Monday, 16 August 2021

Pertempuran Jumat Legi di Kota Jombang

 


M. Fathoni Mahsun

(Penulis Novel Perang Jombang)


Selepas jatuhnya Jombang di penghujung Desember 1948, para pejuang bertahan dengan menyebar ke pelosok-pelosok desa. Jatuhnya Jombang ini menandai bahwa hampir seluruh wilayah Jawa Timur kini sudah diacak-acak Belanda. Ketika terjadi Agresi Belanda I, satu tahun sebelumnya, Panglima Besar Jenderal Sudirman sebenarnya sudah menyesalkan, kenapa Belanda terlalu leluasa mengacak-acak Jawa Timur. Bagaimanakah pasukan TNI nya, sebegitu lemahkah?


Sontak saja, anggapan Panglima Besar yang demikian itu menimbulkan ketegangan di kalangan petinggi TNI Jawa Timur, khususnya  Kolonel Sungkono sebagai pimpinan militer tertinggi di Jawa Timur. Tidak sampai di situ, bahkan Panglima Besar berkehendak memimpin langsung pertahanan Jawa Timur, menggeser kedudukan Kolonel Sungkono.


Hanya saja, ketika ternyata agresi I berlanjut menjadi agresi jilid II, Panglima Besar dituntut tidak hanya memfokuskan perhatian di Jawa Timur, tetapi ke seluruh penjuru Indonesia. Walhasil kepemimpinan militer di Jawa Timur kosong, dan mau tidak mau Kolonel Sungkono ditarik kembali ke jabatannya semula. Karena sebagai seorang pemimpin, Sungkono merupakan tipikal pemimpin yang tidak banyak omong, tapi banyak bertindak. Dia disegani, dan sosoknya bisa diterima oleh semua kalangan.


Nah, apakah TNI di Jawa Timur lemah? Khususnya di Jombang yang menjadi urutan terakhir jatuh ke tangan Belanda? Bahwa kedudukannya yang tadinya di tengah kota, digeser, sehingga akhirnya harus masuk ke pelosok-pelosok desa, memang iya. Tapi rupanya mereka tidak begitu saja mau tunduk, mereka masih mau menunjukkan eksistensinya.


Terbukti, tidak membutuhkan waktu lama, setelah jatuh pada tanggal 29 desember 1948, pejuang-pejuang di Jombang segera move on, daripada menyesali nasib dan berkubang dalam keputusasaan. Padahal di masa-masa itu, semangat para pejuang sedang digelayuti kabut hitam. Bagaimana tidak, operasi besar-besaran berjuluk operasi Hayam Wuruk, dengan sasaran merebut kembali kota Surabaya dari sisi selatan melalui Mojokerto, Pacet, dan terus ke timur, gagal total. 


Padahal Letkol Kretarto menerjunkan tidak kurang dari lima batalyon, dari pusat pertahanannya di Jombang. Kretarto adalah komandan STM Surabaya yang membawahi beberapa batalyon yang mempunya cakupan wilayah di Gresik, Mojokerto, Lamongan, dan Jombang. Namun perwira yang pernah terlibat langsung dalam peristiwa 10 Nopember ini, lebih sering mengendalikan pasukannya dari Jombang.


Beruntungnya kegagalan operasi Hayam Wuruk tidak menular pada sisa pasukan yang tertinggal di Jombang. Adalah Letnan Budiman Jepang yang memimpin gerakan penyerbuan ke kedudukan pasukan Belanda di tengah kota Jombang, yaitu di sekitar area Kebonrojo dan di sekitar rumah H. Afandi Jagalan. Sebutan “Jepang” di belakang nama Budiman, memang karena dia asli orang Jepang. Tepatnya mantan opsir Jepang yang membelot dan bergabung dengan pasukan pejuang. Dalam catatan sejarah, ada beberapa tentara Jepang yang justru membela perjuangan kemerdekaan Indonesia, nama yang cukup menonjol adalah Laksamana Maeda.


Pada 12 Januari 1949, setelah mematangkan perencanaan sedemikian rupa, akhirnya kompi Budiman Jepang berbagi peran dengan pasukan lainnya. Kompi Budiman meluruk ke Kebonrojo dan Jagalan. Sedangkan Letda A. Lodji memimpin pasukan yang menghalangi, kalau-kalau pasukan Belanda memanggil bantuan dari arah barat. Yaitu di jalan raya Perak-Kertosono, tapatnya di desa Kayen Bandarkedungmulyo.


