurut Ibu Madoedari, sekolah pertukangan Mojowarno ketika itu berangkat dari pemikiran sederhana, yaitu mengajarkan pada generasi muda tentang sumber penghasilan di luar pertanian. Kemudian tentang apa yang dipelajari berkaitan erat dengan kondisi alam dan situasi sosial ekonomi yang sedang berkembang. Maka kemudian diajarkanlah pembuatan barang-barang dari bahan kayu, bambu, dan besi. Dua yang pertama karena alam menyediakan bahan-bahan  tersebut secara berlimpah. Sedangkan besi, selain untuk kepentingan membuat alat-alat pertanian seperti cangkul, bajak, sabit, dan sebagainya, juga karena ketika itu di Jombang banyak bermunculan pabrik gula, jumlahnya sekitar 10 pabrik.
Yang menarik adalah bagaimana sekolah ini ‘berkorespondesi’ dengan lingkungan, setidaknya bisa dilihat pada dua hal. Pertama perekrutan guru, tidak usah dibayangkan bahwa perekrutan guru melalui seleksi yang berlapis-lapis seperti saat ini. Ketika itu hanya ditunjuk orang-orang di sekitar yang pandai membuat barang-barang dari kayu, bambu, atau besi. Yang penting terjadi proses belajar-pembelajaran. Kedua tentang waktu belajar, sekolah ini tidak menggunakan waktu belajar seperti sekolah saat ini yang waktu belajaranya dimulai jam 07.00 wib, tapi masuk sekitar jam 11.00 wib, yaitu setelah bantu-bantu orang tua atau mengembala ternak.
Prinsip korespondensi dengan lingkungan demikian juga terlihat dari materi pelajaran yang diberikan. Kelak setelah sekolah pertukangan Mojowarno ini mempunyai turunan sekolah baru, yaitu sekolah menjahit, prinsip demikian juga masih dipegang. Sekolah menjahit muncul atas pertimbangan bahwa Mojowarno jauh dengan kota, sementara kendaraan juga masih sulit. Sehingga kebutuhan akan pakaian susah didapatkan. Kalau kebutuhan pakaian bisa dipenuhi sendiri, maka betapa efisiensinya pengeluaran keluarga, karena jauh lebih murah.
Semangat yang melandasi sekolah pertukangan juga sekolah menjahit Mojowarno, selain untuk membuka alternatif sumber penghasilan baru, juga  untuk mencetak individu-individu yang bisa mengatasi problematika kehidupannya sendiri. Mereka bisa membuat alat-alat rumah tangga sendiri dari bahan kayu, bambu, besi, dan juga bisa membuat pakaian sendiri.
Sejarah nampaknya mengajarkan pada kita, bahwa sekolah kejuruan pada zaman dahulu berusaha melakukan korespondensi secara intens dengan lingkungannya. Dengan demikian bisa menghasilkan pribadi-pribadi mandiri, karena telah memiliki bekal yang tepat untuk menjalani hidup keseharian mereka. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah sekolah kejuruan saat ini juga melakukan korenspondensi dengan lingkungan yang kini problematikanya lebih kompleks, secara intens? Baik lingkungan dalam skala kabupaten, lingkungan perkembangan ekonomi global, atau lingkungan dalam pengertian yang lebih abstrak, seperti perkembangan saint dan teknologi terkini? Sehingga menghasilkan pribadi-pribadi mandiri karena bisa merespon perkembangan zaman secara tepat. Bukan semata-mata menghasilkan pribadi-pribadi yang akan dipasok sebagai buruh pabrik.
Kalau hal ini belum tercapai, maka sekolah kejuruan yang ada saat ini, walaupun dikelola secara lebih modern, kualitasnya masih tidak labih baik dari sekolah kejuruan yang didirikan pada 1893, karena belum bisa memetakan zamannya secara tepat.
Jombang, 30 Maret 2013



[1] Guru SMK Negeri Wonosalam