Sunday, 28 February 2016

Menangkal Radikalisme dari Rumah



Oleh M Fathoni Mahsun
Sebagian orang tua yang mempunyai anak usia SMA barangkali merasakan bahwa ibadah sang anak semakin khusuk, tapi anehnya lebih senang menyendiri. Ketika diajak berdiskusi dia tidak mau sepenuhnya berterus terang. Hingga suatu ketika anaknya tersebut mengkritik cara beribadah orang tuanya yang dinilai tidak benar, entah shalatnya, cara mua’malah-nya atau paradigma beragamanya.
Gejala demikian akhir-akhir ini berkembang di masyarakat. Bahwa agama, dalam hal ini Islam, menurut sebagian kalangan, perlu dilakukan pemurnian, karena dianggap tidak sesuai dengan tuntunan yang diajarkan Nabi. Upaya pemurnian tersebut secara otomatis harus dikonfrontasikan dengan pemahaman ber-Islam yang sudah mapan di kalangan masyarakat. Pada tahap yang lebih serius kita menyebutnya radikal.
Terlepas mana yang benar, apakah cara ber-Islam “model baru” atau ber-Islam dengan cara yang sudah mapan, konfrontasi di masyarakat semakin meluas. Islam model baru mengusung pemahaman untuk kembali ke Al-Qur’an dan Hadits Nabi sebagai wujud memurnikan Islam. Sehingga ketika terdapat bentuk ibadah yang tidak ditemukannya dalam Al-Qur’an dan Hadits, dianggap salah. Kesalahan tersebut kalau jaraknya masih tipis dianggap bid’ah, kalau jaraknya sudah jauh dianggap kafir.
Pemahaman seperti ini sudah merasuk kepada anak-anak sekolah dan mahasiswa. Bayangkan! Anak-anak sekolah itu tengah belajar pemahaman Islam yang keras, dengan melestarikan konfrontasi dalam cara dakwahnya, bukan Islam yang damai dan lembut, sebagaimana dipahami oleh orang tuanya. Mereka menerima doktrin pemurnian begitu saja tanpa ada kesempatan men-tabayuni dengan melakukan kajian ilmiah, apakah benar cara ber-Islam yang sudah mapan itu keluar dari koridor Al-Qur’an dan Hadits, sehingga harus ada gerakan kembali pada Al-Qur’an dan Hadits.
Pada kenyataannya, Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dipimpin Prof. Dr. Bambang Pranowo, pada Oktober 2010 hingga Januari 2011, mengungkapkan hampir 50 persen pelajar setuju tindakan radikal. Data itu menyebutkan 25 persen siswa dan 21persen guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8 persen siswa dan 76,2 persen guru setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia. Jumlah yang menyatakan setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3 persen siswa dan 14,2 persen membenarkan serangan bom.
Sementara itu, peneliti LIPI Anas Saidi mengatakan, paham radikalisme ini terjadi karena proses Islamisasi yang dilakukan di kalangan anak muda berlangsung secara tertutup, dan cenderung tidak terbuka pada pandangan Islam lainnya, apalagi yang berbeda keyakinannya. Dia mengatakan jika pemahaman ini dibiarkan, bisa menyebabkan disintegrasi bangsa karena mereka menganggap ideologi pancasila tidak lagi penting. Radikalisme di kalangan pelajar dan mahasiswa itu terjadi pasca reformasi, dengan menyebar melalui Jamaah Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin), termasuk HTI dan salafi yang merupakan bagian dari gerakan Islam trans nasional (BBC Indonesia, 18/2/2016).