Di luar dugaan, ternyata serbuan yang dimulai jam 4 dini hari ini mendapatkan hasil yang luar biasa. Pasukan Belanda bertumbangan. Keesokan harinya setelah matahari mulai meninggi, ada yang menyaksikan sebanyak 6 truk berisi mayat serdadu Belanda meluncur ke arah Mojokerto. A.H. Nasution dalam bukunya Memenuhi Panggilan Tugas, memberikan apresiasi khusus pada keberhasilan serbuan ke Kebonrojo tersebut. Dia mengikuti kejadian ini karena posisinya sebagai wakil Panglima Besar Sudirman.


Penyerbuan ke Kebonrojo ini meskipun menuai konsekuensi yang tidak ringan, yaitu dengan adanya serangan balasan dari pihak Belanda, tapi juga menginspirasi pasukan pejuang untuk melakukan serbuan serupa. Jadi selain meladeni serangan-serangan balik yang dilakukan Belanda, pasukan TNI juga mendambakan untuk menginisiasi serbuan  lagi.


Entah bagaimana kesepakatan itu dicapai, para pejuang akhirnya kompak seiya-sekata memilih jumat legi sebagai momentum melakukan serbuan. Namun yang pasti, di tahun-tahun itu suasana kejawen masih lebih kental dari pada dewasa ini. Jumat legi merupakan momentum yang sakral, yang diharapkan usaha tersebut menuai hasil menggembirakan dibanding ketika di lakukan pada hari-hari lainnya.  Kenyataannya, hari kemerdekaan, tanggal 17 agustus, ternyata juga jumat legi.


Operasi jumat legi pertama dilakukan pada 3 maret 1949. Kali ini dipimpin oleh Lettu Indon, yang lebih sering bermarkas di utara Brantas. Lettu Indon bekerjasama dengan pasukan lain. Namun sayang, sebelum pasukan ini sampai di kota Jombang, sudah dihadang serdadu Belanda, dan pasukan pejuang itu pun akhirnya kocar-kacir mendapatkan serangan mendadak.


Melihat pasukan Indon yang tidak berhasil menyerbu ke tengah kota, dua hari berikutnya, Budiman kembali menginisiasi penyerbuan ke kedudukan Belanda di kota Jombang. Sehingga mereka akhirnya terlokalisir di Jalan A. Yani. Rakyat sangat antusias memberikan bantuan pada penyerbuan kali ini, dengan membantu memasang rintangan di jalanan, dan bantuan lainnya. Belanda benar-benar terkurung tidak bisa berkutik. Akan tetapi setelah bantuan datang pada 16.00 dari Mojokerto dan Kertosono, kepungan berlahan mengendor. Belanda mendatangkan  puluhan truk pasukan bantuan, lengkap dengan tank-tank. Walau demikian, terhitung 17 serdadu Belanda meregang nyawa pada serbuan kali ini.


Pasukan Trip meninggalkan catatan yang lebih rinci mengenai peristiwa yang dimulai pada 3 maret ini. Kompi Budiman  yang menyerbu ke kota Jombang, akhirnya bisa mendesak Belanda mundur ke utara. Hingga serdadu Belanda ini terkonsentrasi di jalanan depan pabrik Gula Djombang baru, yang ketika itu bernama jalan Kediri, terus ke timur hingga Ringin Contong. Jalan A. Yani sebagaimana yang disebut di atas, adalah nama yang kita kenal sekarang. Masa-masa itu, daerah tersebut dikenal dengan kawasan Pecinan.


Nampaknya memang Belanda sedang menunggu bantuan, karena keadaan mereka sedang terjepit. Entah mengapa serdadu Belanda yang sudah terlokalisir di tempat ini tidak dihabisi sekalian. Nampaknya kompi Budiman walaupun menang langkah, tapi tidak mencukupi secara jumlah. Karena pasukan yang seharusnya berkolaborasi dengannnya yaitu pasukan Indon, terhalang sebelum masuk kota yang mengakibatkan dua orang gugur, yaitu Sersan Sulhan dan Prajurit Moenadji. Serta seorang mengalami luka berat, bernama Kowiyan.


Walhasil penyerbuan dihentikan sejenak, sambil memikirkan langkah apa yang akan dilakukan berikutnya. Namun pasukan pejuang menyadari bahwa serdadu Belanda pasti sedang memanggil bantuan. Catatan Trip mengkonfirmasi, selain Kompi Budiman ternyata ada juga Kompi Matosin. Matosin ini juga punya peran strategis di Jombang, tapi nanti kita akan ceritakan pada kesempatan lain.


Dua kompi ini akhirnya berbagi peran, Kompi Matosin kebagian menghadang bantuan dari Barat. Sedang Kompi Budiman kebagian menghadang bantuan belanda dari timur. Sambil menunggu bantuan Belanda yang tidak tahu kapan datangnya. Dua pasukan ini mengorganisir penduduk untuk memasang halang rintang di seluruh penjuru kota. Karena besarnya bantuan yang datang, dari arah Kertosono dan Mojokerto, penghalangan-penghalangan itu akhirnya bisa diterobos juga. Menurut Trip pasukan yang datang itu terdiri dari berpuluh-puluh tank dan berpuluh-puluh truk pasukan infanteri. Kesaksian dari Trip lagi, di tengah kota dijaga pasukan dari kesatuan-kesatuan lain. TRIP sendiri ditempatkan di sekitar makam Pulo Sampurno. Bersebelahan dengan pasukan dari Mobrig, dan dari seksi Mukayat. 


Satu selapan berikutnya, serbuan jumat legi kembali disusun. Kali ini pasukan yang digelar tidak tanggung-tanggung. Batalyon Darmosugondo, yang selama ini menjadi komandan tertinggi di utara Brantas, ikut masuk kota. Batalyon Mobrig (sekarang Brimob) pimpinan Sutjipto Danukusumo yang selama ini menjadi penguasa wilayah selatan, juga ikut terlibat. Selain juga pasukan-pasukan sekelas kompi yang pada penyerbuan sebelumnya sudah terlibat, seperti Kompi Budiman, Kompi Matosin, dan Seksi Darminto. 


Dengan gelaran pasukan yang jauh lebih besar ini, akhirnya kota Jombang berhasil dikuasai. Serdadu Belanda terusir, lari kocar-kacir, ada yang ke arah Mojokerto, ada yang ke arah Kertosono. Pasukan pejuang bisa menghela nafas lega. Walaupun ini bukan akhir dari perjuangan. Karena  ketika Batalyon Darmosugondo diboyong ke kota, pertahanan utara Brantas, di acak-acak Belanda.


Pertempuran Kebonrojo dan Pertempuran jumat legi hanya sebagian saja dari pertempuran-pertempuran di Jombang, sepanjang tahun 1949. Pertempuran-pertempuran lain yang terjadi di sekujur Jombang masih banyak, baik skala kecil, menengah, maupun skala besar.

17 Agustus 2021


Monday, 13 May 2019

Hutang Umat Islam pada Abu Huroiroh

#tadarushadis 4

Siapa yang tak kenal Abu Huroiroh? Orang yang pernah belajar Islam, walau sedikit-sedikit saja, akan berjumpa dengan namanya. Beliau adalah periwayat hadis yang paling banyak disebut.

Padahal Abu Huroiroh pada awalnya bukan lah siapa-siapa. Lalu karena konsistensinya 'menempel' pada Kanjeng Nabi, dan akhirnya menjadi jurnalis pribadi Kanjeng Nabi, menjadikan Abu Huroiroh dari _no body_ menjadi _some body._

Abu Huroiroh sebagaimana diakuinya sendiri, hanyalah orang miskin dari komunitas Suffah. Suffah adalah komunitas sahabat yang tinggal di selasar masjid Nabawi. Tidak jauh dari kediaman Kanjeng Nabi.

Bisa dikata komunitas Suffah ini adalah santri pesantren, yang langsung diasuh Kanjeng Nabi. Mereka belajar, dan menerapkan hidup sederhana sekali (zuhud) di tempat ini. Bisa jadi istilah sufi yang muncul belakangan, merujuk pada gaya hidup zuhud komunitas Suffah.

Dalam Soheh Bukhori juz 2 setidaknya ada dua hadis yang menyinggung Abu Huroiroh. Karena efisiensi ruang dari dua hadis tersebut, hanya hadis kedua yang akan ditulis teks nya.

Pada hadis pertama, yang kebetulan memang hadis pertama juz 2, diceritakan tentang kegalauan para sahabat, baik dari kalangan Ansor, maupun Muhajirin, kenapa mereka tidak bisa meriwayatkan hadis sebanyak Abu Huroiroh.

Abu Huroiroh dalam menanggapi hal tersebut berargumen: para sahabat kebanyakan sibuk dengan pekerjaannya dan mengurusi aset-asetnya. Sedangkan saya hanyalah orang miskin dari Suffah, yang kesehariannya, sebagaimana anggota Suffah yang lain,  hanya sibuk menempel pada Kanjeng Nabi. Memang kelak orang Suffah ini menjadi orang-orang yang matang ilmu agamanya, dibanding sahabat-sahabat yang lain. Dan ketepatan Abu Huroiroh adalah Lurah pondoknya ketika itu.

Hadis kedua menceritakan tentang bagaimana Abu Huroiroh bisa hapal ribuan hadis.