Kalau sudah jelas seperti ini, maka kita semua termasuk orang tua harus waspada, bahwa ada gerakan yang serius yang ingin mengubah tatanan berbangsa melalui kedok agama. Doktrin pemurnian agama kepada anak-anak sekolah, yang mengkritik bahkan cenderung menyalah-nyalahkan cara beribadah orang tuanya itu, ternyata tidak hanya menghendaki diubahnya cara beribadah, tapi juga diubahnya sendi-sendi kehidupan dalam cara bernegara.
Menurut survei The Pew Research Center pada 2015 lalu mengungkapkan, di Indonesia, sekitar 4 persen atau sekitar 10 juta orang warga Indonesia mendukung ISIS – sebagian besar dari mereka merupakan anak-anak muda. Fakta demikian harus menjadi alarm bagi orang tua untuk lebih memperhatikan anak-anaknya. Anak-anak usia remaja adalah anak-anak yang masih dalam tahapan pencarian jati diri. Siapa yang bisa merebut cara berpikirnya, maka dia akan menjadi pengendali masa depan anak tersebut.
Karena pentingnya merekrut anak-anak muda dalam menanamkan ideologinya, maka HTI sebagai salah satu organisasi yang disebut diatas, telah menyiapkan upaya pengkaderan yang dijamin bisa mengikat sedemikian kuat para kadernya. Sehingga wajar, ketika anak-anak muda itu sudah masuk, maka akan sulit baginya untuk keluar. Karena keluar dari jama’ah mempunyai dampak yang tidak enteng. Kita memang terpaksa menyebutkan merk (baca: HTI), karena ini memang sudah menjadi gerakan terbuka. Buletin mereka bahkan sudah beredar secara gratis di masjid-masjid seluruh Indonesia setiap hari Jum’at.
Dr. Ainur Rofiq Al-Amin dalam bukunya (2015) mengatakan bahwa, tahapan pertama pengkaderan di Hizbu Tahrir adalah melakukan pengkaderan terkonsentrasi. Selanjutnya, tahap kedua terdapat ruang kajian yang bernamahalaqah ‘amm. Setelah beberapa bulan atau sesuai dengan pengamatan, mereka akan dinaikkan statusnya sebagai darisin (pesertahalaqah yang lebih intensif). Selanjutya, darisinyang masa pembinaannya dalam jangka waktu tertentu (basanya sekitar 3 tahun) dinilai telah layak mereka bisa menawarkan diri atau ditawarkan untuk menjadi hizbiyyin.
Jika telah siap menjadi hizbiyyin, mereka akan disumpah (qasam) agar setia pada Hizbu Tahrir. Muatan qasam inilah yang membuat kader semakin militan. Qasam juga menahan seseorang untuk keluar dari HTI, karena setelah melakukan qasam apabila menarik diri dari jama’ah hukumnya haram, sekalipun telah membayar denda atau kaffarat.
Apabila ada anak yang terindikasikan mengikuti gerakan demikian maka kehadiran orang tua sangat dbutuhkan. Hal ini sesuai dengan Permendikbud No. 23 tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti, yaitu dalam rangkamenumbuhkembangkan kebiasaan baik sebagai bentuk pendidikan karakter.
Orang tua harus sering-sering mengajak anak bicara dari hati ke hati. Jangan biarkan anak tumbuh dengan pikirannya sendiri. Kebiasaan menyampaikan kehendak harus dikembangkan dalam keluarga, sebagai bentuk keterbukaan dan pengakuan eksistensi. Ketika ada kehendak baik dari anak, maka orang tua wajib menguatkan. Tapi ketika ada kehendak tidak baik, maka kewajiban orang tua mengarahkan. Dengan demikian rumah menjadi surga dan tempat menyemaikan nilai-nilai kebaikan, serta menangkal radikalisme.