عن ابي هريره رضي الله عنه قال، قلت يا رسول الله اني سمعت منك حديثا كثيرا فاءنساه، قال صلى الله عليه وسلم: ابسط رداءك فبسطته، فغرف بيده فيه ثم قال ضمه، فضممته فما نست حديثا بعد

Terjemahan bebas:
Dari Abu Huroiroh: Ya Rasul,  saya telah mendengar banyak hadis dari Njenengan, tapi banyak yang saya lupa. Rasul: sini... sini, buka dan lebarkan surbanmu!  Setelah dilebarkan Kanjeng Nabi meremas surban tersebut, lalu berkata: Sudah, lipat lagi. Sejak saat itu Abu Huroiroh gampang lupa lagi pada hadis yang dihafalnya.

Sekedar perbandingan, sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis adalah: Abu Huroiroh 5374 hadis, Abdullah bin Umar 2630 hadis, Anas bin Malik 2286 hadis, Aisyah 2210 hadis, Abdullah bin Abbas 1660 hadis.

Dengan demikian kita umat Islam berhutang  5374 hadis pada Abu Huroiroh. Tanpa hadis-hadis yang diriwayatkan Abu Huroiroh, kita tidak bisa memahami Islam secara utuh.

M. Fathoni Mahsun

Tuesday, 7 May 2019

Masuk Surga dengan Cara Bersalaman dengan Nabi Muhammad SAW

#tadarushadis 2

Ketika berkunjung ke Indonesia pada akhir 2018, Syeh Iwadhul Karim memberikan ijazah kitab _Aqdu jauhari atsamin fi arbaina khadisan min akhaditsa syaidil mursalin_ dan kitab karangannya sendiri yaitu _Imdadu raufurrohim bi ba’dhi musalsalati wa murwiyati syaih Iwadhul Karim._

Dua kitab ini merupakan kitab hadis, dijilid jadi satu, karena hanya 69 halaman.

Kitab yang pertama sesuai dengan judulnya, berisi 40 hadis yang disadur dari beberapa kitab hadis, yaitu yang diambil dari kutubus sittah dan kitab-kitab yang lain. Sedangkan kitab yang kedua berisi hadis yang didapatkan oleh Syeh Iwadh secara musalsal (berantai), sampai Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Menariknya beberapa hadis yang tertulis disitu sanadnya nyambung pada Syeh Yasin al-Fadani, guru besar hadis berdarah Padang.

Pada kesempatan ini, saya hanya akan membahas hadis pertamanya saja. Sebuah hadis yang beliau dapatkan dari gurunya, Syeh Abdurrahman Muhammad Ahmad al-Maliki. Abdurrahman berkata dengan menyalaminya lalu menyampaikan sebuah hadis:
من صا فحني او صافح من صافحني الي يوم القيامه دخل الجنه
Barang siapa menyalamiku, atau menyalami orang yang menyalami ku sampai hari kiamat, maka masuk surga.

Menurut Abdurrahman, gurunya yang bernama Syeh Muhammad Yasin al-Fadani juga melakukan hal yang sama, menyalaminya lalu menyampaikan hadis di atas. Gurunya Syeh Yasin al-Fadani, yang beranama Syeh Umar Hamdan a-Mihrosi juga melakukan hal yang sama. Yang demikian itu nyambung terus sampai ke Rosululloh melalui jalur al-Ma’mur Abu al-Abbas al-Mulatsim.

Di Jombang ada juga yang menyampaikan hadis ini, yaitu Kyai Jamaludin Ahmad. Kemungkinan besar Kyai Jamal dapat sanad dari Kyai Sahal Mahfudz, yang tak lain adalah saudara iparnya. Sedangkan Kyai Sahal sendiri adalah santri dari Syeh Yasin al-Fadani.

Syeh Iwadh meng ijazahkan kitabnya tersebut, sekaligus menyampaikan hadis musyafakhah di Ponpes Rejoso. Ketika menyampaikan hadis musyafakaha itu, semua orang yang hadir berebut untuk salaman dengan beliau.

Maka agar tidak terjadi kekecauan yang tidak diinginkan, panitia penyelenggara akhirnya membuat peraturan, bahwa yang boleh salaman dengan Syeh Iwadh hanya para ustadz pondok Rejoso yang ditunjuk panitia.

Sedangkan hadirin yang lainnya cukup salaman dengan ustadz-ustadz tersebut.

Penulis sendiri sudah berkesempatan salaman dengan salah satu ustadz tersebut.

Alhamdulillah..., ternyata ada ya cara masuk surga dengan mudah. Hehehe

M. Fathoni Mahsun

Upaya Imam Turmudzi Mengejar Hadis tentang Thoharoh

#tadarushadis 1

Bab Thoharoh merupakan bab pertama dari kitab Sunan Turmudzi, yang juga merupakan salah satu dari enam kitab hadis (kutubus sittah). Hadis pertama dalam kitab tersebut adalah:
لاتقبل صلاة بغير طهور, ولاصدقة من غلول

_Tidak lah diterima sholat seseorang tanpa bersuci, serta tidak (dianggap) shodaqoh harta yang didapat dari korupsi._

Dalam mendapatkan hadis ini Imam Turmudzi mengejarnya hingga ke beberapa orang. yaitu kepada: (1) Qutaibah bin Said, juga kepada (2) Abu Awanah dari Simak bin Harbi, juga kepada (3) Hunnad, juga kepada (4) Waqi’ dari Isro’il dari Simak, dari Mus’ab bin Said dari Ibnu Umar dari Nabi muhammad SAW.

Sehingga bisa disimpulkan, ada 4 jalur sanad yang didapatkan Imam Turmudzi dalam mendapatkan hadis ini.

Selanjutnya imam Turmudzi juga memberikan keterangan tambahan, bahwa ada sedikit perbedaan redaksi dari Hunnad, yaitu:” الا بطهور”
Sehingga dengan jalur sanad yang demikian, Abu Isa mengatakan bahwa hadis ini merupakan hadis yang paling shohih dan paling hasan di dalam bab Thoharoh yang ada di kitab Sunan Tirmidzi.

Ketika menjelaskan tentang hadis ini, KH. Taufiq Mukhid Pengasuh Ponpes Sunan Ampel Jombang mengatakan, bahwa ini memberikan pelajaran bagi kita boleh belajar satu hal pada beberapa guru. Bahkan beliau yang juga mursyid thoriqoh Qodiriyah wa Nahsabandiyah mengatakan: “Boleh mendalami thoriqoh Qodiriyah wa Nahsabandiyah tidak hanya pada satu guru.” Itu berarti Mursyid tidak boleh tertutup, dengan melarang-larang jama’ahnya belajar pada mursyid lain.

Syarat kesucian dalam sholat, sebagaimana disinggung hadis di atas, juga mencakup batalnya wudhu karena tertidur. Pernah pada tahun 1994, jamaah haji asal Jombang ketika mendengar adzan pada pukul 03.00 dini hari, langsung bersiap-siap sholat subuh. Ditunggu-tunggu ternyata tidak kunjung terdengar iqomah. Lalu mereka pun berinisiatif melakukan sholat subuh sendiri. Tak lama setelah itu mereka pun tidur.

Tanpa diduga, ternyata pada pukul 04.30 terdengar adzan lagi. Yang ini asli adzan subuh. Kyai Taufiq yang ketika itu tidak tidur membangunkan orang-orang yang tertidur tersebut, sontak mereka pun ikut sholat lagi, tanpa wudhu, mau wudhu juga tidak tahu tempatnya dimana, wong baru pertama pergi haji. “Lha berarti orang sekian banyak itu wudhunya batal, tidurnya aja sampai ngorok dan dalam posisi rebahan.” Tandasnya berkelakar.

M. Fathoni Mahsun

Thursday, 22 February 2018

Belikan Begen!!!