Penulis adalah Pengurus Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor Jombang
http://www.nu.or.id/post/read/66114/menangkal-radikalisme-dari-rumah

Tuesday, 16 February 2016

Jombang dan Pembangunan Identitas Kultural


M. Fathoni Mahsun

                Kalau kita bertanya, apa ciri khas Jombang? Maka sebagian orang akan menjawab kota santri, sebagian lagi menjawab kota kelahiran ludruk, sebagian menjawab Gus Dur, Cak Nun, Cak Nur, Riyan, Ponari, dan lain-lain dan lain-lain. Artinya secara kultural Jombang mempunyai ikon yang kuat.
Namun anehnya, ketika warga Jombang disuruh untuk mengekspresikan ikon Jombang dalam bentuk visual yang sederhana, kesulitan. Kalau identik dengan kota santri, apa ikonnya? Kalau dikatakan kota kelahiran ludruk, apa ikonnya? Barangkali hanya Gus Dur, ikon Jombang yang sudah mendapat perhatian maksimal. Tidak lama setelah Gus Dur wafat, diresmikanlah jalan Gus Dur di timur ringin contong. Lalu makamnya pun dibangun sedemikian rupa, karena gelombang peziarah juga tidak henti-hentinya sampai detik ini.
Masyarakat Jombang yang merasa bahwa kotanya perlu mempunyai identitas lalu kemudian mencari-cari. Jangan sampai kota ini bertumbuh tanpa status; identitas kultural tidak punya, tanggal lahir kabupaten pun tidak tahu. Pencarian itu kemudian berlabuh pada ringin contong. Tidak mengecilkan usaha kawan-kawan yang menggarap ringin contong sebagai ikon Jombang, penulis berpikiran, ringin contong muncul sebagai ikon, tidak lebih karena tidak ada yang lain.
Coba pikir, ringin contong itu bisa bercerita tentang apa? Selain bahwa posisinya kebetulan strategis di tengah kota. Ringin contong tak lebih dari menara air, yang entah saat ini masih berfungsi atau tidak. Bangunan ini memang kelihatan unik, tapi nyatanya tidak satu-satunya, di Mojoagung  ada, bahkan di Mojokerto juga ada. Barangkali kita membayangkan ringin contong seperti menara eiffel kalau di Paris, atau menara pisa di Italia.
Sekali lagi, kalau mau jujur, menara air yang disebut ringin contong itu tidak mempunyai ikatan kultural dengan Jombang, karena memang dibangun tidak atas pertimbangan kultural apa-apa. Tapi oke, di tengah sulitnya menemukan  ikon Jombang yang pas, maka ringin contong menjadi ikon yang masuk akal untuk diterima.
Pencarian yang kedua berlabuh pada besut. Dibanding dengan ringin contong, besut sebenarnya lebih menyimbulkan kultur Jombang. Besut adalah tokoh pemeran utama dari kesenian pertunjukan besutan. Dimana besutan sendiri dianggap sebagai cikal-bakal ludruk. Namun masalahnya, popularitas besut kalah dengan ringin contong. Karena tidak semua warga Jombang mengerti apa itu besut. Ludruk yang muncul belakangan bahkan lebih populer dibanding besutan.
Namun popularitas sebenarnya bisa dibangun. Besut bisa dibikin lebih terkenal, asalkan digarap secara serius. Apa salahnya, toh dia anak kandung yang sah dari kebudayaan Jombang. Apalagi posisi besutan lebih “bersih” dibanding ludruk. Ludruk, akibat peristiwa sejarah yang pernah sangat intim berafiliasi dengan Lekra-nya PKI, membuat sebagian kalangan santri masih resisten hingga saat ini. Sebenarnya resistensi demikian untuk saat sekarang sudah tidak beralasan lagi, karena ludruk sekarang sudah berbeda dengan ludruk masa-masa PKI. Namun pendirian sebagian masyarakat tidak bergeming, bahwa ada catatan hitam dalam ludruk.
Ada lagi ikon Jombang yang pernah muncul, yaitu batik Jombang-an. Batik Jombang-an ini pernah sangat populer, karena dijadikan seragam anak-anak sekolah, guru, birokrasi, hingga perangkat desa. Motif batik Jombang-an mempunyai ikatan yang kuat dengan kultur Jombang, karena diambil dari salah satu relif di candi Arimbi, satu-satunya candi di Jombang, yang terletak di Desa Pulosari Kecamatan Bareng. Walaupun ada perbedaan antara motif seragam anak sekolah dan seragam birokrasi pemerintahan, namun keduanya tetap menggunakan motif yang diambil dari candi Arimbi. Namun karena ganti pemerintahan, batik Jombang-an saat ini sudah tidak digunakan lagi, sayang.