Hasil gambar untuk hamburger


Malam ini, kisah ini harus kuceritakan
Sebelum keadaannya berubah
Dan menguap

Malam ini sudah seminggu atau dua minggu, persisnya aku tidak ingat, aku dibuat kaget oleh Prada. Suatu sore aku ajak dia jalan-jalan naik motor. Ketika berada di suatu ruas jalan, tiba-tiba dia merengek. “Belikan begen, belikan begen.” Aku pura-pura tidak tau, tapi dia tetap merengek. Lama-lama aku jadi tergelitik sendiri, karena dia belum pernah mengucapkan kata-kata itu setahuku.
Karena dia terus merengek, walaupun kami sudah belok kiri setelah lepas dari lampu merah, akhirnya aku bertanya
 “Apa sih, Le?”
“Begen”
“Begen apa?”
“Begen.” Untuk ukuran anak usia 4 tahun sepertinya dia relatif cedal. Tapi percayalah, Anda akan dibuat kuwalahan kalau ajak dia jalan-jalan, karena sepanjang jalan dia akan bertanya lagi dan lagi, tentang apa yang dia lihat sepanjang jalan. Aku jadi bertanya-tanya, niru siapa ya? Sepertinya aku tidak terlalu banyak omong..., hehehe.
“Apa? Abi nggak ngerti.”
“Yang bulat-bulat”
“O..., hamburger?” aku masih agak nggak yakin dengan tebakanku.
“Iya.., tadi aku lihat di sana.” Ternyata tebakanku benar.
Ampun...., dapat pengetahuan dari mana anak ini. Aku langsung curiga ke Ibunya, karena dia yang hobi kuliner. Aku menduga pernah suatu hari entah kapan, Ibunya ngajak Prada ke tempat yang di tunjukkannya tadi. Ibunya biasanya begitu, tidak mudah menghafal jalan, tapi di pinggir jalan ada orang jualan makanan apa saja, dia hafal. Dimana letak orang jualan kebab, martabak, pentol bakar, pancake, gorengan, es teh, mie pedes, mie judes, atau mie apalagi lah. Nah, hamburger ini mestinya juga begitu. Akhirnya terpaksa aku pun putar balik. Sambil aku ingin menjawab rasa penasaranku; ciyus anak ku pingin hamburger?
Sesampainya di rumah, aku tanya istriku, apa pernah ngajak Prada beli hamburger? Dengan bersungut dia jawab tidak. Ha??? Sebentar..., sebentar, barangkali lupa, waktu pergi dengan Prada terus tiba-tiba mampir, seperti ketika Prada merengek haus terus beli es teh, susu, atau yang lainnya. Jawabannya tetap sama, tidak. Kalau beli kebab memang dia akui pernah, dan itu aku tahu, tapi hamburger?
Kini bukan aku saja yang jadi penasaran, Istriku juga ikut-ikutan penasaran, dari mana anak ini tahu soal hamburger. Jangan-jangan dia tau tentang hamburger dari youtube yang biasa dia tonton. Mungkin ketika dia lihaf film animasi atau review mainan, disela-selanya ada animasi tentang hamburger. Saudara-saudara, ternyata tebakanku kali ini benar, itu aku tahu dari pengakuan Prada sendiri. Aku benar-benar tidak menyangka, bagaimana anak seusia itu bisa sangat terpengaruh dan terobsesi oleh apa yang dilihatnya dari yotube.
Bagaimana tidak, saudara-saudaranya yang kebetulan seusia tidak semuanya suka, Ibunya juga ngomong kalau rasanya tidak seenak kebab. Kalau aku? Aku agak resisten dengan makanan-makanan yang tidak begitu akrab seperti itu. Kalau klepon, getuk, sredek, jemblem, roti goreng, pentol, agak keren dikit molen..., oke lah, gak usah di tanya, kalau ada di depan ku, sekarang juga aku sikat.
Permasalahan pengaruh youtube ke anak itu permasalahan pertama, ini terdengar menghawatirkan, bukan? Permasalahan kedua, bagaimana anak sekecil itu bisa teredukasi untuk menyenangi makanan  “asing” begitu. Saya kasih tanda petik pada kata asing, paling tidak itu bagi keluarga kami, entah keluarga Anda, bisa jadi sama, atau bisa jadi sudah akrab.
Sejak hari itu sampai saat ini, Prada sudah masuk katagori sering, merengek minta dibelikan hamburger. Contohnya, ketika dari rumah Mbah nya, lagi-lagi dia minta dibelikan hamburger. Saya katakan nanti kalau sudah nyampai rumah. Karena terus terang, di tempat mertua saya tidak tahu medan untuk urusan kuliner. Untungnya di perjalanan pulang kami menemukan penjual hamburger.
Pertanyaannnya, wajarkah jika anak sekecil itu, Prada namanya, tumbuh dengan lidah yang akrab dengan hamburger? Kalau akrab dengan pentol sih saya nggak terlalu kepikiran, karena makanan itu sudah familier di sekeliling kita. Sedangkan kaitanya dengan urusan kesehatan, bisa dibahas belakangan.
Yang aku khawatirkan sebenarnya bukan hanya pilihan selera, tapi lebih dari itu adalah nasionalisme dan ideologi. Kedengarannya terlalu utopis ya. Orang Jawa bilang: kemoncolen. Tapi coba pikir, hamburger itu berbahan roti, yang terbuat dari gandum, dan tahu kan Anda gandum tidak bisa ditanam di Indonesia. Berarti kita harus impor. Berati –maaf- membiasakan memakan humberger berarti....? simpulkan sendiri lah.
Sedangkan proyeksi aku pada anak, bahwa dia harus mengakar. Begini penjelasannya. Kami adalah keluarga yang tumbuh di kampung, ndeso, udik. Bagi saya wong ndeso itu punya identitas kultural jelas. Sederhananya dia punya kampung halaman dengan segala identitasnya. Oleh karenanya, sejak dini anak harus dikondisikan untuk mengenali identitas kulturalnya itu.
Dia harus mengenal lingkungannya. Dia harus punya teman di minimal dalam radius 500 meter dari rumah. Dia harus bermain bersama mereka, petak umpet kek, kejar-kejaran kek. Juga  dakon, gobak sodor, layangan, bentik, nekeran, kalau itu masih ada. Jadi, untuk tingkat dasar anak saya harus sekolah tidak jauh dari lingkungan rumah. Biar apa? Biar kenal dan akrab dengan anak-anak di sekitarnya. Ini yang saya katakan tadi mengakar. Selagi tingkat dasar belum perlu sekolah di luar, di kota misalnya. Nah ketika pondasi hubungan dengan lingkungan sudah kuat, boleh lah sekolah tingkat lanjut di luaran, mondok misalkan.
Demikan juga dengan makanan, sebelum lidahnya akrab dengan makanan berbahan baku gandum, akrabi dulu makanan berbahan baku singkong, beras, jagung, dan bahan-bahan makanan yang bisa tumbuh di sekeliling. Biar nanti tidak merasa aneh kalau tiba-tiba harus makan getuk, singkong goreng. Syukur-syukur masih kenal dengan kerot, uwi, dan aneka polo pendem lainnya. Mengertikan maksud aku??
Untuk urusan makanan, istri ku bilang aku terlalu standar. Aku jawab “Iya kalau aku tidak kenal dengan kamu makananku hanya tahu tempe, hehehe...” itu usahaku agar aku tidak doen dihadapannya.
Malam ini Prada minta burger lagi. Tidak dapat, dapatnya hot dog. Apalagi ini? Tapi dia suka.... Aahhkk.

M. Fathoni Mahsun

Ansor dan Gemerlap Politik








Hasil gambar untuk Ansor politik
Suatu hari seorang Kyai Muda yang baru merintis pesantren di Ponorogo bilang ke saya: kalau bisa Ansor jangan sampai terseret ke politik. Yang dimaksud adalah Pilkada serentak di tahun 2018 dan Pilpres di 2019. Spontan saya jawab: tidak bisa, karena dalam sejarahnya Ansor mempunyai keintiman dengan politik yang begitu lekat.
Penjelasan tersebut konteksnya begini. Pertama, dalam perjalanan sejarah, Ansor pernah menjadi underbow partai politik, yaitu ketika NU bermetamorfosis menjadi partai politik pada awal tahun 1950-an, maka secara otomatis Ansor pun menjadi afiliasi dari partai politik di zaman itu. Akibatnya, Ketuanya baik yang berada di pusat maupun di daerah, hampir bisa dipastikan akan menjadi anggota DPR tidak lama setelah menjabat. Ini berarti Ansor menjadi pintu masuk ke dunia politik.
Anggota Ansor menjadi kader politik demikian, masih berlanjut walaupun NU sudah mengambil sikap kembali ke Khittah 1926 pada Muktamar ke-27 di tahun 1984, yang artinya NU sudah bukan lagi organisasi politik. Bukti bahwa Anggota Ansor masih menjadi Kader politik dalam suasan NU kembali ke Khittah adalah, Slamet Efendi Yusuf sebagai ketua PP GP. Ansor pada 1985-1994, langsung terjun ke dunia politik.
Terhitung sejak 1984, yaitu ketika ditetapkannya kittah NU, hingga akhir 1980-an dengan demikian menjadi masa-masa transisi. Saya pernah mewawancarai junior Slamet yang sama-sama pernah aktif di PMII Yogyakarta, dia pernah aktif di Ansor tapi tidak lama, karena setelah Khittah lebih memilih PPP, konsekuensinya harus meninggalkan Ansor. Sedangkan Slamet sang senior, lebih memilih Ansor, sehingga karirnya terus naik sampai menjadi ketua PP GP. Ansor. Kelak dua orang senior-junior ini sama-sama menjadi anggota DPR RI dari partai yang berbeda.
Periode setelah Slamet, duduk Iqbal Assegaf sebagai ketua PP Ansor pada 1995-2000. Kita tahu Iqbal Assegaf walaupun usianya tidak lama, juga berkiprah di dunia politik. Ansor periode berikutnya, Syaifulloh Yusuf, Nusron Wahid, sampai Yaqut Cholil Qoumas, semuanya menjadi anggota DPR RI aktif ketika menjabat sebagai ketua Ansor. Bahkan Syaifulloh Yusuf  menjabat Wakil Gubernur Jatim sejak 2009 atau setahun sebelum masa jabatan ketua PP GP. Ansor berakhir, pada 2010.
Itu adalah gambaran di tingkat pusat. Bagaimana dengan di daerah? Kurang lebih sama, baik yang menjadi politikus; anggota DPR atau kepala daerah, atau temannya politikus, alias tim sukses.  Hubungan kader Ansor dengan politik yang demikian kental memang memungkinkan, karena Ansor sendiri mempunyai basis masa yang jelas, apabila dibanding dengan organisasi kepemudaan lainnya. Struktur kepengurusannya ada mulai dari tingkat pusat hingga ke tingkat desa.
Dalam realitas sosialnya, adakalanya memang Ansor menghadapi resistensi politik dari kalangan masyarakat, atau langsung sebut saja Nahdliyin, sebagaimana yang saya contohkan di atas. Barangkali hal ini dipengaruhi oleh alam berpikir  kembali ke khittah yang dipahami, yaitu tidak usah ikut-ikutan nyemplung ke politik praktis. Ansor biar lah menjadi Ansor yang semestinya, yaitu mengurusi masalah-masalah sosial keagamaan, dan terutama menjadi benteng terdepan NU, Pesantren dan Kyai.
Keresahan masyarakat yang demikian sebenarnya juga dipahami Ansor. Sehingga muncullah gagasan pembentukan Majelis Dzikir dan Sholawat Rijalul Ansor (MDSRA) –biasa disebut MDS atau RA saja- di semua tingkat struktur Ansor, mulai dari pusat hingga tingkat ranting yang terdapat di desa-desa. Dikandung maksud, agar bisa menetralisir asumsi bahwa Ansor terlalu dekat dengan politik.