Identitas Kultural untuk Apa?
                Ini adalah pertanyaan mendasar yang perlu diselesaikan. Sederhanannya identitas kultural itu harus ada, ya… dari pada tidak punya identitas. Identitas kultural adalah karakter sebuah daerah, yang dengan basis karakter tersebut pembangunan diarahkan. Tanpa mengenali karakter, pembangunan akan berjalan tanpa arah.
Sehingga membangun identitas kultural tidak hanya berhenti pada menemukan ikon-ikon. Kita ambil contoh Ponorogo. Semua orang tahu kalau Ponorogo punya reog, reog ini kemudian dijadikan identitas kultural. Hampir di setiap perempatan di Ponorogo ada patung reog, kesenian reog hidup sampai ke desa-desa. Walhasil reog menjadi ikon pariwisata yang kuat, mulai dari pertunjukannya hingga aneka marcendise bertemakan reog, dimana itu semua bisa menghasilkan perputaran ekonomi yang tidak kecil.
Di Bali apalagi, setiap hari banyak turis baik lokal maupun asing yang berbondong-bondong ke Bali. Mereka tidak hanya mengunjungi keindahan alamnya, tapi juga kebudayaan masyarakatnya yang sangat etnis. Kalau kita ke Bali maka akan kita saksikan rumah-rumah, perkantoran, pure, altar-altar persembahan, sampai gapura-gapura, semuanya mempunyai bentuk arsitek yang unik. Belum lagi upacara-upacara keagamaan yang masih dipegang masyarakat Bali, yang itu mengundang daya tarik tersendiri.
Itu semua menunjukkan bahwa konsistensi pada budaya akan berdampak pada perputaran ekonomi yang tidak kecil. Dalam hal menggarap budaya dan pariwisata, kita tidak boleh melewatkan Banyuwangi. PAD dan pendapatan perkapita Banyuwangi meningkat setelah pemerintah menggarap sektor pariwisata secara serius, mulai dari eco tourism, sampai Banyuwangi festival yang terdiri: Banyuwangi ethno carnival, Banyuwangi Jazz festival, dan tour de Ijen.
Memang masing-masing daerah tidak bisa disamakan dalam hal potensi, baik potensi alam potensi budaya, maupun potensi sumber daya manusianya. Namun penyadaran terhadap potensi yang dipunyai, lalu kemudian mengelolanya hingga mendapatkan hasil maksimal, adalah penting dan tidak ada salahnya kalau kita menengok pada daerah sebelah. Dalam hal ini, keberhasilan pengolahan sosok Gus Dur sebagai salah satu ikon Jombang, patut diapresiasi.
Diam-diam saya membayangkan menonton ludruk yang mnggunakan iringan  musik pop, jazz, blues, country, atau musik klasik. Pasti menjadi tontonan yang banyak dinanti. Membayangkan mendengarkan kampanye seorang calon kepala dearah  dengan berpakain besut, lalu dalam orasinya dia selipi dengan parik’an dan sanepan. Membayangkan Kyai-Kyai pesantren berceramah memberikan pencerahan terhadap fenomena di masyarakat, dengan mengutip data-data yang ia dapat dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten, atau dari data-data yang lainnya, tidak melulu hanya mengutip dalil. Alangkah fantastiknya.
Saya membayangkan bahwa Islam tidak hanya di pesantren-pesantren, atau di masjid-masjid, tapi Islam juga hadir di pemerintahan, di sekolah-sekolah, di pusat-pusat hiburan rayat, di pertokoan, di pom bensin, di terminal, dan di tempat-tempat lain. Sehingga kesantrian kota Jombang, bukan hanya karena kuantitas jumlah santri, tapi juga kualitas kehidupannya. Sebab kalau hanya ditentukan kuantitas jumlah santri maka di pasuruan, di Gresik, bahkan di Brebes juga banyak pesantren yng mempunyai ribuan santri.
             Saya membayangkan apa lagi ya…..

Tuesday, 2 February 2016

Resum sarasehan dalam rangka konferensi PMII Cabang Jombang ke XXV. Unwaha Tambak Beras, 29 Jan 2016


1. Aswaja tidak bisa dijadikan ideologi untuk merebut kekuasaan. Karena ini adalah faham keagamaan. Sehingga dalam relasinya dengan kekuasaan, Aswaja hanya bisa menjadi inspirasi manakala kekuasaan itu sudah direbut.
2. Kader PMII harus 'alima' tahu dalam porsi maksimalis, bukan sekedar 'arofa' tahu dalam porsi minimalis. Pendek kata harus pintar
3. Kembali nya PMII ke pangkuan NU karena dipandang nilai baik di PMII sudah banyak yg terkikis, sehingga harus dikembalikan lagi ke NU agar baik lagi. Selain itu kalau mau ngotot independen, maka memaknainya harus konsisten. Independen tapi minta sumbangan nya ke orang NU, berarti tidak konsisten.
4. Harus dilakukan konsolidasi umat agar menjadi kuat. Dalam hal ini yg sama-sama mempunyai faham Aswaja, antara NU, banom-banom, RSNU, partai (PKB), dll. Dalam konteks ini juga ditariknya PMII kembali ke NU, harus dipahami.
5. Dalam konteks MEA, orang-orang di luar NU, bahkan diluar Islam, yg sudah melakukan reaksi, seperti taipan-taipan yg mengkonsolidasi para investor untuk masuk ke Indonesia, dan MNC Grup yg telah merambah bisnis finansial.
6. Akibat tidak adanya kesepahaman berkonsolidasi untuk menguatkan bangunan keumatan, maka hal-hal real yg dilakukan sebagian pihak tidak didukung oleh sebagian yg lain, seperti: pesimistis pihak-pihak tertentu ketika mendirikan RSNU. LAZIZNU yang kalah dengan LPUQ yg saat ini omsetnya sudah miliaran. PKB yg tidak didukung oleh orang NU, padahal dilahirkan NU. Sedangkan PKB masih menjaga komitmen untuk mengabdi ke NU, dalam bentuk: berusaha mendirikan BMT NU dan membangun kantor MWC di 8 kecamatan.