Dengan demikian RA tidak hanya berisi dzikir atau sholawatan saja, tapi lebih dari itu mendudukkan Ansor juga sebagai tempat kaderisasi ulama’. Keluarannya bisa dilihat misalnya melalui hasil bahtsul masail tentang dibolehkannya orang Islam memilih pimpinan non muslim, yang sempat heboh beberapa saat lalu. Jangan dilihat kontroversinya, tapi pandanglah bahwa hasil bahtsul masail itu adalah proses ijtihad, bagaimana merumuskan hubungan agama dan negara. Ijtihad memang boleh salah, boleh benar kan?
Selain itu, selama ini Ansor dalam berkelindan dengan dunia politik, tidak hanya bermain di politik praktis saja, tetapi juga politik kebangsaan. Kita lihat bagaimana Ansor selalu pasang badan pada upaya-upaya segelintir anak negeri yang ingin memecah-belah bangsa. Sebagaimana yang terekam kuat pada memori kolektif bangsa ini, tentang peran Banser Ansor berkonfrontasi dengan PKI. Ketika orang sebut Banser, pasti dalam pikirannya yang muncul adalah “Oh..., yang dulu jadi lawan PKI”.
Peran pasang badan demikian konsisten dilakukan hingga kini, dengan resiko Ansor Banser dapat julukan baru; tukang bubarin pengajian. Hehehe...., julukan yang tidak mengenakkan ya, tapi kalau Ansor Banser tidak mau ambil resiko itu, maka akan semakin banyak ustadz-ustadz yang merongrong NKRI, dengan mengajak mendirikan sistem negara baru bernama Khilafah.
Kembali ke politik. Lalu bolehkah Ansor terjun ke politik praktis? Dalam PD/PRT Ansor di bab rangkap jabatan, ternyata tidak diatur dengan tegas. Tentang rangkap jabatan, Ansor mengikuti yang digariskan NU. Ketika saya telisik di AD/ART NU tentang rangkap jabatan, diterangkan bahwa Ketua Umum Badan Otonom tidak dapat dirangkap dengan jabatan pengurus harian partai politik dan jabatan pengurus harian organisasi yang berafiliasi dengan partai politik. Dalam hal ini Ansor termasuk badan otonom NU. Yang dinamakan Ketua Umum adalah ketua ditingkat pusat, di tingkat propinsi namanya Ketua Pengurus Wilayah, sedang di tingkat kabupaten/ kota namanya Ketua Pengurus Cabang.
Artinya, hanya Ketua Umum Badan Otonom saja yang diatur dalam AD/ART NU, bukan pengurus-pengurus yang lain, termasuk Ketua Pengurus Wilayah, apalagi Ketua Pengurus Cabang. Larangan tersebut pun sebatas tidak boleh untuk jadi pengurus harian partai saja. Sedangkan kalau jadi anggota DPR atau pimpinan daerah? Saya belum menemukan aturan yang melarang. Kenyataannya Ketua Umum GP. Ansor saat ini, Gus Yaqut adalah anggota DPR RI dari PKB. Kita juga banyak jumpai di daerah-daerah banyak pengurus Ansor yang jadi anggota DPRD, bahkan penulis pernah menemukan, di suatu Pengurus Cabang Ansor, terdapat lebih dari satu yang menjadi anggota DPRD.
Sebagai epilog, menjadi kader Ansor berarti sedang membaca arah, apakah suatu hari kelak menjadi kader ulama’, yang mau mendidik umat dan melakukan civil society, ataukah menjadi kader politik yang mempenetrasikan pesan-pesan kebangsaan yang berhaluan Aswaja an-Nahdliyah, di kalangan elit politik pemangku kepentingan negeri ini. Dua-duanya sama-sama penting.
Namun kalau ada yang bertanya, apa motivasi penulis membuat artikel ini, apakah mempunyai tendensi untuk menjadi politikus suatu saat kelak, maka pada dunia politik saya akan meminjam kata-kata Dilan: saat ini aku tidak mencintaimu, entah nanti sore. Hehehe...

M. Fathoni Mahsun
Kader Ansor Jombang